Kata Pengantar: Bagaimana Memahami Konstelasinya?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Setelah membaca isi buku berulang kali karena penulis tertarik kepada segala macam tulisan tentang kekuasaan agama, maka dengan sendirinya penulis harus mengambil keputusan adakah penulis menggunakan acuan yang dipakai oleh penyusun buku ini, ataukah justru melepaskan semua acuan itu dan menuliskan apa yang terlintas dalam benak penulis sebagai kesannya atas buku ini? Pada akhirnya, penulis menetapkan untuk merekamnya di sini apa yang menjadi pemikirannya sendiri tentang kandungan masalah utama yang dibahas oleh seorang yang mengeluarkan karya ini.
Mengapakah penulis tidak mau menggunakan acuan yang ada? Karena penulis beranggapan, bahwa acuan yang ada sudah sangat baik dan tidak memerlukan pembahasan lagi. Adanya kesungguhan karya tertulis ini sudah menunjukkan adanya kesungguhan tersebut, dan dalam membuat makalah pengantar penulis justru tidak ingin “merusak” kandungan buku ini. Karenanya, penulis memilih untuk merekam dalam makalah pengantar ini, pemikiran yang ada dibenak penulis ketika membaca karya ini. Diharapkan, dengan demikian penulis makalah pengantar ini justru menjadi orang yang menonjolkan hal lain yang timbul mengenai kandungan karya tulis ini. Pembaca akan membandingkan antara makalah pengantar dan kandungan buku, dan dengan demikian memperkaya pandangan pembaca tentang hal yang penting ini. Karenanya, kalau makalah pengantar ini tidak “menguji” tesis-tesis yang diajukan, harap dimengerti bahwa memang bukan tugas sebuah makalah pengantar untuk melakukan pendalaman masalah yang disentuh oleh kandungan buku. Sebuah makalah pengantar yang baik, tidak menjadikan dirinya sebagai pembanding utama bagi kesimpulan karya tulis yang diberi pengantar. Tugasnya hanyalah menunjukkan adanya pemikiran yang diajukan.
Ini perlu ditegaskan, karena sekarang ini banyak makalah pengantar melakukan analisa mendalam tentang kandungan sebuah buku atau hanya berisi hal remeh-temeh yang bersifat teknis penerbitan (ataupun menunjukkan kepada pembaca satu dua aspek yang disinggung pengarang buku). Jarang yang mencoba mengetengahkan pandangan lain; tanpa melakukan analisa mendalam penulis berpendapat melakukan hal itu sebenarnya berada di luar ruang lingkup sebuah makalah pengantar. Kalau menganggap diperlukan sebuah pemikiran bandingan sebuah buku, mengapa tidak membuat buku baru saja yang terlepas dari tujuan menghantar karya yang dimaksudkan. Karena pertimbangan-pertimbangan seperti itulah, penulis tidak mengemukakan analisanya sendiri tentang kandungan buku ini sendiri.
Dalam pandangan penulis, nilai-nilai agama masih memegang peranan penting dalam mengelola kekuasaan umumnya terkait dengan agama. Walaupun nilai-nilai itu sudah bergerak dalam sejarah kepada pandangan materialistik yang berujung kepada pertimbangan-pertimbangan geo-politis, namun nilai-nilai yang dipakai dalam penyelenggaraan kekuasaan masih dapat ditelusuri berasal dari sesuatu agama di masa lampau. Karenanya, sekarang kita lihat bahwa pada “peradaban Barat” ada dua sumber nilai dalam penyelenggaraan kekuasasan, yaitu nilai-nilai Kristiani Protestan dan Kristiani Katholik. Anggap sajalah dalam percaturan kekuasaan kedua sumber nilai itu menyatu dalam apa yang dinamakan “Faham Kristen” di Barat tentang kekuasaan, maka lawannya pun juga membuat pemahamannya sendiri, terutama yang berdasarkan ideologi non-ketuhanan, yaitu sosialisme dan anaknya komunisme.
Kita lihat, bahwa faham komunisme yang semula, yaitu pemahaman non-kapitalistik tentang hubungan antar manusia, dan produk-produk ekonominya, sengaja ditempatkan sebagai satu-satunya “penafsiran yang benar” tentang kekuasaan negara. Jadi, kita kenal aliran-aliran kekuasaan yang bersumber pada nilai-nilai Kristiani di Barat dan ada pula aliran-aliran Komunistik. Mengenai kekuasaan, aliran pertama berpangkal pada kebebasan manusia untuk mencari keuntungan (Profit Motif), dan ada pula aliran kekuasaan yang menganggapnya berbahaya bagi manusia. Kalau aliran pertama menganggap motif tersebut sebagai penggerak utama kebebasan, maka aliran kekuasaan kedua menganggap keadilan sebagai faktor kunci bagi pengembangan masyarakat secara politik dan ekonomi. Namun harus diingat, kedua-duanya kini telah menjadi berdasar materialisme.
Nah, saat ini mulai berkembang aliran ketiga yang berasal dari agama-agama di Asia. Agama Yahudi, Islam, Hindu, Budha, Konghucu dan Shinto di Jepang. Agama-agama tersebut, ditambah dengan agama Kristen di Asia, dapat memberikan perspektif baru kepada kekuasaan. Yaitu perspektif spiritual, yang digabungkan dengan nilai-nilai material tentu saja. Hal itu merupakan perkembangan yang belum selesai dan masih berkembang di mana-mana. Itupun masih cukup besar hambatan dari pandangan-pandangan materialistik di atas, karena memang negeri-negeri Asia masih harus berkembang dengan menggunakan teknologi materialistik. Demikian pula, acuan-acuan pemikiran yang berkembang di Asia, masih dipenuhi oleh pertarungan aliran pertama dan kedua di atas. Sangat menarik perkembangan itu untuk kemanusiaan, bukan?