Anatomi Sebuah Pendapat
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Masyarakat sering beranggapan salah tentang sebuah keputusan hukum Islam (fiqh). Kesalahan itu dapat dilihat baik dalam hal kedudukannya dalam pandangan seorang Muslim, maupun dalam hal-hal lain. Hal ini ternyata dari kasus mayat-mayat yang bergelimpangan setelah musibah gempa bumi dan gelombang tsunami, yang terjadi di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), 26 Desember 2004 yang lalu. Kedua bencana alam tersebut, telah mengakibatkan korban jiwa lebih dari seratus ribu, dan banyak lagi yang dibawa ombak laut dan kemudian mayat mereka terapung-apung di lautan. Bahkan ditakutkan, mayat-mayat terapung itu ‘masuk’ ke Selat Malaka dan lebih ditakutkan lagi terbawa gelombang air hingga ke laut Jawa, untuk kemudian terdampar di pantai utara pulau tersebut. Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi, karena akibat-akibat psikologis yang ditimbulkannya. Kalau meminjam istilah yang secara lisan digunakan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib dalam sebuah siaran radio niaga, itu akan mengakibatkan sebuah rumor, sas-sus dan mistik, dan trauma yang diakibatkannya akan menjadi sangat dahsyat.
Penulis menggunakan istilah pendapat, dan bukannya fatwa fiqh, karena memang penggunaan istilah itu harus ditata dengan baik, karena selama ini masyarakat memakainya secara serampangan. Ambil contoh, sebelum menyampaikan sebuah pengajian secara lisan di muka umum sering disebutkan oleh pembawa acara, penulis diminta/diharapkan menyampaikan fatwa mengenai hal-hal tertentu.
Seperti halnya fatwa hukum yang hanya dapat dibuat/dikeluarkan Mahkamah Agung, dalam membuat sebuah keputusan fiqh harus ada kejelasan mengenai siapa yang diperkenankan membuat/mengeluarkan sebuah fatwa fiqh, di luar itu tidak diperkenankan/diperbolehkan keluarnya fatwa tersebut. Ini perlu dipahami oleh kita semua untuk mencegah kerancuan pemakaian istilah tersebut lebih lanjut guna untuk keperluan kita sendiri. Karena kurang telitinya masyarakat dalam menggunakan istilah tersebut akibatnya dapat menjadi fatal. Sekarang ini kerancuan yang ditimbulkannya itu telah mencapai akibat-akibat terlebih jauh.
Hal pertama yang harus diingat, fatwa fiqh adalah sebuah proses hukum yang merupakan sebagian dari pembentukan pendapat di kalangan mereka yang sadar, bahwa sebuah hukum fiqh tentang sesuatu persoalan diperlukan. Oleh mereka yang sadar, pada saat ini fiqh hanya mempunyai kedudukan tidak formal. Karena hanya hukum nasional yang mempunyai kedudukan formal, maka hukum fiqh atas sesuatu hal hanya berfungsi moral. Tetapi, minimal fungsi moral itu akan mempunyai pengaruh pada pembentukan sebuah keputusan hukum nasional termasuk di dalamnya (keputusan fatwa hukum) oleh Mahkamah Agung. Karena itulah, penggunaan fatwa fiqh itu sendiri haruslah diatur dengan sebenar-benarnya, kerancuan yang diakibatkan oleh salah penggunaannya, juga akan mengakibatkan ‘kesalahan-kesalahan’ teknis dalam pembentukan sebuah keputusan hukum nasional, termasuk fatwa hukum.
Hal inilah yang harus dihindari, jika kita menginginkan sebuah proses sehat dalam pembentukan hukum nasional kita, dalam jangka panjang, karena hal itu banyak menyangkut pembentukan pendapat dalam kehidupan kita sebagai bangsa di masa depan. Hal kedua yang harus diingat, tidak semua orang dapat mengeluarkan/membuat fatwa fiqh. Orang harus mencapai tingkat tertentu, untuk menjadi pembuat fatwa fiqh. Orang itu adalah ahl al-fatwa, yang dalam bahasa kita dapat saja digunakan istilah ‘pembuat fatwa fiqh’. Tidak setiap orang ahli agama dapat melakukan hal itu. Penulis sendiri pun tidak, karena saya tidak mempunyai ‘keahlian yang diperlukan’ untuk itu. Dalam hal ini, apa yang penulis sampaikan, hanya merupakan “pendapat fiqh” (bahasa Arabnya: ara’ al-fiqh). Karena itu, penulis gunakan istilah pendapat sebagai judul tulisan ini, untuk menghindarkan kerancuan penggunaan istilah lebih jauh.
