Benturan Antar Budaya: Dari Terorisme Sampai Salah Faham Terhadap Islam
Oleh: K.H. Abdurahman Wahid
Ada dua pendekatan dalam mengembangkan Islam. Pertama, yang mengutamakan pendekatan “budaya Islam”, sehingga menjadi tumbuh sebagai jalan hidup yang semakin lama semakin dihayati dan diamalkan orang. Sebaliknya pendangkalan agama terjadi, manakala yang dipentingkan adalah pendekatan kedua, pengembangan instuisi Islam, bukannya budaya agama tersebut. Memang secara institusional gerakan-gerakan Islam tertinggal dalam segala hal, sehingga pada akhirnya menimbulkan rasa cemas di kalangan mereka. Cemas jangan-jangan Islam akan dikalahkan oleh peradaban Barat. Apalagi banyak teori yang disusun dan dikembangkan berdasarkan asumsi institusional tersebut, antara lain teori “perbenturan peradaban” (Clash of Civilization). Menurut konsep itu, peradaban Islam yang demikian berbeda dari peradaban Barat akan berbenturan dengan sendirinya. Oleh karena tidak memiliki pengetahuan akan proses ini, maka mereka yang mendukung pendekatan institusional itu, ada yang merasa sangat khawatir jangan-jangan akan kehilangan akan kebesaran Islam. Karena ketakutan itulah ‘anak-anak’ itu tidak mampu memandang persoalan secara jernih, akibatnya keluar ketakutan Islam akan tertinggal lebih jauh. Nah, sikap ketakutan inilah yang sebenarnya menjadi motif bagi terorisme yang dilakukan itu. Diperkirakan dengan melakukan hal itu, pihak-pihak lain akan “ketakutan” pada Islam sehingga akan menjauh dari kelompok-kelompok muslimin, dan dengan keterpisahan itu kaum muslimin, akan aman dari ‘gangguan’. Sikap seperti itu sebenarnya adalah bukti dari kekerdilan jiwa dan kurangnya pengetahuan akan proses sejarah. Karenanya untuk mencegah berkembang terus pandangan seperti itu, diperlukan ketegasan sikap dan keberanian bertindak terhadap siapa saja yang menyebarkannya dan mempercayai adanya penyebaran itu sendiri.
Sikap untuk menggunakan kekerasan melalui perkembangan teknologi modern (dengan membuat sendiri bom-bom dan senjata-senjata rakitan), adalah pengakuan akan “kelemahan” Islam sendiri. Karenanya kelemahan-kelemahan pemahaman seperti ini, harus terus menerus ditunjukkan kepada mereka, melalui pemaparan tiada henti dalam karya-karya ilmiah dan media massa. Namun, sikap kita sendiri tidak boleh didasarkan pada rasa benci kepada siapapun, karena kebencian hanya akan melahirkan kebencian-kebencian baru. Kita harus sabar menunjukkan kepada mereka kelemahan-kelemahan dalam pandangan mereka, dan “kelebihan-kelebihan” ajaran Islam menurut mereka, namun tidak berarti kita boleh berbuat seenak perut kita dalam tata pergaulan internasional. Kita harus menghormati orang lain, jika kita ingin dihormati orang pula.
Benturan Antar Budaya
Profesor Samuel Huntington mengemukakan gagasannya bahwa sekarang terjadi perbenturan antara peradaban Islam dengan budaya Barat. Segera pendapatnya berkembang ke seluruh dunia, menjadi perdebatan sangat menarik tentang peradaban modern. Bukankah dibalik bungkus perbenturan antara peradaban itu, sebenarnya dimaksudkan perbenturan antara peradaban Islam dan peradaban Barat modern? Huntington antara lain menyebutkan ciri-ciri khas peradaban Islam, yang membedakannya dari peradaban Barat modern. Perbedaan itu adalah perbedaan klasik antara sebuah peradaban yang bertumpu pada sistem hukum (dalam hal ini hukum Islam/fiqh) di satu pihak, melawan peradaban barat modern yang bertumpu pada materialisme di pihak lain. Benarkah apa yang dikemukakan Huntington itu? Apakah sikap yang harus kita ambil sebagai seorang muslim dalam hal ini?
