Arah Dua Pola Kehidupan (6)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Perkembangan keadaan setelah naiknya Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Panatagama Kalipatullah Ing Tanah Jawi yaitu gelar Sutawijaya, ke atas tahta kerajaan di Pajang menjadi berbeda sama sekali. Ia memindahkan ibu kota kerajaan dari Pajang: di sebelah Timur Begawan Solo ke Plered, Bantul (daerah di Yogyakarta sekarang). Dengan perpindahan itu, maka Kesultanan/kerajaan yang tadinya masih berorientasi niaga-laut, akhirnya menjadi kehilangan arah sama sekali apalagi Senopati harus melakukan konsolidasi militer atas kekuasaan yang direbutnya itu. Waktunya hampir secara keseluruhan disita oleh kegiatan dalam rangka konsolidasi militer itu. Yang jelas, secara budaya ia melepaskan diri dari orientasi kesantrian, yang diikuti oleh Kesultanan Demak, Jipang dan Pajang. Di bawah kekuasaanya, orientasi budaya pra-Islam muncul kembali dan secara formal dianggap sebagai “budaya kraton”.
Pemisahan dari sistem hidup kesultanan sebelumnya itu, menjadi lebih nyata di bawah pemerintahan anaknya, Sultan Agung Hanyakrakusuma, walaupun Sultan Agung lalu mengadakan Islamisasi terbatas. Yang “di-Islam-kan” hanya terbatas pada dua hal saja saja, pertama, tahun kalender Jawa “di-Islam-kan” dengan mengambil cara yang sangat praktis: tahun kalender Jawa di mulai dari bulan Syura, yang dalam bahasa arabnya dikenal dengan nama: bulan ‘Asyura. Demikian pula hari-hari tiap bulan menjadi tiga puluh hari, seperti dalam tahun kalender Hijriyah. Nama-nama bulan, selain Syaban yang menjadi Ruwah dan Ramadhan menjadi Pasa, semuanya disesuaikan dengan nama-nama bulan Hijriyah. Kedua, proses nikah-talak-rujuk-warisan di sesuaikan dengan fi’qh mazhab syafe’i.
“Islamisasi terbatas” ini merubah seluruh tatanan kehidupan orang Jawa. Dengan segera, hancurlah semua struktur kehidupan di luar Keraton, sehingga terjadi “penguatan” sistem pemerintahan yang ada. Namun, jalannya orientasi budaya seluruh bangsa tidak dikaitkan dengan struktur kekuasaan itu. Dengan demikian, khusus mengenai hubungan antara Islam dan pemerintahan berkembang pola multi-kratonik (faham serba ragam budaya) selama masyarakat masih menyerahkan upeti kepada raja, dalam arti pengakuan kekuasaan formal atas dirinya, maka mereka diperkenankan mengembangkan budaya masing-masing. Dengan segera cara ini diterima oleh semua pihak, hingga tertolak-lah prinsip penyatuan agama dan negara. Ini merupakan pola ketiga dalam hubungan antara agama dan kekuasaan di kawasan Nusantara seperti yang dikemukakan oleh DR. Taufik Abdullah.
*****
Dengan demikian, tidak mengherankan kalau membawa kita semua pada “penerimaan” akan pola hubungan seperti itu. Dalam pada itu, Sultan Agung juga membawa pola hidup yang baru. Perubahan orientasi hidup dari masyarakat berorientasi niaga-laut, sekaligus berubah menjadi masyarakat agraris. Pola niaga-laut dihancurkan total dalam struktur kekuasaan yang dimilikinya, seperti institusi bea cukai/kantor Syahbadar menjadi terhenti sama sekali, pembuatan kapal-kapal layat jarak jauh yang baru, terhenti secara keseluruhan. Tetapi yang lebih mendasar, adalah peyiapan struktur baru yang akan melayani kepentingan-kepentingan masyarakat agraris.
Badan-badan negara yang mengatur pengairan sawah, pengenaan pajak yang lebih teliti, penyiapan angkutan hasil-hasil pertanian ke pasar dan jalan-jalan transportasi di seluruh negara memperoleh perhatian utama sedangkan alat-alat angkutan sungai dan laut dibiarkan bertambah merosot kualitasnya. Demikian juga, birokrasi agraris bermunculan dalam era perubahan itu, dan posisi mereka bertambah lama bertambah penting, karena dukungan penguasa pada segala tingkatan.
