Berubah Karena Alasan Geopolitis
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
SEHARI sebelum artikel ini dikirimkan kepada redaksi, penulis didatangi oleh sang adik termuda yang sudah beberapa bulan menghilang dari peredaran. Dalam percakapan waktu itu, penulis mengemukakan bahwa media massa kita ramai membahas masalah kehadiran pasukan-pasukan asing di Aceh. Ia menyatakan kepada penulis bahwa banyak media (dan dengan sendirinya banyak Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) menganggap pasukan-pasukan Amerika Serikat yang hadir di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah untuk menduduki provinsi tersebut. Berarti kita akan kehilangan sebuah provinsi.
Adik penulis menyatakan bahwa ini tidak benar. Mereka datang ke sini untuk dua hal. Pertama, menolong Republik Indonesia mengatasi bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami yang menelan korban lebih dari 100.000 orang. Kedua, setelah periode yang disebutkan itu, mereka akan ‘meminta’ tetap berada di sebuah pangkalan militer (yang mereka akan bangun) di pulau Sabang.
Tidak jelas menurut adik penulis, apa maksud mereka mendirikan pangkalan militer itu. Untuk menjaga Selat Malaka dari gangguan para perompak laut atau untuk tujuan lain? Entahlah adik penulis tidak mau menerka hal itu. Jika adik penulis itu benar, maka maksud Amerika Serikat itu harus dipertimbangkan secara mendalam, karena sejak kemerdekaan kita, belum pernah ada pangkalan militer asing berdiri dan berpatroli di negeri ini. Jika hal ini terjadi maka ‘tradisi politik luar negeri’ kita akan berubah sama sekali setelah lebih dari 50 tahun merdeka. Penulis tidak dapat membayangkan apa reaksi masyarakat dalam hal ini. Partai-partai politik besar seperti PDI Perjuangan, PKB, PPP dan PKS jelas akan menentangnya. Kita belum tahu yang lain-lainnya, tentu masyarakat akan bercermin pada sikap itu.
Hal itu akan mengakibatkan lebih banyak tuduhan-tuduhan yang tidak sepenuhnya benar, bahwa pihak tentara pendudukan asing itu akan ‘merebut dengan senjata’ kawasan-kawasan provinsi NAD itu. Ini berarti, akan terbit kasulitan-kesulitan besar di kalangan kaum muslimin yang tidak mengandalkan diri pada emosi mereka, yang biasa disebut dengan istilah ‘Islam Moderat’, untuk berkiprah menjelaskan masalah itu kepada rakyat banyak. Kalau hanya menjadi tugas berat saja, tidak mengapalah kerja itu harus dilakukan. Masalahnya adalah tugas berat itu belum tentu berhasil, karena yang paling sulit adalah meyakinkan rakyat, bahwa sesuatu harus dilakukan. Ini sama saja, baik mengenai aspek dalam negeri seperti mendirikan pangkalan militer di kawasan ini atau di bidang luar negeri, seperti menjelaskan perlunya mendirikan sebuah pangkalan militer untuk sesuatu tujuan. Walhasil, sebuah upaya yang penuh dengan kesulitan-kesulitan, dan itu pun belum tentu berhasil.
Kita ingat pengalaman Dien Bien Phu di Vietnam. Kota peninggalan Perancis itu diandaikan akan mampu menahan serangan Bien Frontal dari pihak Vietkong di awal-awal tahun 50-an. Ternyata yang datang bukanlah serangan frontal melainkan ‘hanyalah’ serangan dari perimeter kota, karena hutan-hutan sekitar kota itu dibiarkan oleh pasukan-pasukan Vietkong di bawah Pimpinan Vo Nguyen Giap. Mengapa? Karena meriam-meriam Perancis dengan jarak tembak ke hutan-hutan itu sudah siap memuntahkan peluru, jika pasukan-pasukan Vietkong berada di situ. Karena Giap menggali lubang di bawah tanah hingga perimeter kota, maka pasukan-pasukannya muncul di luar/bawah jarak tembak meriam-meriam pertahanan kota. Dan, merdekalah Jenderal Giap untuk menyerang Dien Bien Phu dari pinggiran kota, dengan senjata yang dilepas dari lubang-lubang tersebut yang dirakit kembali. Dan, ini termasuk tank-tank berat, yang dibawa melalui lubang-lubang panjang itu, yang dibawa oleh sepeda-sepeda biasa.
‘Kesenangan’ Perancis untuk bertahan secara stastis itu, pada prinsipnya sama dengan lubang galian Perancis dalam Perang Dunia I yang terkenal dengan nama Masinot Linie, yang bersifat stastis untuk melindungi kota-kota di belakangnya. Ketika pihak lawan berhasil menyeberangi parit-parit itu dengan menggunakan papan-papan kayu dan berlari di atasnya, maka pasukan yang bertahan itu dapat diserang dari belakang oleh musuh. Lalu, tidak ada gunanya lagi untuk bertahan. Karena itu timbullah ucapan “menyerang adalah pertahanan terbaik”.
Oleh sebab itu, adanya sebuah pangkalan militer di wilayah Republik Indonesia adalah sesuatu yang secara teoritik dapat dianggap sikap bertahan. Tentulah harus dipikirkan secara mendalam, benarkah keputusan ‘membiarkan’ adanya sebuah pangkalan militer, benarkah secara rasional dapat dipertahankan? Kita harus dapat memperhitungkan soal ini mampu atau tidaknya kita ‘biarkan’ hal seperti itu terjadi, siapapun yang memintanya, atau untuk tujuan apapun.
Memang, benar sulit untuk meyakinkan Amerika Serikat jika perhitungan-perhitungan kita tidak menggembirakan. Tetapi, karena kebutuhan untuk kerja itu memang nyata, kita harus melakukanya apapun risiko yang harus diambil. Di sinilah benar-benar dibutuhkan kepemimpinan negara yang kuat, bersih, jujur dan berpandangan jauh. Amerika Serikat adalah teman kita tetapi kepentingan nasional akan lebih penting dari pertimbangan apapun. Inilah hal yang harus kita ingat, sehingga memang tidak mudah untuk mengambil sikap yang pasti dalam hal ini. Apalagi kita sedang berada pada posisi lemah dalam hampir semua bidang kehidupan.
Karenanya, kita harus berhati-hati dan menggunakan pertimbangan yang lebih rumit/kompleks dalam mengambil keputusan, tentang dapat tidaknya sebuah pangkalan militer asing didirikan (oleh siapapun) di negara kita. Hal inilah yang membuat penulis merasa beratnya keputusan yang harus diambil oleh pemimpin yang mengendalikan negeri kita di masa depan yang dekat ini.
Jika hal ini tidak kita pertimbangkan, baik di dalam dan di luar kita akan menghadapi kasulitan-kesulitan, yang dapat saja membuat negara kita labil. Di dalam negeri, umpamanya, akan demikian banyak orang yang menentang kehadiran pangkalan militer asing. Kalaupun pemerintah dapat mengatasi hal itu, perlu juga dipertanyakan kemampuan itu dapat dipertahankan dalam jangka panjang atau tidak. Demikian pula, jika tantangan itu datang dari luar negeri. Jelas, Republik Rakyat Tiongkok dan India tidak akan setuju dengan gagasan itu. Demikian pula Malaysia yang menjadi Jiran kita. Belum lagi Vietnam dan sekutu-sekutunya seperti Laos dan Kamboja. Sudah tentu, mereka akan menggunakan berbagai elemen di dalam negeri untuk bertindak menwujudkan sikap seperti itu. Inilah yang akan membuat kita mengolah labilitas keadaan cukup besar, dan itu berarti waktu dan tenaga kita habis untuk menghadapi sikap seperti itu.
Ada pemikiran, agar kita mengadakan perjanjian dengan pihak luar negeri untuk melakukan tugas-tugas militer yang diinginkan negara tersebut tanpa mendirikan pangkalan militer asing di negeri kita. Ini lebih ringan akibatnya dari pada gagasan pertama tadi. Tapi juga masih memerlukan pertimbangan mendalam, karena pada saat ini sudah tidak mungkin membuat sesuatu tanpa orang lain, di dalam dan di luar negeri, tidak mengetahui hal itu. Kemungkinan besar satu-satunya hal yang dapat kita perbuat sebagai negara adalah penyataan terbuka, bahwa negara kita akan membeli senjata-senjata dan peralatan militer lainnya dari satu sumber, seperti Amerika Serikat. Tetapi, itu pun dengan harga murah yang berarti kita memerlukan subsidi negara lain, karena keadaan keuangan kita sendiri belum memungkinkan tindakan seperti itu. Tentu saja, bagi AS ini punya arti banyak, karena berbagai pertimbangan.
Itulah beberapa hal yang mau tidak mau kita harus lakukan, jika kita harus memutuskan (dan tentu saja harus ada permintaan tertutup atau terbuka), untuk memperkenankan berdirinya sebuah pangkalan militer asing di negeri kita. Mungkin masih ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan dan karena itu dialog dalam masyarakat harus didorong untuk melakukan hal itu. Sikap menutup-nutupi isu tersebut hanya akan menambah kecurigaan kepada maksud baik yang ada. Keterbukaan sikap menjadi sangat penting, karena bagaimanapun juga ini adalah perubahan mendasar dalam politik luar negeri kita. Sikap untuk menutup-nutupi proses pengambilan keputusan itu hanyalah akan menambah tentangan yang sudah ada.
Memang harus ada perubahan sikap kita sebagai bangsa dan negara dengan politik luar negeri kita yang bebas dan aktif. Kalau kita tidak berhati-hati, yang terjadi kita akan mengikuti politik luar negeri yang tidak bebas dan tidak aktif. Ini adalah perubahan karena alasan-alasan keadaan geopolitis yang terjadi, terutama dalam tiga dasawarsa tahun terakhir ini. Di sinilah akan terjadi proses melestarikan dan membuang, yang biasa terjadi dalam sejarah manusia, bukan?