Beberapa bulan setelah Huntington mengemukakan gagasan itu, saya diundang, pada awal dasawarsa 90-an, oleh Surat Kabar Jepang terkemuka Yamiuri Shimbun di Tokyo, untuk mengikuti sebuah diskusi. Topiknya adalah perbenturan peradaban (Clash of Civilizations) yang menjadi gagasan Huntington itu. Di muka dua ribu orang peserta, saya menyatakan kepadanya, bahwa Huntington terlalu mementingkan perbedaan antar pohon, yaitu antara ‘pohon Barat’ dan ‘pohon Islam’, tetapi melupakan ‘hutan’ dari pohon yang dimaksud secara keseluruhan. Ia lupa bahwa tiap tahun, puluhan ribu orang kaum muda muslim belajar teknologi dan ilmu pengetahuan modern di negeri-negeri barat. Mereka tentunya bukan hanya belajar teknologi dan ilmu pengetahuan modern saja, tetapi juga peradaban barat itu sendiri. Belum lagi dihitung orang yang tidak belajar di sana, tetapi terkena pengaruhnya.
Anggap saja saya adalah salah seorang diantara mereka. Saya dapat mengatakan demikian karena sehari-hari ia berpakaian seperti orang barat, bercelana dan berbaju lengan pendek. Tetapi ini tidak berarti saya menjadi orang Barat itu sendiri, atau ‘di Barat-kan’ dalam perilaku sehari-hari. Saya tidak pernah merasakan/mencicip minuman keras (alkohol) maupun makan daging babi atau anjing. Jadi, saya hanya menjadi ‘seperti orang Barat’, tanpa mengikuti mereka dalam segala hal. Tetapi, saya juga bukan ‘lawan/musuh’ orang Barat. Karenanya tentu sulit dibuat sebuah kategorisasi sesuatu sebagai produk peradaban Barat atau Islam. Posisi ditengah inilah yang kini menjadi posisi mayoritas kaum muslim di seluruh dunia. Dan ini yang tidak dimengerti oleh Huntington.
Juga harus dimengerti, Huntington menggunakan ukuran moralitas ganda dalam konsepnya itu. Kalau kelompok ultra keras (orthodox) Yahudi melempari mobil yang lewat di Jerusalem pada hari Sabtu, karena keyakinan agama mereka bahwa orang dilarang bekerja hari itu — padahal menyetir mobil bukanlah pekerjaan –, maka Huntington akan ‘menilai’ mereka memang aneh, tetapi tetap anak-anak peradaban Barat. Sedangkan kelompok-kelompok muslimin yang bertindak seperti itu di Jerusalem, akan disebut Huntington sebagai buah peradaban non Barat. Bukankah pengertian kita lalu dibuat rancu oleh Huntington dengan konsepnya yang bermoralitas ganda itu? Tetapi, moralitas ganda ini juga tidak hanya terbatas pada ‘orang-orang barat saja, melainkan juga di kalangan kaum Muslimin. Mereka berjubah, berjenggot, mengenakan serban dan membawa kelewang ke mana-mana, dapat dinilai dihinggapi rasa rendah diri.
Lalu, bagaimana kita seharusnya bersikap? jawabnya sederhana saja yaitu jadilah dirimu sendiri (be your self). Kata Prof. Jan Romeine dalam “Aera van Europa” yang terbit tahun 1954, menyebutkan adanya Pola Kemanusiaan Umum (Algemeen Menselijk Patroon). Pola pertama terjadi beberapa ribu tahun yang lalu, didasarkan pada tradisionalisme yang berintikan kekuasaan Raja yang bagaikan Tuhan dimuka bumi, perekonomian agraris, susunan masyarakat yang percaya kepada hal-hal gaib dan moralitas yang berpegang teguh kepada apa yang baik dan buruk. Pada abad ke-6 SM terjadi krisis pada peradaban-peradaban yang ada, sehingga diperlukan penegasan kembali wewenang Raja yang mewakili moralitas bertuhan satu. Lahirlah “Raksasa-Raksasa Moral” seperti Konghucu dan Lau Tse di Tiongkok, Shidarta Gautama di India, Zarathustra di Persia dan Akhnaton di Mesir. Mereka memperpanjang umur Pola Kemanusiaan Umum (PKU) I, kecuali para filosof Yunani kuno, seperti Thales, Socrates dan Plato. Para filosof itu mengembangkan ilmu pengetahuan yang menggunakan akal rasionalistik. Inilah ‘penyimpangan’ pertama orang Barat dari PKU I itu, yang disusul oleh berbagai penyimpangan-penyimpangan lain terkemudian. Akibatnya, setelah para filosof itu meninggalkan panggung sejarah manusia, maka penyimpangan dilanjutkan dengan adanya kedaulatan hukum Romawi (Lex Romanum) disusul oleh pengorganisasian gereja, renaissance, abad pencerahan (Aufklarung), rasionalisme, revolusi industri, abad ideologi dan abad ketidakpastian (yaitu abad ke-20 M). Dari abad ke abad penyimpangan demi penyimpangan itu membuat dunia Barat pada akhirnya dapat memaksakan kehendak pada Pola Kemanusiaan Umum pertama, dan lahirlah sekarang Pola Kemanusiaan Umum ke dua.
