Akhirnya Mereka Punya Airport
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
PADA hari Minggu 9 Januari 2005, penulis mendarat di sebuah lapangan terbang kecil di daerah Kabupaten Jember. Pada hari itu sebuah lapangan terbang yang ‘asal jadi untuk pertama kali secara resmi digunakan. Menjelang jam 8 pagi penulis, Menhub Hatta Rajasa dan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Syaifullah Yusuf beserta beberapa orang anggota DPR-RI terbang dari Airport Juanda di Surabaya. Juga Bupati/Kepala Daerah Jember turut serta dalam perjalanan itu. Sebelum itu Bupati yang mengundang kami semua ke daerah itu, menyatakan meminta kedatangan kami semua untuk membuka lapangan terbang dimaksud. Ternyata sesampai di sana, yang ada hanyalah sebuah landasan terbang dan apron yang menjadi tempat parkir pesawat yang ditumpangi. Karena landasan terbang dan mendarat hanya 1200 m panjangnya, maka yang dapat mendarat hanyalah pesawat-pesawat terbang kecil saja seperti Fokker F-27 ‘Friendship’ yang didaratkan di situ. Penulis dan teman-teman memenuhi pesawat terbang yang menggunakan baling-baling dan berisi kurang dari 50 orang penumpang saja.
Dalam penerbangan yang lamanya hanya 35 menit saja dari airport Juanda di Surabaya, dan mencapai ketinggian sekitar 8500 kaki di atas permukaan air laut. Lapangan terbang yang belum memiliki gedung itu, ternyata masih ‘dilayani’ oleh sebuah jalan tidak beraspal hingga ke jalan raya Jember-Lumajang. Terletak hanya tujuh kilometer dari kota Jember, jelas sekali lapangan terbang itu masih memerlukan pengembangan lebih jauh, termasuk pembangunan sebuah gedung terminal dan sebuah gudang penyimpanan cargo/barang-angkutan. Bupati Jember menyatakan, dalam tahun ini juga akan memperpanjang landasan terbang menjadi 1800 m panjangnya. Baru setelah itu, pesawat seperti Boeing 737 dapat mendarat di sana. Penulis menyatakan masih diperlukan perpanjangan landasan lagi, untuk dapat didarati oleh pesawat-pesawat terbang yang besar, dan berbadan lebar. Ini tentu harus dilakukan di masa depan yang tidak terlalu lama.
Mengapakah? Karena dalam waktu paling lama 10 tahun lagi, permintaan pengangkut barang (cargo service) akan begitu besar, untuk mengirimkan barang-barang ekspor ke Eropa dan Jepang. Paling tidak, tembakau Na-Ost yang digemari di Eropa Barat, dan menjadi komoditas ekspor utama dari daerah Besuki memerlukan pengangkutan pesawat terbang langsung dari Jember. Begitu juga, ikan tuna untuk sashimi, paling baik kalau diekspor langsung dari Jember ke Tokyo. Belum lagi komoditas-komoditas lain yang diperlukan oleh negara-negara lain, dan ini langsung dapat dikirimkan dari lapangan terbang tersebut. Airport Noto Hadi Negoro (nama Bupati Jember yang pertama setelah proklamasi kemerdekaan), jelas merupakan lapangan terbang dengan masa depan yang sangat baik. Jaraknya cukup ideal untuk diterbangi dari Surabaya, dan landasan terbangnya tidak memerlukan perawatan khusus yang rumit-rumit, karena tanahnya kering dan keras (asalnya dari batu-batu alam dari daerah itu sendiri).
Lapangan terbang yang semula berlandasan pacu membentang dari utara ke selatan itu merupakan kawasan yang akan berkembang dengan cepat dari kawasan di sekitarnya, pada saat ini masih belum ditempati oleh banyak bangunan untuk pengembangan kawasan. Seperti pidato penulis di sebuah pondok pesantren di kota Jember, lapangan terbang itu hanya memerlukan pemeliharaan keamanan dan mantapnya keadaan yang selama ini sudah ada di kawasan tersebut. Ini mungkin disebabkan oleh kenyataan, bahwa daerah Kabupaten Jember merupakan kawasan konsentrasi militer yang terbesar di Pulau Jawa. Ditambah oleh cukup banyaknya jaringan transportasi yang membuatnya mudah dicapai dari tempat-tempat lain, membuat pembangunan sebuah lapangan terbang secara relatif lebih mudah dilakukan, dan lebih murah biayanya. Faktor-faktor seperti itulah yang akhirnya melahirkan lapangan terbang Noto Hadi Negoro tersebut ditambah dengan homogenitas penduduk, menjadi lebih mudah membangunnya di sana.
