Batas Perubahan, Garis Tradisionalisme
Oleh: K.H Abdurrahman Wahid
SEWAKTU ibadah umroh di Mekkah penulis singgah ke rumah Dr Muhammad Allawi Al-Maliki di Mekkah dengan tujuan untuk takziah menyatakan duka cita atas meninggalnya beliau. Penulis ditemui oleh putra beliau Ahmad dan sang adik Abbas. Penulis memerlukan untuk melakukan hal itu, karena kakek penulis almarhum KH M Hasyim As’yari dan kakek beliau Sayyid Abbas Al-Maliki adalah teman seperguruan yang saling membantu untuk belajar bersama-sama. Cucu beliau almarhum Muhammad Allawi Al-Maliki adalah pengasuh pesantren di kota suci itu, lulusan (dan mendapat gelar doktor dari) Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Dalam kunjungan itu, penulis disertai KH Aminullah Muchtar dari pesantren Al-Nur, kota Bekasi. Sebenarnya, penulis dua tahun lebih tua dari Muhammad Allawi Al-Maliki, namun almarhum memang tidak dapat mengekang diri dalam soal makan daging kambing dan akhirnya meninggal dunia karena serangan jantung.
Malam berikutnya, dalam perjalanan menuju ke lapangan udara Jeddah (untuk pulang melalui Singapura dan Kuala Lumpur), penulis juga singgah di rumah almarhum Syekh Yasin Padang, ditemui oleh anak beliau Ir Fahad dan cucu tercinta. Penulis berbuka puasa di rumah istri beliau di Jalan 60th (sixteenth street), untuk menjenguk keluarga ulama terkemuka itu yang telah mendidik belasan generasi ulama Indonesia hingga beliau meninggal dunia sebagai Direktur Madrasah Darul Ulum. Ulama terkemuka itu adalah pengarang kitab Fawaid Al-Jadiyyah, yang penulis ajarkan selama lima tahun di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Salafiyah di Tebu Ireng Jombang, sehingga peluang berkunjung itu merupakan penghormatan bagi beliau dan merupakan kehormatan bagi penulis.
Walaupun sama-sama bersifat kunjungan kepada dua orang mendiang ulama Mekkah itu, tetapi apa yang penulis lakukan sebenarnya sangat berbeda satu dari yang lain. Perbedaan itu terjadi, karena memang ada perbedaan antara fungsi kedua ulama itu bagi kalangan masyarakat pesantren di Indonesia selama hidup mereka. Perbedaan itulah yang ingin penulis soroti dalam tulisan ini. Hal itu menjadi penting, karena mengetahui perbedaan antara kedua ulama itu, berarti mengetahui juga tentang perbedaan cara perjuangan yang dianut masing-masing selama hidup. Dengan memiliki pengetahuan mendalam tentang perbedaan-perbedaan di antara mereka itu, kita juga akan mengetahui bahwa jenis-jenis berbagai gerakan Islam dan mengenal antara berbagai gerakan itu sendiri. Itulah sebabnya, penulis ‘membuka simpanan lama’ berbagai tingkatan gerakan-gerakan Islam di negeri kita yang memiliki begitu banyak jenis-jenis perjuangan.
Terlebih dahulu harus diketahui, bahwa pendekatan kaum muslimin atas berbagai hal yang dianggap ‘menentang’, yang lalu direspon dengan jawaban yang dianggap paling tepat. Ada warga gerakan Islam, yang menganggap menyebarnya agama tersebut merupakan tantangan budaya (cultural challenge) yang memerlukan jawaban kultural pula. Muhammadiyah dan NU datang dalam bentuk kultural masing-masing beberapa abad yang lalu. Bahwa Muhammadiyah lahir 1921 dan NU tahun 1926, namun sebelumnya telah terjadi ‘persiapan kultural’ selama berabad-abad. Bagi para warga NU selama “budaya” tradisional membolehkan tahlil, ziarah kubur, halal bihalal, talqim dan lain-lainnya dapat berkembang, selama itu pula penumbuhan instansi/lembaga hanyalah soal waktu belaka. NU ‘sudah ada’ sejak berabad-abad yang lalu, namun instansi/lembaganya baru berdiri tahun 1926.
