Beda Tugas NU dan Tugas Negara
NU sudah menetapkan garis bahwa pelaksanaan kehidupan arang Islam harus diatur oleh akhlak Islamiah muslimah. Bila orang Islam berkiprah di bidang pendidikan, ekonomi dan lain-lainnya itu hanya untuk menunjang perkembangan akhlak itu.
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dengan iman masing-masing, asal negara ini penuh persaudaraan dan tenggang rasa, sebenarnya keberagamaan sudah tidak ada masalah. Namun hal itu masih menjadi hal yang rawan dan sara di negara kita, karena kita mencampuradukkan antara perasaan beragama kita sebagai perorangan, dan kita harus menjalankan tugas-tugas kewarganegaraan. Karena campur aduk itulah yang membuat tidak karuan, sehingga kita gontok-gontokan dengan agama lain.
Di tubuh NU kita tidak dapati sara-sara semacam itu. Sebab, pada dasarnya Nahdlatul Ulama mempunyai induk pesantren. Sudah menetapkan garis bahwa pelaksanaan kehidupan orang Islam diatur oleh akhlak, Islamiah, Muslimah. Dan akhlak inilah yang menjadi jalur tunggal dari aspirasi masyarakat.
Kalau seandainya orang Islam berkiprah di bidang pendidikan, untuk menunjang perkembangan akhlak tadi. Demikian pula ketika berkiprah di bidang politik, kaum muslimin tidak boleh menyalurkan sasaran-sasaran Islam ke dalam kehidupan bernegara, melainkan yang hendak ditegakkan haruslah sasaran-sasaran yang hendak ditegakkan oleh negara itu.
Dengan kata lain, umpama kita ditanya masyarakat apa yang ingin kita ciptakan, walaupun ayatnya ini sering salah digunakan, tetapi saya rasa mayoritas kaum muslimin mesti menjawab: Baldatun thoyyibatun wa robbun Ghofur. Negara yang baik, yang sejahtera, yang penuh pengampunan dan kasih sayang dari Allah. Pasti ini jawabannya!
Tetapi sebagai muslimin, kita menerapkan tujuan ini melalui perjuangan sehari-hari kita di masyarakat tanpa melalui lembaga kenegaraan. Sedangkan untuk sasaran bernegara, jelas sekali diatur GBHN yaitu mencapai masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila. Ini yang harus kita ikuti di dalam hidup bernegara.
Jadi, kalau ada anggota atau warga NU menjadi anggota lembaga bagian pembuat undang-undang, seperti DPR, atau pemimpin politik negara, kemudian membawakan baldatun thoyyibatun warobbun ghofur, di sana, maka jelas itu salah tempat.
Sebab, alat negara tidak boleh dipakai untuk itu. Nanti kita mengajar orang lain untuk berbuat yang sama. Kita telah berkali-kali melihat keinginan ini. PKI juga ingin membawa negara kepada kemauan mereka. Jadi kita perlu menyadari betul masalah ini. Kepada kaum muslimin khususnya warga NU, kita tetap pada garis semula yang dibuat oleh para ulama kita.
Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, para ulama telah menggariskan suatu perjuangan yang mementingkan akhlak, moral arau etika mayarakat. Dan dengan itulah Islam dapat terpelihara dari zaman ke zaman. Tidak perduli penjajah itu Belanda atau Jepang. Dan tidak perduli bahwa kita semasa telah merdeka mengalami ujian-ujian berat, dan tidak gentar ketika modernisasi melanda negara kita. Demikian kita juga ketika negara kita terlanda penetrasi kebudayaan asing, yang arahnya justru untuk membawa hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Menghadapi semua itu, kita sudah siap dengan penangkalnya, yaitu menyalurkan aspirasi umat Islam melalui “Akhlakul Karimah”, dengan kemampuan kita sendiri mengatur diri sendiri. Tetap melaksanakan ajaran Islam, tidak perduli negara mendukungnya atau tidak.
Bila negara mendukung, kita bersyukur Alhamdulillah, berarti pemerintah memang mengerti betul tentang aspirasi umat Islam. Seandainya negara tidak mendukung, ya tidak apa-apa. Itu memang bukan kewajiban negara. Kewajiban dia adalah memakmurkan seluruh masyarakat bangsa Indonesia, bukan hanya umat Islam saja. Kita tidak usah khawatir, kita tahu persis kekuatan kita dan di mana letaknya.
Inilah sebenarnya yang menjadi pokok dari segala permasalahan yang sedang kita hadapi di Indonesia, dan tidak bisa diselesaikan dalam waktu sepuluh tahun mendatang. Kita masih akan bergulat dengan masalah itu. Tantangan kita, sebenarnya adalah bagaimana menjawab wawasan “baldatun thoyyibatun warobbun ghofur,” atau tashorrful iman ‘alaa rokyati manutun bil maslahah.” Yaitu wawasan Islam yang mementingkan kesejahteraan tetapi sifatnya berlandaskan keagamaan. Bagaimana ini dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, tanpa terjadi kesenjangan dengan program pemerintah. Itu tantangan kita.
Kita dengan pemerintah masing-masing punya tugas sendiri-sendiri. Namun kedua-duanya harus saling menunjang. Tidak boleh yang satu jalan sendiri ke timur, yang satu jalan sendiri ke barat. Masalahnya, dalam kehidupan bernegara, tidak kesemuanya bisa sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang diinginkan kaum muslimin.
Dalam hal ini kita pakai patokan tadi. Dalam hal-hal yang tidak sama, tanggung jawab dalam melaksanakan wawasan Islam itu, jatuh dipundak orang-orang Islam sendiri tanpa terlalu membebani negara. Negara, kita minta pengayomannya untuk hal-hal yang sifatnya kepentingan bersama seluruh warga Indonesia. Tanpa pandang bulu. Asal-usulnya, suku, bahasanya, agama, warna kulit dan seterusnya.
Nahdlatul Ulama menurut saya adalah yang paling dewasa dalam hal ini. Tanpa kesulitan apa-apa. Kita bisa menunjukkan bahwa kita sudah mengerti masalah ini dengan baik. Tatkala wewenang negara hendak ditegakkan dengan cara ideologi negara “Pancasila”, harus menjadi asas dari semua kelompok di masyarakat. Bahkan yayasan-yayasan pun nanti harus berasaskan Pancasila.
Makanya NU mengatakan “silakan”, karena kehidupan yang berasas Pancasila itu, memang di bawah wewenang negara. Tapi ada juga bagian dari kehidupan kami yang tidak berada di bawah wewenang negara, yaitu “aqidah atau Iman” kami.
Karena itu, kita merumuskan sendiri dalam perwujudannya. Anggaran Dasar NU hasil Muktamar NU ke-27 menetapkan pasal 2, asas berbunyi: “NU adalah Jam’iah Diniyah Islamiyah berasaskan Pancasila. Kita terima karena Pancasila di sini adalah pengaturan hidup sebagai bangsa. Kemudian untuk masing-masing warga NU, kita tegaskan dalam pasal 3 bahwa NU beragidah Islam Ahlussunnah wal Jamaah, berdasarkan ajaran salah satu empat madzhab.”
Jadi di sini ada pemisahan tempat. Ada yang urusan antar kita, ada yang urusan kita bersama dengan negara. Kita harapkan negara, dalam hal ini pemerintah, bisa menashorrufkan tugas dengan sebaik-baiknya, dan kita juga bisa melaksanakan yang bagian kita semata-mata dengan sebaik-baiknya. Tetapi di samping itu kita mampu bekerja sama dengan pemerintah dalam hal yang menjadi tanggung jawab bersama kedua belah pihak.
Kalau pandangan yang paripurna seperti ini kita pegangi terus dalam kehidupan kita sehari-hari, menjadi landasan bagi kegiatan-kegiatan organisasi, maka saya rasa NU akan mampu menjadi salah satu kekuatan untuk memantapkan ideologi bangsa, negara dan falsafah hidup bangsa.
Ini suatu tuntutan yang tidak mudah. Sampai saat ini saudara-saudara kita yang beragama Katholik dan Protestan, masih mengalami kesulitan besar dalam hal ini. Sebab mereka masih sulit mendudukkan antara keimanan dan ideologi. Karena memang dalam agama mereka tidak terdapat kamus ideologi, dan tidak pula kamus keimanan yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat di luar negara. Makanya belum jelas wawasannya.
Demikian juga kita lihat ormas-ormas Islam lainnya, masih banyak yang kabur tidak jelas bagaimananya. Artinya, menganggap bahwa soal Pancasila itu berada di luar masalah agama. Karena itu politik diterima sebagai ideologi tanpa dikaitkan dengan masalah keagamaan. Itu juga tidak tepat, sebab berarti kita mempunyai kesetiaan ganda. Setia kepada Pancasila dan setia kepada Islam.
Padahal, menurut kamus Nahdlatul Ulama, kalau kita setia kepada Islam, kita harus setia kepada negara. Sebab, negara adalah bagian dari kegiatan masyarakat yang dibuat bersama dengan orang lain. Aqidah. Adalah kegiatan yang milik kita sendiri. Ada beda tapi tetap dalam satu kaitan.
Ketika kita bersama-sama dengan orang-orang yang tidak sependirian, kita gunakan Pancasila. Dan ketika kita bicara tentang keimanan, semata-mata kita menggunakan Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah. Jelasnya, dasar penerimaan NU terhadap Pancasila bukanlah politis. Sama sekali bukan! Kalau memang politis, bagi kita, lebih baik tidak diputusi dulu pada Muktamar Situbondo itu. Sebab, semakin lama di biarkan, semakin mahal harganya. Ini, bagi orang yang berpikir politis. Tetapi tidak, NU menerima Pancasila atas dasar pemikiran syar’i.
Ada orang mengatakan kepada saya, “Ya tapi saudara ini keterlaluan, belum-belum sudah menerima. Padahal belum diundangkan. Kalau kamu menunggu, Undang-undang dulu.” Kita minta kepada teman-teman yang mengatakan itu, supaya segera menyadari bahwa saudara perlu belajar mantiq dulu. Sebab jika tidak demikian akan menjadi susah. Maksudnya ingin menjadi pahlawan, malah kelihatan belangnya
Soal Petunjuk 7 Butir
Beberapa bulan yang lalu, saya bersama KH Ahmad Shiddiq dipanggil KH As’ad ke Situbondo. Diperintahkan agar membuat “Petunjuk tujuh butir” Bagian saya Cuma mencatat dan stensil saja, lalu mengirimkan ke cabang-cabang dan mengemukakan di muka corong. Namun akibatnya yang dimaki-maki malah tanfidziyah-nya.
Semua orang yang maunya masih ingin ke politik, marah pada tanfidziyah. Padahal, semuanya adalah garis daripada beliau-beliau. Yang marah itu, bukannya tidak tahu, tapi mana mau mereka marah kepada Kiai As’ad? Ya yang ada tanfidziyah, maka ini yang digarap.
Bunyi 7 butir petunjuk itu sebagai berikut:
1. Penegasan larangan rangkapan pengurus harian, atau kekuatan sosial Politik dengan NU.
Ini mulai dijalankan di mana-mana. Alhamdulillah, tampaknya kesadaran warga cukup tinggi. Sebetulnya, batas waktu yang diberikan masih sampai dengan 10 Januari 1987. Tapi dimana-mana sudah dilaksanakan. Tinggal satu dua yang masih brengkel (maunya sendiri) Untuk ini sudah disediakan SK, penangkalnya. Jika mereka ngotot-ngotot brengkel, PB, tidak khawatir kalah. Sampai batas tertentu masih saja merangkap, akan dianggap memilih politik, dan jabatannya di NU otomatis kosong. Kemudian diisi orang lain di bawahnya.
2. Warga NU boleh dicalonkan dalam pemilu mendatang. Siapapun saja. Termasuk juga KH As’ad atau KH Ahmad Shiddiq. Itu jika bersedia. Masalahnya ada apa tidak yang mau mencalonkan.
Mudah-mudahan saja ketiga kekuatan politik ini, mau mencalonkan warga NU sebanyak-banyaknya. Kalau tidak, ya tidak apa-apa. Tapi kita tidak tahu, masak akan ditinggal habis-habisan? Ya tidak mungkin.
3. Mereka yang menjadi calon atau pengurus dari kekuatan sosial politik, diperkenankan kampanye. Sebab tidak lucu, sudah jadi calon tidak boleh Kampanye Mereka dicalonkan, mesti diharapkan bisa berkampanye. Mana mau Golkar mengambil orang NU sebagai calon, lalu tidak boleh berkampanye. Kalau hanya untuk mengatur negara, Golkar tidak perlu NU. Sebab sudah banyak tenaga ahlinya, katanya. Mereka dipentingkan untuk rakyat. Demikian juga untuk PPP maupun PDI. Semua tokoh berlomba. Tapi untuk masyarakat, biasanya NU yang paling laku. Ia punya hak patent bagi rakyat.
4. Mereka yang tidak jadi calon dan pengurus parpol-parpol, tidak diseyogyakan berkampanye. NU tidak melarang, tapi baiknya jangan, begitulah.
5. Para pengasuh Pesantren, pimpinan Perguruan dan Lembaga pendidikan. Muballigh, da’i dan sebagainya, diminta untuk tidak kampanye dalam pemilu. Karena beliau-beliau harus melayani masyarakat secara keseluruhan. Sebab, sekali mereka kampanye untuk satu golongan, ia akan dicap. “Oh, ini kiai PPP, ini kiai Beringin, itu kiai Banteng “. Otomatis penghargaan masyarakat berkurang kepada kiai itu.
6. Pengurus harian, ranting dan MWC, dilarang menjadi komisaris Golkar/Parpol. Jika pengurus inti MWC, ranting NU itu masih saja ngurus politik, sedangkan komisaris itu bekerja setiap hari, maka nanti jika mau memasang tanda gambar, orang lain sudah tidak mau, maka komisaris itu yang masang sendiri. Lalu, kapan rakyatnya bisa tahu bahwa NU sudah tidak terkait secara organisatoris dengan kekuatan sosial politik. Ini demi program NU.
Dulu, klai yang masuk Golkar (tahun 70-an), begitu sengsara. Diboikot oleh warga NU. Ada kiai yang betul-betul alim, pendiri Madrasah “Darul Ulam di Makkah. Madrasah yang memproduksi kiai-kiai muda sekarang, ada syuriah, ada ulama biasa dan sebagainya, kemudian masuk GUPPI. Ketika beliau punya hajat mantu, tidak seorang pun warga NU mau datang.
Yang salah bukan kiai itu, tetapi orang NU. Sebab hadits Nabi sudah jelas: “Idza duiya ahadukum lil walimati, falyaktiha”, Muttafaq alalih. Barang siapa di antara kamu diundang untuk walimah, mantu, dan sebagainya, hendaknya didatangi. Ini perintah tanpa melihat hitam putih atau soal politik, lawan atau kawan. Kapan kehidupan politik kita akan dewasa, jika demikian terus?
7. Hendaknya warga NU memberikan suara secara jujur dan benar. Jangan golput dan jangan golpis. Golongan tidak nyoblos (golongan putih), atau golongan pilih semua. Itu namanya kita merintangi pembangunan di bidang politik.
Di sinilah PBNU minta tanggung jawab dan keikhlasan warganya kepada pembangunan di bidang politik. Mari kita sukseskan pembangunan dengan memberikan suara dengan sebaik-baiknya menurut pilihan hati nuraninya masing-masing.