Pada saat karya Romein itu lahir dipertengahan abad yang lalu, kita masih yakin akan supremasi “Dunia Barat” atas seluruh jagad raya. Namun pada abad ini keadaannya menjadi berubah. Peradaban Barat sendiri sekarang mengalami krisis yang mengancam supremasinya. Walaupun Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa satu-satunya, masih mencoba menerapkan pola lama yang bersifat penggunaan kekuatan militer, dalam kenyataan ia mulai terdesak oleh kekuatan-kekuatan ekonomi baru seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Republik Rakyat Tiongkok. Munculnya Brazilia dan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru dalam perempat pertama abad ini akan membuat model geopolitik lama, yang didasarkan pada kekuatan senjata akan segera usang. Ini adalah “kenyataan sejarah” yang tidak dapat diingkari oleh siapapun.
Apa yang disebutkan di atas, pada akhirnya memaksakan hal-hal yang tidak terduga sebelumnya. Diantaranya adalah munculnya sasaran baru dalam kehidupan kita bersama sebagai umat manusia. Umpamanya saja Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dalam pemilu legislative yang penuh kecurangan oleh Komisi Pemilihan Umum tahun ini, mengemukakan empat buah sasaran yang menggambarkan kenyataan tadi. Empat sasaran itu adalah: demokratisasi Indonesia (yang harus ditunda dahulu pelaksanaannya); Membuat Indonesia menjadi “pimpinan” Dunia Islam; Membuat masalah-masalah dunia didiskusikan secara tetap di lingkungan negara-negara berkembang, Dan pendapatan manusia Indonesia menjadi 10.000 US$/tahun. Orang masih tertawa akan hal ini, tetapi saya melihat cara-cara untuk mewujudkannya dalam waktu 10-15 tahun yang akan datang.
Kalau sasaran itu tercapai, maka kombinasi antara kekuatan-kekuatan kultural, politik dan ekonomi akan membuat keseimbangan keadaan berubah sama sekali. Dalam percakapan dengan Wakil Menhan AS Paul D. Wolfowitz dan Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Munchen, Jerman, saya menyatakan bahwa penyerbuan Bush ke Iraq, tidak disertai kejelasan struktur politik mana yang dikehendaki AS, serta tidak memperhitungkan reaksi negara-negara tetangga Iraq. Di Iraq diperlukan pemerintahan Federal karena orang-orang Kurdi, Sunny dan Syi’i hanya dapat hidup bersama secara damai dalam struktur negara yang demikian. Sedang- kan negara-negara tetangga seperti Saudi Arabia, Kuwait, Jordania, Syria, Turkey dan Iran yang belum sepenuhnya demokratis, tidak akan membiarkan Iraq tumbuh menjadi kuat dan demokratis sekaligus, seperti dicanangkan Bush. Mereka ingin melihat Iraq yang demokratis tapi lemah, atau Iraq yang tidak demokratis tapi kuat. Hal-hal seperti inilah yang membuat konsep-konsep seperti dikembangkan Huntington dan Jan Romein yang disebutkan di atas, menjadi kacau dan tidak relevan.
“Islam agama Terorisme”: Suatu Kesalah Pahaman Barat?