Kekuatan birokrasi politik ini ditambah oleh kesenangan Sultan Agung yang biasa bersenang-senang dengan para istri selir pada panggung yang berada di atas air, dengan sejumlah pulau kecil yang tidak memiliki pohon atau bangunan apapun. secara berkala, para tawanan politik diantarkan dengan perahu dan ditinggalkan di pulau-pulau tersebut. Kemudian para pengawal akan melepaskan sejumlah buaya dari sarang mereka, dengan perlahan-lahan beberapa ekor binatang buas itu akan merayap ke pulau-pulau yang terdapat tawanan politik itu. Sultan Agung gembira menyaksikan bagimana tawanan-tawanan politik tersebut berteriak-teriak menyayat hati, ketika di mangsa oleh buaya-buaya itu. Eksekusi politik atas diri para tawanan yang dianggap menjadi oposan itu, benar-benar biadab tetapi efektif ini menunjukkan masih ada beberapa orang yang menentang keputusan-keputusan negara yang mendasar di jaman Sultan Agung. Kombinasi antara sistem kepegawaian agraris yang diciptakannya itu, dengan situasi politik yang ada, seolah-olah memberikan legitimasi bagi langkah-langkah Sultan Agung. Karena itu, tepatlah bila dikatakan Sultan Agung adalah peletak dasar pada sistem agraria yang teratur dan boleh dikata canggih itu. Ia menjadi penguasa tunggal atas negeri agraris itu.
*****
Yang paling menonjol dalam langkah-langkah politik dan militer yang diambil Sultan Agung, adalah pengepunganya atas Jakarta dalam abad ke XIV Masehi. Ia memimpin ekspedisi militer dalam jumlah sangat besar. Ia sendiri bermarkas di daerah Salemba sekarang, didampingi oleh markas balatentara Jawa-Mataram di daerah Matraman, berasal dari kata Mataraman. Dan di selatannya markas balatentara Bali-Mataram, sekarang dinamai Bali Matraman. Dan jauh di selatan Batavia terdapat tentara pendudukan yang dipimpin Panglimanya, bergelar Wiraguna, tempat itu sekarang dikenal dengan mana Ragunan, dan orang Betawi yang tua-tua masih menyebutnya Wiragunan. Selama dua bulan Sultan Agung berdiam di Salemba itu tempat ia menerima “persembahan” (seba), dan tempatnya dinamai Paseban.
Pihak Belanda menggunakan pertahanan alami, yaitu sungai Ancol di sebelah barat, sungai Malang (Ciliwung) di daerah Pasar Rumput yang memanjang ke barat dan bertemu dengan sungai Cideng dalam “lingkaran.” Ketiga sungai itulah yang bersambung satu sama lain pihak Belanda bertahan dan mendiami Weltevreden., sekarang dinamai Gambir. Mereka memasang balatentara mereka di pinggir barat, selatan dan timur ketiga sungai di atas. Mereka tinggal menyerang perahu-perahu penuh prajurit Sultan Agung yang mencoba menyebrangi ketiga sungai, dengan panah api. Dengan demikian, mereka tidak dapat mencapai pertahanan Belanda di sepanjang sungai-sungai di atas. Tempat pasukan-pasukan Belanda menunggu perahu-perahunya. Sultan Agung itu adalah tanah-tanah pertanian yang ada: Kebon Kacang, Kebon Sirih, Kebon Sayur, Kebon Melati dan sebagainya.
Karena Belanda memang berorientasi ke laut, -dengan menggalakan perniagaan rempah-rempah ke pulau lain, maka perbuatan “orang-orang kafir” Belanda itu dengan sendirinya membuat Sultan Agung memperkuat dukungannya kepada sistem graris yang diciptakannya. Walaupun pernyerbuannya hanya berusia dua puluh bulan, karena penyakit yang dideritanya (mungkin Malaria) dalam ekspedisi militer itu, tapi semakin kokoh sikap mengutamakan sistem pemerintahan agraris kerena Mataram adalah “negara besar” di mata kerajan-kerajan lain di kawasan nusantara, bangsa kitapun lalu terpaku pada cara hidup tersebut sulit untuk merubahnya. Walaupun mudah mengatakannya, tetapi sangat berat melaksanakannya, bukan?