Arafat, Israel, dan Palestina
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Akhimya, yang paling ditakuti terjadi juga. Perdana Menteri Israel Ariel Sharon, mengumumkan keadaan bahaya bagi Israel, mengurung Yasser Arafat di Ramallah dan membiarkan penangkapan besar-besaran–terhadap apa yang disebutnya sebagai “para teroris Palestina”. Dengan langkah itu, Sharon secara praktis menutup jalan bagi penyelesaian damai masalah Israel-Palestina. Hal itu telah dimulai dari larangan atas Arafat untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab di Beirut, dan disudahi dengan pengurungan atas dirinya oleh serdadu-serdadu Israel di Ramallah.
Karena situasi seperti itu, Gedung Putih di Washington DC terpaksa meminta agar Sharon tetap membuka jalan bagi tercapainya perdamaian permanen di kawasan itu. Benarkah pemyataan itu membuktikan Amerika Serikat tidak turut merencanakan tindakan Sharon tersebut, ataukah justru kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat Dick Cheney ke kawasan itu justru untuk mempersiapkannya, sejarahlah yang akan menjawab. Seperti kebanyakan kejadian sejarah, baru belakangan dapat diketahui secara pasti sampai di mana peranan pemerintahan Bush dalam masalah ini: menipu dunia ataukah ditipu Israel?
Tindakan Sharon itu juga tidak jelas bagi kita: benarkah ia secara logis berani menindak secara tegas semua orang Palestina militan yang disebutnya “kaum teroris?” Ataukah pada gilirannya, ia juga akan bersikap separuh hati, karena biaya ekonomis dan keuangannya akan menjadi sangat besar. Belum lagi kalau diingat biaya politik yang ditanggung Pemerintah Israel dengan kebijaksanaan “garis keras”-nya itu. Dengan kata lain, kekerasan Sharon dan kelemahan Arafat, yang tidak mau menghentikan kaum militan dan radikal Palestina selama ini, merupakan saham yang hampir bersamaan dalam menciptakan keadaan seperti sekarang ini.
Memang, Sharon benar dalam satu hal: kelembutan yang terlalu jauh justru akan lebih memicu tindakan-tindakan radikal dan konfrontatif dari pihak Palestina. Akan tetapi sebaliknya, tindakan kekerasan saja seperti yang dilakukan Sharon, tidaklah menyelesaikan masalah. Sikap menghormati kedaulatan Israel sebagai negara merdeka dan berdaulat harus juga diimbangi dengan sikap yang sama terhadap Palestina. Inilah yang diperjuangkan sejak dahulu oleh negara-negara Arab, yang tidak bersikap konfrontatif terhadap Israel. KTT Arab di Beirut, justru membuktikan hal ini. Bahwa di kalangan negara-negara Arab ada sikap radikal, seperti ditunjukkan Suriah dan Irak, sama wajarnya dengan sikap kaum kanan dalam Partai Likud, yang dipimpin oleh Ariel Sharon sendiri.
***
JADI tidak realistiklah untuk mengharapkan dukungan penuh dari kedua belah pihak atas gagasan penyelesaian damai yang permanen dengan saling pengakuan antara Israel dan Palestina akan wujud lawan mereka sebagai negara berdaulat. Dengan ungkapan lain, penyelesaian damai yang permanen bagi kawasan itu, hanya dapat dicapai melalui sikap saling mempercayai antara pimpinan Israel dan Palestina. Tanpa sikap saling mempercayai itu, kepercayaan yang diperlukan untuk mencapai perdamaian permanen di kawasan itu, akan menjadi hampa belaka. Sekali lagi, tanpa sikap kepercayaan pimpinan kedua bangsa itu, maka krisis Timur Tengah dengan segala akibatnya, akan tetap ada dan-mau tidak mau kita sebagai bangsa bermayoritas Muslim juga akan terkena akibat-akibat tersebut.
Pokok persoalannya, dengan demikian dapat disederhanakan: akan munculkah kepemimpinan baru yang saling mempercayai di kalangan kedua belah pihak? Akan adakah Anwar Sadar dan Menachen Begin yang baru; yang satu bekas opsir tentara Arab dan yang lain telah melakukan tindakan yang dapat dinamakan “tindakan teror” terhadap pemerintah jajahan Inggris itu, kalau digunakan istilah Sharon. Gerakan teroris Hagana yang diikuti Begin semenjak sebelum Perang Dunia Kedua, sama halnya dalam pengaturan, prinsip-prinsip yang digunakan dan tujuan yang dimiliki gerakan Intifadah yang dilaksanakan bangsa Palestina sekarang.
Dengan demikian, persoalannya menjadi jelas bagi kita sekarang: akan digantikan siapakah Arafat dan Sharon? Hal ini akan membawakan pernyataan berikut; dengan cara apakah kepemimpinan kedua bangsa itu akan dibentuk? Di Israel pemilihan umum atau pembentukan pemerintahan baru melalui Knesset (parlemen) adalah jalan untuk itu. Di kalangan bangsa Palestina, masalahnya menjadi lebih ruwet. Cara Israel, yang didasarkan pada demokrasi model Barat tidak berlaku bagi orang-orang Palestina, karena di kalangan kebanyakan bangsa-bangsa Arab, demokrasi masih lebih merupakan impian dari pada suatu kenyataan.
Karenanya, kedua cara yang digunakan untuk menggantikan kepemimpinan kedua belah pihak, adalah kunci permasalahan yang harus dicari pada saat ini. Kegagalan mendapatkannya hanya akan membuat keadaan lebih parah, yang akan menyeret kepentingan semua bangsa di dunia, karena pertimbangan-pertimbangan geo-politik. Karenanya, tindakan-tindakan luar biasa memang diperlukan untuk menyelesaikan sengketa Israel-Palestina itu. Kegagalan mengganti kepemimpinan kedua bangsa itu, secara realistik akan membuat lebih sulit tercapainya dunia yang aman bagi semua pihak. Kalau keadaan itu dibiarkan, maka hanya ada satu jalan bagi kita: penggunaan kekerasan oleh negara adikuasa, dalam hal ini Amerika Serikat.
Bukankah ini yang ditolak oleh pimpinan Republik Rakyat Cina (RRC) di zaman Mao Zedong, dengan prinsip non-hegemonik dalam percaturan intemasional? Bukankah membiarkan kekuasaan hegemonik manapun untuk melakukan tindakan unilateral dengan menggunakan kekerasan, adalah sebuah ekstremitas tersendiri? Karenanya, jika para pemimpin Arab dan mayoritas bangsa Palestina tidak segera mengganti kepemimpinan Arafat di kalangan mereka, berarti kita merelakan tindak kekerasan oleh Israel? Dan kalau di Israel tidak ada proses politik yang berujung pada penggantian Ariel Sharon sebagai Perdana Menteri, berarti juga tidak ada kemampuan kaum pecinta damai untuk mencari perdamaian melalui berunding?
Jelaslah dengan demikian. Kita semua berada pada titik sensitif untuk membiarkan eskalasi kekerasan atau menyelesaikan sengketa dengan berunding, suatu hal yang dirasakan di seluruh dunia dan bukannya di kawasan Timur Tengah saja.
Arti seorang Raja Tradisional
Sri Susuhunan Pakubuwono XII telah meninggalkan kita dalam usia lanjut (80 tahun menurut hitungan almanak Jawa mendekati 81 tahun) sebabnya adalah ketuaan. Kekosongan itu tidak dapat kita rumuskan dengan baik karena beliau adalah seorang Raja (dalam bahasa Jawa juga disebut: Ratu) yang oleh sebagian orang beliau dianggap sebagai penguasa yang sesungguhnya. Karena kita tidak mampu merumuskan dengan baik, maka kita cukupkan dengan istilah ‘Raja Tradisional’. Gelar itu tidak hanya menunjukkan arti kultural/simbolik belaka, melainkan juga menunjuk kepada beberapa aspek “kekuasaan formal” di tingkat daerah, propinsi maupun pusat. Di sinilah terdapat kontradiksi antara wewenang penuh seorang Raja Tradisonal dan penguasa pemerintahan yang efektif.