Ini tentu berbeda dari pendekatan institusional/kelembagaan, yang lebih melihat pentingnya institusi. Karenanya, setiap ‘ancaman’ terhadap institusi Islam yang ada, dianggap bahaya yang harus dihadapi dengan segera. Dengan menggunakan teknologi dan jaringan yang dimiliki, dari manapun datangnya, dicanangkanlah adanya ‘bahaya’ bagi agama itu. Karena tantangan yang dihadapi pada umumnya berupa pemikiran dari agama lain, maka kelompok ini merasa bahwa Islam ditantang oleh peradaban Barat, melalui pandangan-pandangan yang dilancarkan terhadap kaum muslimin. Istilah yang biasa digunakan adalah ‘perang pemikiran’ (Al-Ghazmu Al-Fikryyu sering disederhanakan dengan istilah Ghawz Al-Fikri). Apa yang dianggap perubahan dari peradaban Barat, dianggap sebagai hasil perang pemikiran yang dimenangkan peradaban Barat. Inilah yang kemudian dianggap sebagai dasar pemikiran para teroris.
Untuk kembali kepada persoalan di Mekkah itu, Muhammad Allawi menghadapi perubahan-perubahan cara hidup kaum muslimin yang dibawakan oleh ajaran-ajaran ‘pemurnian’ dari Syekh Muhammad Ibn Abd Al-Wahab (lebih sering disebut kaum wahhabi), sebagai serangan peradaban Barat kepada kaum muslimin. Kebetulan, memang cara hidup kaum wahhabi sekarang ini sepertinya bersifat materialistik, jadi upaya melarang Maulid Nabi Muhammad SAW disamakan dengan ‘serangan pemikiran dari peradaban Barat. Demikian pula, pendapat Dr Thaha Husein dari Mesir (mencapai puncaknya dalam dasawarsa 1950-an), kesemuanya itu oleh kaum wahhabi dianggap sebagai ‘merugikan’ umat Islam, karena itu beliau menentang larangan peringatan Maulid Nabi Mahammad SAW.
Perlawanan beliau atas apa yang dianggap sebagai serangan peradaban Barat itu, mengambil bentuk upaya menghidupkan kembali tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW dalam bentuk penyelengggaraan peringatan itu, dan menikmati sajak-sajak puja kepada Nabi Muhammad SAW, seperti burdah dan qasidah. Karena itu, apa yang beliau lakukan adalah menghidupkan kembali tradisi yang tadinya terkena larangan tersebut. Ini berarti, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan pembacaan sajak-sajak puja tersebut dilakukan secara tertutup, dan diikuti serta dihadiri oleh para siswa/santri beliau saja. Artinya, di kalangan masyarakat luas, ‘perlawanan kultural’ yang beliau lakukan tidak dikenal, dan dengan sendirinya menjadi sesuatu yang tidak legal. Untuk kita di Indonesia, memang terasa aneh ‘perlawanan kultural’ seperti itu, karena memang tidak ada larangan terhadap perayaan peringatan dan pembacaan sajak-sajak puja seperti itu.
Lain halnya dengan Syekh Yasin Padang. Semasa hidup beliau memiliki pandangan bahwa pelestarian tradisi keimanan Islam, dilakukan dengan jalan menghidupkan kembali ilmu-ilmu keislaman tradisional dan meneruskan upaya menggunakannya dalam hidup bermasyarakat. Karenanya, tidaklah mengherankan beliau sampai-sampai menuliskan Fawaid Al-Janiah, yang menjadi buku komentar/syarah, sesuai dengan acuan ilmu-ilmu keislaman yang kokoh dan sudah berkembang selama seribu tahun. Dengan jalan mendidik kaum muslimin untuk mengetahui kembali ilmu-ilmu keislaman tradisional, maka ‘upaya keagamaan’ terus-menerus dijaga agar tidak menyimpang’. Dalam keadaan bertentangan dengan perdaban Barat inilah yang sebenarnya terjadi dalam apa yang dinamai ‘studi keislaman’ yang ada juga pada Al-Azhar di Kairo (Mesir) di samping IAIN/UIN di negeri kita saat ini.
Hal inilah yang membedakan studi keislaman yang benar-benar bebas, seperti kajian tentang Islam di berbagai universitas ‘negeri-negeri Barat, yang benar-benar obyektif dan tidak berpihak, dari kajian Islam yang ada di kalangan pesantren dan IAIN/UIN di negeri kita. Dari awal sudah jelas bahwa kajian keislaman yang ada di lembaga-lembaga tersebut, lebih banyak bersifat ‘pembelaan diri’ terhadap serangan pemikiran dari sebuah peradaban lain seperti di Barat itu. Karenanya, haruslah diakui bahwa kajian yang sebenarnya tidak mutlak bersifat bebas itu adalah batas perubahan yang masih dapat diterima oleh wawasan keagamaan yang bertahan pada ‘kebenarannya’. Upaya mempertahankan tradisionalisme seperti ini, adalah upaya mengambil dan membuang yang bisa terjadi dalam sejarah manusia, bukan?