Akibat tragedi gedung WTC di New York 11 September 2001, telah menimbulkan citra di banyak negara bahwa para teroris saat ini “menguasai” dunia Islam. Bahkan lebih jauh, banyak orang di sejumlah negara mengganggap Islam adalah agama terorisme, minimal Islam membenarkan penggunaan kekerasan. Ini tentu adalah tuduhan yang tidak benar, tetapi itu dipercayai banyak orang. Dan kalau yang percaya itu adalah seorang presiden, seperti Presiden Bush dari sebuah negara adi kuasa, dalam hal ini Amerika Serikat maka dapat dibayangkan betapa dahsyat akibatnya bagi kaum Muslimin.
Salah satu diantaranya adalah kesulitan bagi kaum Muslimin dari berbagai negara untuk memasuki Amerika Serikat, apalagi jika orang itu menggunakan nama berbahasa Arab. Ditambah, kalau orang yang bersangkutan bernama 3 orang Nabi, Muhammad Ismail Daud, walaupun dipakai seorang keturunan Tionghoa bermata sipit dan beragama Konghucu, jelas akan ditolak permintaannya untuk memperoleh visa memasuki negara tersebut. Ini belum lagi hal-hal lain, seperti wakil Perdana Menteri Malaysia, yang harus menanggalkan sepatu di sebuah lapangan terbang A.S, ketika melewati pemeriksaan security (keamanan). Hingga hari inipun, lebih setahun setelah terjadinya peristiwa tragis itu, kaum Muslimin masih menghadapi kesulitan-kesulitan itu.
Saya sendiri pun mengalami kejadian yang tidak mengenakan. Ketika diwawancarai oleh seorang Amerika Serikat, saya menyatakan bahwa ada kerancuan dalam sikap publik A.S terhadap kaum Muslimin hingga menggangap semua kaum Muslimin adalah teroris, karena itu harus menerima perlakuan tertentu sebagai teroris. Bukankah ini juga sebuah terorisme dari negeri itu? Ternyata dalam buku “Bush on War” dimuat kutipan sepenggal saja, yaitu ucapan saya bahwa bangsa Amerika Serikat adalah negara terorisme. Untunglah CIA (Central Intelegence Agency) di Amerika Serikat, melalui seorang direkturnya segera melakukan penelitian ulang tentang hal itu dengan bertanya apa lengkapnya ucapan saya. Saya menjawab dengan sejujurnya, ketika digambarkan di atas. Itupun saya tidak tahu, apakah keterangan itu dipercaya atau tidak oleh pihak-pihak yang bersangkutan di negeri Paman Sam.
Untuk mencegah kesalahpahaman tersebut, pengetahuan mereka tentang agama Islam harus benar-benar mendalam, atau paling tidak kita mempercayai pandangan sejumlah pakar ke-Islaman. Salah satu diantaranya, kita harus memahami benar bahwa hidup kaum Muslimin tidak dapat diterangkan hanya dengan menggunakan ajaran-ajaran formal Islam saja, namun juga harus digunakan hasil-hasil “kajian kawasan Islam” (Islamic Area Study’s). Saya pernah mengajukan kepada Rektor Universitas PBB di Tokyo, perlunya didirikan 6 buah pusat kajian kawasan Islam tersebut. Yaitu Islam di masyarakat Afrika Hitam, masyarakat Turki-Persia-Afgan, di masyarakat Afrika Utara dan jazirah Arab, di masyarakat Asia Selatan (Bangladesh, Nepal, Pakistan, India, Sri Lanka), masyarakat Asia Tenggara (ada 7 negara) dan minoritas muslim di negara berindustri maju.
Dalam mempelajari berbagai masyarakat muslim itu, kita juga harus mengetahui bahwa secara umum kaum Muslimin selalu membedakan antara dua buah pendekatan: pengetahuan tentang capaian masyarakat Islam secara kultural (budaya) dan capaian secara kelembagaan (institusional). Dari masa ke masa kaum Muslimin memberikan tekanan berbeda atas kedua pendekatan itu, sesuai dengan kebutuhan di masing-masing kawasan. Yang ideal, kalau dilakukan pendekatan berimbang atas kedua macam capaian tersebut. Tekanan pada capaian kultural saja, seperti di lakukan NU sejak lahir, akan menunjukkan betapa berantakannya organisasi tersebut. Tetapi tekanan pada capaian institusional saja, — seperti yang dilakukan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) — juga berakibat fatal dan hanya memenuhi ambisi-ambisi pribadi belaka.
