Berkuasa dan Harus Memimpin
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Ketua Umum PIB Syahrir membuat tulisan menarik dalam sebuah media. Dalam kesimpulan penulis, dalam karyanya itu, Syahrir menyebutkan ada orang berkuasa tetapi tidak memimpin. Dengan tepat, Syahrir menunjukkan pada kita sebagai bangsa yang sedang porak-poranda, karena tidak adanya kepemimpinan. Buktinya, krisis multidimensi yang sedang kita hadapi dewasa ini, sama sekali tidak mendapatkan pemecahan –kalau tidak dikatakan justru diperparah oleh ulah para pemimpin kita sendiri-. Ada pejabat yang menganggap TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Malaysia sebagai persoalan pemerintah daerah, padahal seluruh peraturan yang menyangkut diri mereka dibuat oleh pemerintah pusat. Demikian juga pejabat lain yang tidak mau meninggalkan jabatan, walaupun telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri di Jakarta sebagai pihak yang bersalah. Alasannya, karena menunggu putusan Pengadilan Tinggi. Bukankah ini berarti sebuah pengakuan, bahwa sistem pengadilan kita bekerja di bawah pengaruh mafia peradilan? Alangkah tragisnya keadaan kita saat ini?
Dengan tepat pula, Syahrir menunjuk kepada pemerintahan kita yang memiliki sejumlah orang berkuasa, namun tidak sanggup memimpin. Bahkan, aparat penegak hukum kita cenderung melanggar konstitusi. Pertanyaan Klinik Hukum Merdeka, adakah DPR/MPR kita dewasa ini legal atau tidak, mengingat baru 60% suara hasil pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999 dihitung, namun pemerintah telah mengumumkan Surat Keputusan (SK) Presiden, mengenai komposisi DPR/MPR? Pertanyaan ini tidak dijawab hingga saat ini oleh Mahkamah Agung (MA). Begitu juga, pertanyaan penulis kepada lembaga tersebut, apakah Maklumat Keadaan Bahaya yang dikeluarkan Presiden tanggal 21-23 Juli 2001 tersebut merupakan tindakan legal atau ilegal berdasarkan konstitusi? juga tidak mendapatkan jawaban.
Ditambah lagi, bahwa showroom mobil termahal (mewah) di dunia saat ini berada di halaman gedung DPR, yang dipenuhi oleh mobil para anggotanya, bahkan tidak mengindahkan besarnya jumlah kubik silinder (cc) yang dimiliki kendaraan tersebut. Dengan kata lain, para anggota DPR/MPR kita tengah menikmati kekuasaan yang mereka peroleh tanpa memperhatikan sah atau tidaknya kekuasaan mereka itu. Dengan demikian, pengamatan Syahrir itu juga berlaku bagi para anggota DPR/MPR kita dewasa ini. Keluhan terhadap birokrasi pemerintahan dan kejengkelan rakyat sama sekali tidak diperhatikan. Bahkan DPR tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat, melainkan hanya sibuk dengan urusan mereka sendiri tampak jelas di mata kita.
Masalahnya adalah persoalan klasik yang harus kita hadapi sekarang ini. Kepercayaaan (trust) masyarakat kepada sistem pemerintahan kita dewasa ini menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan. Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), terutama dalam bentuk korupsi, kini tampak nyata sudah tak terkendali lagi. Benarlah kata alm. Mahbub Junaidi: bahwa nanti kita harus membayar pajak karena mengantuk, seolah-olah ini sebuah kenyataan yang hidup. Kekuasaan Wangsa Syailendra (pembangun Candi Borobudur) dan Kerajaan Majapahit (untuk membiayai perang dan perluasan kawasan) –misalnya, akhirnya runtuh karena keduanya hanya sekadar berkuasa tetapi tidak memimpin. Kekuasaan Wangsa Syailendra dianggap tidak ada oleh kaum Hindu-Buddha yang membangun Candi Prambanan yang di kemudian hari hijrah ke Kediri di bawah Dharmawangsa dan mengingkari kekuasaan wangsa tersebut. Kekuasaan Majapahit, yang semula memeluk agama Hindu-Buddha/Bhairawa, akhirnya juga hilang tanpa dapat ditolong lagi karena ketidakmampuan mempertahankan keadaan di hadapan tantangan kaum muslimin, terutama di bawah pimpinan Sayyid Jamaluddin Husaini dalam abad ke-15 Masehi.