Ke arah Timur hanya diperlukan waktu 20 hingga 25 menit terbang dari sana ke Airport Ngurah Rai di Denpasar, ke Malang di sebelah Barat hanya dengan jarak terbang yang sama, dan juga jarak terbang yang relatif sama, membuat lapangan terbang di Jember itu memiliki daya tariknya sendiri, untuk didirikan dan diperluas di masa depan. Tentu saja, di kemudian hari para wisatawan asing (Wisman) akan lalu-lalang ke daerah tersebut, yang membuatnya akan lebih menarik lagi. Semuanya tinggal menanti garapan tangan manusia saja, yang akan mengubahnya menjadi sebuah lapangan terbang yang akan sibuk di kemudian hari. Apalagi daerah itu terkenal dengan pemerintahan yang berpandangan jauh ke depan. Sebuah faktor lain yang tidak dapat dilupakan begitu saja, adalah kenyataan bahwa Provinsi Jawa Tengah memiliki tiga buah airport (Cilacap, Semarang, dan Solo), sedangkan Jawa Timur yag berpenduduk lebih banyak hanya memiliki sebuah lapangan terbang sipil saja. Itupun milik angkatan laut, yang digunakan juga untuk pendaratan dan pemberangkatan pesawat-pesawat terbang sipil.
Jika berkendaraan mobil, diperlukan waktu tiga atau tiga setengah jam antara Jember dan Surabaya. Ini berarti, banyak orang Jember yang dapat berurusan di Surabaya, untuk berangkat pada pagi harinya dengan pesawat terbang dan sorenya kembali ke Jember. Penghematan waktu ini akan merasa besar artinya bagi para pengusaha yang sibuk. Belum lagi, kalau dari Surabaya mereka ingin terbang kembali ke tempat-tempat lain di negeri kita. Apalagi kalau ingin ke luar negeri, karena sekarang ini ke Kuala Lumpur, Singapura dan Hongkong dapat langsung dengan pesawat lain, sehingga Airport Juanda di Surabaya, juga dapat berfungsi sebagai lapangan transit. Apalagi jika di Bangkalan (Madura) dapat didirikan sebuah lapangan terbang sebagai lapangan terbang sipil Surabaya. Jika jembatan Suramadu selesai dibangun, maka dari Surabaya kota akan lebih cepat berpergian menuju lapangan terbang Surabaya sendiri, karena bagaimanapun juga lapangan terbang Juanda pada suatu waktu nanti harus dikembalikan kepada pihak Angkatan Laut.
Hal-hal diatas akan terjadi dengan sendirinya di masa-masa akan datang. Apalagi jika lapangan-lapangan terbang kecil dapat direhabilitasi, seperti Ngoro (Jombang) dan sebagainya. Madiun juga dapat memiliki lapangan terbangnya sendiri mula-mula dengan meminjam sebagian dari Lanuma Iswahyudi di Maospati, sehingga nantinya akan ada lima buah lapangan terbang di Provinsi Jawa Timur: Surabaya, Jember, Malang, Jombang dan Madiun. Itu semua diperkirakan akan didirikan dalam waktu 10 tahun lagi. Jika demikian, Jawa Timur akan ramai dengan penerbangan pesawat-pesawat kecil yang lalu lalang dengan kesibukan masing-masing. Ini tentu saja akan mengubah peta perhubungan di Jawa Timur dengan masih ada kebutuhan akan lapangan terbang kecil di bekas karesidenan Bojonegoro. Tentu saja diperlukan pandangan jauh di pihak pemerintah di provinsi tersebut, di samping tersedianya biaya yang cukup untuk itu.
Apa yang diuraikan di atas, tergantung seluruhnya kepada kemampuan kita untuk menaikan taraf hidup bangsa dengan meningkatkan pendapatan masyarakat. Tentu saja ini dapat dicapai dalam waktu tidak lama lagi, jika kita mampu menaikan pendapatan PNS/M (PNS dan Militer), serta pendapatan kaum pensiunan/purnawirawan. Begitu juga dibukanya pasaran-pasaran dalam negeri yang baru, sebagai hasil dari tersedianya kredit murah bagi usaha kecil dan menengah (UKM) di masa datang. Kredit murah itu akan menciptakan industri dalam negeri dalam jumlah besar masa yang akan datang, ditunjukkan oleh tumbuhnya pasaran dalam negeri yang kuat. Kedua hal itu, berarti tumbuhnya ekonomi yang pesat, yang berarti bertambahnya kebutuhan akan lapangan-lapangan terbang di beberapa daerah kabupaten di Jawa Timur ini juga harus diimbangi dengan pertambahan kemampuan untuk menyelenggarakan komunikasi antar daerah di wilayah provinsi tersebut.
Sudah tentu, apa yang dikemukakan di atas berarti juga akan terjadi perubahan-perubahan sosial yang bertambah banyak, di samping adanya penyebaran nilai-nilai yang semakin rumit dan kompleks keadaannya. Ini adalah apa yang oleh penulis ingin dituju bangsa kita, jika telah mencapai kenaikan pendapatan tiap orang per tahun menjadi 10 ribu dolar AS, yang oleh para ahli moneter diperkirakan akan dicapai paling lambat dalam sepuluh tahun yang akan datang. Karena ini adalah ‘ukuran nasional’, tentu saja dapat diperkirakan bagi Jawa Timur angka tersebut akan dapat tercapai juga. Dalam keadaan demikian, tentu saja kebutuhan akan lapangan terbang menjadi muncul dengan sendirinya. Dibukanya lapangan terbang Noto Hadi Negoro di Jember, membuktikan dimulainya pola hubungan/transportasi baru itu tentu saja, ini berarti akan adanya proses pertambahan dalam hal-hal yang dilestarikan dan dibuang dalam hubungan antar manusia di provinsi itu pada masa-masa yang akan datang. Ini selalu terjadinya dalam sejarah umat manusia, bukan?