Penggantian beliau sangat, ditentukan oleh kenyataan bahwa beliau tidak meninggalkan Permaisuri (Garwo Padhmi), yang ada hanyalah istri selir (Garwo Ampil) dengan sekian orang putra-putri, tanpa seorang Putra Mahkota yang memperoleh penunjukkan untuk menggantikan beliau di atas tahta kerajaan, untuk menjalankan sisa-sisa kewenangan efektif yang masih ada. Karena sebab itu mungkin akan ada sedikit banyak ‘pertentangan’ intemal antara beberapa orang putra beliau yang bergelar Gusti. Namun tentu saja pertentangan internal itu tidak akan dilakukan dengan kasar, karena hal itu bukanlah budaya kraton.
Justru Kraton tradsional akan menampakkan wajah keutuhan keluar, walaupun pertentangan intemal itu berjalan sangat sengit. Semenjak beberapa tahun terakhir ini disiplin pribadi yang sangat kuat, membatasi ruang gerak para putra beliau, dengan semakin lanjutnya usia beliau. ‘Di tutupi’ oleh kesopanan yang sangat tinggi dan tata pergaulan yang dipersatukan oleh Sang Raja, tidak pernah pertentangan itu (kalaupun ada) terdengar di luar Kraton. Ini tentu saja sangat berbeda dari pertentangan internal dalam partai-partai politik, yang memang kalau perlu “diperagakan” di muka umum, terutama dengan menggunakan media massa. Kenyataan seperti inilah yang sering membuat orang tidak dapat membedakan mana yang benar dan salah, lalu menciptakan kebingungan tersendiri.
Dalam kerangka ini kita harus melihat apa yang terjadi pada lingkungan Kraton Tradisional yang masih ada dan berfungsi di negeri kita. Ada fungsi ekonomis, karena beberapa buah kraton masih “memiliki” tanah-tanah dan bangunan-bangunan yang terletak di beberapa tempat dalam lingkungannya. Demikian juga, ada fungsi politis yang “tersisa” dari masa lampau seperti di daerah DI Yogyakarta. Karena kemampuanya , Sri Sultan Hamengkubuwono IX dapat “melestarikan” wewenang efektif bagi para pengganti beliau, untuk juga menjadi Kepala Daerah di wilayah tersebut, yang saat ini bergelar Gubemur dan saat ini dijabat oleh putra beliau Sri Sultan Hamengkubuwono X. Raja Tradisional merangkap Gubemur inilah yang menarik untuk diperhatikan.
Persolaan utama yang dihadapi oleh para Raja Tradisonal, di luar hubungan dengan pejabat negara yang memiliki wewenang efektif, adalah masalah keuangan dan masalah tugas-tugas apa yang dapat diberikan kepada warga Kraton yang semakin lama berjumlah semakin besar. Dalam hal ini, “kekuatan moral” saja tidak cukup untuk memperkokoh kedudukan beliau itu. Juga diperlukan kekuatan ekonomi dan finansial, yang umumnya jarang digerakkan oleh para pengusaha di kawasan para raja itu. Para pengusaha itu hanya menyumbangkan sebagaian kecil saja dari keuntungan yang diperoleh dari usaha-usaha yang dilakukan, karena sebagian besar diambil oleh para pejabat yang memiliki wewenang efektif yang bersandar kepada “wewenang” melalui KKN, karena pendapatan resmi mereka sangat kecil. Akhimya para Raja Tradisional itupun harus juga mengalami apa yang oleh Clifford Geertz dinamai “kemiskinan bersama” (shared poverty).