Dengan mengacu kepada ketidakmampuan pemerintah yang ada untuk memelihara kepercayaan (trust) rakyat tersebut, jelas bagi kita adanya kewajiban besar untuk berpegang kepada amanat yaitu mengutamakan kepentingan rakyat, yang dirumuskan dengan sangat baik oleh para pendiri negeri ini, melalui pembukaan UUD 1945, dengan rumusan “masyarakat adil dan makmur”. Hal ini jelas menunjuk pada keharusan mencapai kesejahteraan bangsa. Pernah diperdebatkan, apakah peningkatan PNB (Produk National Bruto), dapat dinilai sebagai upaya mencapai keadaan tersebut? Sekarang jangankan berusaha ke arah itu, berdebat mengenai apa yang dimaksud dengan kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran pun sudah tidak lagi kita lakukan.
Kehidupan kita yang kering-kerontang ini sekarang hanya dipenuhi oleh kegiatan untuk mempertahankan kekuasaan, bukannya untuk mencapai kepemimpinan yang diharapkan. Kekuasaan disamakan dengan kepemimpinan, dan kedua hal tersebut tidak lagi mengindahkan aspek moral/etika dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Pantaslah jika kita sekarang seolah-olah tidak memiliki kepemimpinan dan para pemimpin, karena kita sudah kehilangan aspek moral dan etika tersebut. Kepemimpinan kita saat ini, sebagai bangsa, hanya dipenuhi oleh basa-basi (etiket) yang tidak memberikan jaminan apa-apa kepada kita sebagai bangsa.
Agama Islam, yang dipeluk oleh mayoritas bangsa kita, memiliki sebuah adagium yang sangat penting: “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan mereka” (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah) jelas menunjuk hubungan langsung antara sang pemimpin dengan rakyat yang dipimpin yang diukur dengan tingkat kesejahteraan rakyat mereka. Benarkah kita saat ini memperjuangkan kesejahteraan dengan sungguh-sungguh? Kalau dilihat kelalaian para penguasa kita dewasa ini, tentu saja pertanyaan ini tidak akan ada yang menjawab sekarang. Karena dalam kenyataan hal ini tidak dipikirkan secara sungguh-sungguh oleh para penguasa kita. Tidak ada usaha untuk mengkaji kembali sistem pemerintahan kita, minimal mengenai orientasinya, hingga tidak heranlah jika langkah bangsa ini sedang terseok-seok.
Islam mengenal: “Tiada agama tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa pemimpin” (lâ dîna illâ bi jamâ’atin wa lâ jamâ’ata illâ bi imâmatin wa lâ imâmata illâ bi imâmin), jelas sekali menunjuk pada pentingnya arti kepemimpinan dari sang pemimpin. Dengan demikian, kepemimpinan mempunyai arti yang sangat besar bagi sebuah bangsa. Ketika para pemimpin kita bertikai mengenai saat yang tepat bagi proklamasi kemerdekaan, ada yang merasakan sudah waktunya hal itu dilaksanakan, dan ada pula yang merasa belum waktunya, tetapi semuanya mengetahui bahwa proklamasi harus dilakukan, hanya soal waktu saja yang dipersengketakan. Ketika para pemuda menculik Soekarno ke Rengasdengklok, hal itu menunjukkan bahwa mereka memiliki jiwa kepemimpinan yang diperlukan, sedangkan Soekarno tidak mempersoalkan keharusan siapa yang akan menyampaikan proklamasi itu sendiri. Ia hanya mempersoalkan bila proklamasi itu harus dilakukan. Dan akhirnya, semua sepakat, bahwa hal itu harus dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pengamatan Syahrir bahwa kita tidak memiliki pemimpin, melainkan hanya seorang penguasa belaka, tentu didasarkan pada sebuah kenyataan di atas. Yaitu, bahwa krisis multidimensi yang kita hadapi sekarang ini, memerlukan jawaban serba-bagai dari para penguasa pemerintahan kita; dengan menciptakan sistem politik baru yang mengacu kepada etika dan moral, melalui kedaulatan hukum dan perlakuan yang sama bagi semua warga negara di depan undang-undang, hingga pengembangan orientasi ekonomi yang tepat, semuanya itu memerlukan kepemimpinan yang benar. Kepemimpinan yang memiliki keberanian moral, kemauan politik (political will) dan kejujuran untuk mengutamakan kepentingan rakyat, bukannya kepentingan sendiri ataupun kelompok. Karena kepemimpinan formal yang seperti itu belum ada, pantaslah bila ada anggapan, kita tidak memiliki pimpinan saat ini, melainkan hanya penguasa saja.