Banyak dokter bertanya kepada penulis, apakah yang harus dilakukan dengan mayat-mayat orang mati yang bergelimpangan lebih dari seratus ribu orang di Propinsi NAD? Kalau dibiarkan menunggu di kuburkan secara masal, atau dalam bahasa medis disebut sebagai evakuasi, maka mayat-mayat tersebut akan membusuk dan menimbulkan wabah/epidemi berukuran masif. Setelah sehari semalam “didiamkan saja” hal itu, barulah pada tanggal 1 Januari 2005 malam hari penulis mengemukakan di hadapan sejumlah orang wartawan (termasuk dari TV7 dan TransTV), bahwa dalam pendapat saya mayat-mayat yang bergelimpangan di propinsi NAD itu, yang diakibatkan oleh gempa bumi dan gelombang tsunami boleh dapat dibakar. Pada hari yang sama, Kiai Ma’ruf Amin Ketua Lajnah Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan pendapat pribadi, sebaiknya mayat-mayat itu dikuburkan secara masal saja. Tentu saja pendapatnya itu juga sempat menimbulkan kebingungan, karena dianggap sebagai fatwa fiqh dari MUI.
Dua pendapat yang saling berbeda, kalau tidak boleh dikatakan saling bertentangan, dianggap sebagai dua fatwa. Padahal, kedua hal itu hanyalah merupakan pendapat saja. Sebagai sebuah pendapat fiqh, kedua-duanya hanya memiliki status non fatwa. Kita tunggu saja hasil pertemuan lajnah (lembaga atau badan) fatwa, baik dari MUI maupun dari berbagai gerakan Islam di Indonesia. Baru setelah itu, jika memang diperlukan, dapat dikeluarkan fatwa hukum oleh Mahkamah Agung. Menurut pandangan penulis, kita tidak memerlukan fatwa hukum dalam hal ini, kecuali jika nantinya ada ‘akibat-akibat hukum’ tentang harta yang ditinggalkan dan sebagainya.
Ada empat buah ‘ketentuan’ dari pendapat fiqh itu yang diikuti penulis yaitu satu hadis Nabi Muhammad SAW, dan tiga kaidah dari khazanah fiqh formal yang berjiwa tradisional.
Ucapan Nabi Muhammad SAW itu adalah “Jika persoalan diserahkan kepada orang yang bukan ahli, tunggu saja hari kiamat” (Idza wusida al-amru illaa-ghairi ahlihi fantazhiri al-sha’ah). Di samping itu, dalil yang digunakan adalah ketiga kaidah fiqh berikut: Pertama, “Sebuah kebutuhan dapat saja dianggap sebagai keadaan darurat (al hajatu tanzilu manzila al darurah), kemudian “Keadaan darurat dapat memperkenankan hal-hal yang terlarang (al-dharurah tubihu al mahdzurah) dan “Mencegah kerusakan diutamakan dari atas tindakan membawa kebaikan” (dar-ul mafasid muqaddam ‘ala jabb al mashalih). Dengan berpedoman kepada berbagai rumusan tersebut, disusunlah argumentasi yang digunakan untuk mendukung pendapat fiqh dalam kasus ini.
Sebuah contoh yang sempurna dapat dikemukakan di sini. Ketika Kiai Abdullah Faqih dari Langitan (Tuban) mem’fatwa’kan, bahwa seorang wanita tidak seharusnya menjadi Presiden/Bupati/Walikota beberapa bulan yang lalu. Hal itu pernah dikemukakannya kepada penulis ketika Mu’awanah, dikenal dengan sebuatan Ibu Anna, akan dicalonkan PKB menjadi Bupati Bojonegoro, dan ketika Megawati Soekarnoputri dicalonkan menjadi Presiden RI. Penulis kemudian menjawab pertanyaan wartawan di Surabaya, bahwa itu bukanlah kampanye untuk terhadap siapa pun, melainkan sebuah fatwa fiqh. Memang fatwa fiqh dapat saja diberikan oleh orang-orang yang telah memenuhi persyaratan untuk itu, dan Kiai Faqih adalah salah seorang di antara sedikit manusia Indonesia yang memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut. Penulis sendiri tentu berbeda dalam pendapatnya tentang hal itu. Ketika ditanya apa penulis menjawab nanti saja setelah pemilu, sehingga tidak terlibat dalam pro dan kontra tentang hal itu.
Tentu saja, banyak hal dalam kehidupan ini yang dapat saja difatwakan secara fiqh. Di negeri-negeri yang memiliki kehidupan mapan di bidang hukum agama, tiap negara memiliki seorang pemberi fatwa fiqh yang bergelar Mufti (pemberi fatwa). Ia diangkat oleh pemerintah, dan menetapkan beberapa hal yang menjadi kewenangannya, seperti menetapkan permulaan puasa dan hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Seharusnya di negeri kita juga ada muftinya, dan ialah yang menjadi rujukan pemerintah dalam hal-hal tersebut. Namun, karena Indonesia bukanlah negara agama, maka dengan sengaja kedudukan itu tidak diadakan. Sebagai gantinya, ditetapkanlah Menteri Agama, yang antara lain berfungsi sebagai Mufti. Seharusnya, ia menetapkan permulaan puasa, jatuhnya hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, sehingga ada pegangan kita. Tetapi, karena adanya “pertentangan” antara golongan tradisional melawan kaum pembaharu di negeri kita, maka akhirnya masing-masing membuat keputusan sendiri. Akankah kita terus demikian?