Mencapai keseimbangan antara kedua capaian itu dalam pendekatan yang dilakukan kaum Muslimin dalam sebuah masyarakat, akan menunjukan hasil optimal secara teoritik. Walaupun “menggeliatnya” kaum Muslimin di negeri ini dalam beberapa dasawarsa tahun belakangan ini, sudah membawa hasil tersendiri. Bayangkan jika dalam pendekatan yang diambil untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi kaum Muslimin dalam berbagai bidang, ada keseimbangan antara kedua capaian tersebut. Kita sendiri sebenarnya sering kali menggunakan “temuan-temuan” orang lain yang tidak tepat untuk kita gunakan. Karenanya kita perlukan pendekatan masalah berdasarkan pengetahuan mendalam atas diri kita sendiri. Kepemimpinan politik umat harus diarahkan kepada penciptaan kondisi tersebut, bukan untuk kepentingan golongan sendiri. Kepentingan golongan atau kelompok memang harus diperjuangkan, tetapi tidak boleh merusak kepentingan bersama yang lebih besar.
Dari sekian banyak hal yang harus diperhatikan dalam memahami Islam, ada beberapa hal yang sangat penting. Umpamanya saja perbedaan antara berbagai kawasan kaum muslimin. Islam di Asia Tenggara, umpamanya, sudah terbiasa dengan adanya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi Non-Pemerintah (Ornop). Sedangkan di kawasan Timur-Tengah tidak demikian halnya. Bandingkan ini, di Indonesia ketua Palang Merah Indonesia (PMI) dipilih langsung oleh masyarakat, sedangkan di Mesir ditunjuk presiden. Hal lain misalnya, terlihat pada perbedaan di tiap kelompok masyarakat Islam tentang status wanita dan pembagian warisan. Belum lagi jika kita berbicara mengenai kaum Muslimin dimanapun berada dalam menghadapi tantangan masyarakat modern.
Aspek lain yang tidak boleh dilupakan adalah perbedaan respon terhadap perkembangan zaman, antar masyarakat kawasan yang saling berbeda. Di banyak kawasan, kaum Muslimin meninggalkan baik secara harfiah maupun dalam sikap hidup mereka, perbudakan yang semula memang disebutkan dalam kitab suci Al-Qur’an maupun Hadist Nabi Muhammad S.A.W. Tetapi di beberapa kawasan, kaum Muslimin justru masih mempraktekkan perbudakan. Juga kaum Muslimin sudah menggunakan berbagai bentuk sanksi dengan hukum ‘sekuler’ atas pelanggaran-pelanggaran, tapi masih ada juga yang memberlakukan hukuman potong tangan untuk pelanggaran-pelanggaran yang sama. Ini berarti terjadi perbedaan respon terhadap “berbagai tantangan modernisasi” yang dihadapi kaum muslimin dewasa ini.
Jelas dari uraian diatas, bahwa Islam adalah agama yang berhubungan sangat erat dengan sejarah. Karenanya, jika kita hanya menggunakan versi-versi yang bersifat ajaran formal belaka, maka kita akan ditinggalkan masyarakat. Kita harus pandai memanfaatkan pendekatan formal maupun non-formal itu, jika Islam diinginkan maupun menjawab tantangan-tantangan tersebut. Wilfred Cantwell Smith, dalam salah satu tulisannya, menunjukkan perbedaan pengertian antara ajaran Islam dan ajaran Kristen. Orang Islam, menerima Al-Qur’an dan Hadist sebagai dua buah revelasi (wahyu) yang agak berbeda tingkatannya, sedangkan kaum Kristiani tidak memberlakukan kitab suci mereka sedemikian mutlak. Sebabnya karena Kitab Suci Injil adalah kumpulan “rekaman” para Rasul atas ucapan dan tindakan Yesus Kristus. Sedangkan bagi kaum Muslimin kedua sumber itu memang benar-benar berasal dari Tuhan; satu langsung dari-nya dan satu lagi melalui Nabi Muhammad SAW. Kita harus sanggup memahami itu semua, hal yang mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan.