Belajar dari Sepakbola Eropa dan Amerika Latin

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Akan menarik kalau kita bandingkan Piala Juara (Champions Cup) di Eropa dengan Piala Amerika (Copa America). Perbandingan seperti itu akan membawa pelajaran-pelajaran berharga bagi persepakbolaan kita, yang saat ini sedang dalam keadaan runyam.

Ibarat orang yang jatuh ke atas tanah, persepakbolaan kita sudah tidak dapat terperosok lebih dalam lagi, kecuali masuk ke dalam lubang kuburan. Ruang geraknya hanyalah untuk bangkit kembali, dan untuk itu harus mampu mengambil pelajaran berharga dari pengalaman bangsa-bangsa dari kawasan lain.

Kedua-dua piala tersebut diperebutkan oleh kesebelasan-kesebelasan tangguh yang dipenuhi para pemain kelas satu. Keterampilan yang menggiurkan dan teknik yang fantastik dalam bermain bola diperlihatkan oleh mereka. Seni bermain bola dan strategi rasional untuk memperoleh kedua piala diperagakan dengan jelas di mata para penonton dan peminat.

Maradona

Bahwa tingkat permainan pada dasarnya mencapai ketinggian berimbang antara persepakbolaan Eropa dan Amerika nampak dalam peranan para pemain Amerika Selatan di klub-klub tangguh Eropa. Alemao, Careca, Maradona, dan Romario adalah beberapa di antara nama-nama cemerlang yang kini menghiasi persepakbolaan Eropa.

Walaupun Diego Maradona tengah terancam kariernya di klub Napoli, tapi jelas bahwa kepergian atau kehadirannya sangat menentukan penampilan kesebelasan Italia itu.

Sebenarnya, kecemerlangan nama-nama pemain Amerika Latin dalam klub-klub tangguh Eropa sudah lama dirintis. Osvaldo Ardiles dan Daniel Pasarella sudah satu dasawarsa yang lalu hijrah ke klub-klub Inggris. Jauh sebelum itu Alfredo di Stefano sudah bermain di Real Madrid, dan bahkan melakukan naturalisasi menjadi warga negara Spanyol.

Namun, tingkat berimbang dalam teknik, keterampilan, dan strategi bermain bola itu tidak berarti perkembangan persepakbolaan di kedua kawasan itu identik. Beberapa hal membedakan perkembangan persepakbolaan antara benua Eropa dan Amerika Latin.

Yang paling mudah dilihat adalah tingkat komersialisasi permainan bola yang sudah demikian jauh di Eropa. Jadwal pertandingan sangat ketat, sehingga tingkat konsistensi permainan boleh dikata sangat mantap.

Teknik dan keterampilan para pemain serta keterpaduan permainan mereka sudah demikian dikondisikan oleh kompetisi yang sangat ketat itu. Karenanya, kecenderungan permainan bola di Eropa adalah semakin lama semakin kuat untuk melakukan permainan bertahan (defensive play).

Seni

Komersialisasi permainan bola belum sejauh itu merasuki dunia persepakbolaan di kawasan Amerika Latin. Pemain bola lebih sedikit terasa mekanistik di sana dibandingkan dengan Amerika Latin. Dengan demikian seni bermain bola yang sesungguhnya, yaitu menyarangkan gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan dengan keterampilan penuh dan teknik yang tinggi masih banyak dapat dilihat di kawasan itu.

Kurang ketatnya jadwal pertandingan masih memungkinkan pemain di Amerika Latin untuk bermain santai dan mengutamakan seni bola yang ritmik. Inisiatif individu para pemain tampak lebih mencolok dan inovasi lebih memperoleh perhatian.

Kedua pola itu juga mempunyai kekurangan masing-masing. Pola Eropa tampak lebih rutin dan mekanistik. Bermain bola bagi mereka tampak lebih seperti bertukang bila dibandingkan bermain bola di Amerika Latin.

Namun kemantapan tahap permainan lebih terjamin di Eropa. Dengan kata lain, dilema klasik antara pilihan akan kompetensi (keterampilan dan teknik) versus kesenian bermain bola.

Nah, tekanan perhatian seperti ini juga diperlukan bagi persepakbolaan kita. Apakah kita akan mengembangkan kompetensi terlebih dulu apakah inovasi dalam bermain bola.

Apakah kita akan lebih banyak menghasilkan ‘teknikus bola’ seperti Lothar Matthaus dan Ian Rush dengan segala keutuhan keterampilan mereka, ataukah Valderrama dan Higuita dengan segala keunikan mereka?