Karena itulah, jumlah negara-negara tradisional yang mampu menghidupi kraton-kraton mereka, semakin lama berjumlah semakin kecil. Bahkan ada seorang Raja Tradisional di sebuah daerah yang tidak lagi mampu membayar langganan listrik pada PLN bagi “Istana” yang beliau tinggali. Ketika salah seorang ‘beliau’ itu ada yang membiayai bepergian ke tanah suci untuk melakukan ibadah haji, beliau pun bertemu dengan penulis. Karena sebab itu, dengan sendirinya “kekuatan moral” beliau menjadi sangat kecil, bahkan tampaknya beliau tidak mampu membiayai pendidikan putra-putri yang ada. Tentu saja kenyataan ini terkait sangat erat dengan situasi keuangan beliau-beliau itu. Semakin kecil kemampuan itu, semakin kecil pula “kekuatan moral” beliau-beliau itu.
Karena itu, kemampuan finansial/keuangan yang tidak sama antara beliau-beliau, membuat “kekuatan moral” yang dimiliki juga berbeda-beda. Ini juga, lalu membuat para pejabat dengan kekuasaan efektif memberikan perlakuan yang berbeda-beda pada para beliau itu. Apalagi, kalau di sebuah kawasan terdapat lebih dari seorang Raja Tradisional, seperti di kota madya dan Kabupaten Cirebon dengan empat buah Kratonnya. Karena itu lah, hanya diberikan “pelayanan minimal” kepada dua orang Raja Tradisonal saja di sana, yaitu kepada Kraton Kesepuhan dan Kraton Kanoman. Perlakuan itu juga tidak sama, sesuai dengan pendapatan daerah yang bersangkutan. Karenanya, kunci pokok bagi “pelayanan nyata” kepada kraton-kraton tersebut, sangat tergantung kepada kekayaan daerah yang bersangkutan.
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa faktor utama bagi perbaikan layanan kepada para beliau, yang sering dianggap sebagai “kekuatan moral” yang mempunyai fungsi kultural, sangat bergantung kepada kemampuan keuangan pemerintah daerah setempat. Seperti apa yang terjadi pada Kraton Kutai di Kalimantan Timur, yang sangat tergantung kepada kemampuan pemerintah daerah Tenggarong Kertanegara, yang kaya raya dengan sumber-sumber alamnya. Dalam hal ini, otonomi daerah (Otda) memegang peranan sangat penting dalam “menghidupkan kembali” tradisi dari Kraton Tradisional yang ada di sebuah daerah. Namun hal ini tidak dapat di generalisisr (disamaratakan) kraton-kraton tradisional di Maluku Utara. Tinggal tiga buah saja yang masih didukung oleh keadaan dan pengaruh pemerintah daerah propinsi, yaitu di Temate, Tidore dan Bacan.
Faktor terakhir yang tidak dapat dianggap ringan dalam mendukung “kekuatan moral” kraton-kraton tradisional itu adalah faktor keamanan setempat. Apa yang terjadi di Kraton Langkat pada saat revolusi kemerdekaan di paruh kedua tahun 40-an, dengan terbunuhnya hampir seluruh keluarga raja setempat, termasuk penyair Amir Hamzah, sekarang terulang dalam porsi dan versi lain di tempat-tempat yang berbeda. Dengan sendirinya, posisi peran ‘kekuatan moral’ para beliau itu juga berbeda dari satu ke lain tempat. Seperti terjadi pada Kraton Pakubuanan dan Kraton Kadipaten Mangkunegaran dalam kaitannya dengan ‘eksistensi’ Pesantren Al-Mukmin di Ngruki di Solo. Tentu saja kita berkeinginan agar kedua Kraton tradisional itu dapat turut berperan mengembangkan kemampuan masyarakat dan pemerintah di daerah di Solo, untuk menangani dengan baik kecenderungan ‘militan’ dari pesantren tersebut. Hal ini mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?