Bom di Bali dan Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Peledakan bom di Denpasar, semakin hari semakin banyak mendapat sorotan. Salah satu hal terpenting, adalah mengetahui siapa yang melakukan, dan mengapa mereka melakukannya. Dikatakan “mereka”, karena jelas sekali peristiwa seperti itu tidak akan mungkin dilakukan oleh seorang diri belaka, sehingga digunakan kata tersebut untuk menunjuk para pelakunya. Sayangnya, hingga hari ini belum dapat disebutkan siapa-siapa pelaku sebenarnya. Jangan-jangan, hasil pemeriksaan tidak akan diumumkan secara jujur, karena menyangkut pejabat yang berada dalam sistem kekuasaan. Bukankah banyak hal di Indonesia selama ini tidak pernah dibongkar sampai tuntas, melainkan ditutup-tutupi dari mata masyarakat?
Banyak pihak ditunjuk oleh orang yang berbeda-beda sebagai para pelaku kejadian itu, sesuai dengan kepentingan masing-masing. Juga karena adanya hal-hal yang dapat ditunjuk sebagai persambungan dari peristiwa pemboman yang pernah terjadi. Begitu juga, demikian banyak konspirasi/komplotan yang dapat ditunjuk sebagai biang keladi, sehingga hal yang sebenarnya terjadi menjadi tertutup olehnya. Penulis khawatir, jangan-jangan peristiwa yang sebenarnya, justru malah dikaburkan oleh sekian banyak gambaran adanya konspirasi/komplotan yang terjadi di Bali tersebut.
Yang tampak jelas hanyalah beberapa hal saja. Pertama, peledakan bom itu terjadi di Pulau Dewata Bali, kedua, bahwa korbannya adalah orang-orang Australia, yang berjumlah sangat besar dan menerbitkan amarah dunia internasional. Masih menjadi pertanyaan lagi, mungkinkah pemerintah kita sendiri dapat dan bersedia melakukan pelacakan atas kejadian tersebut dengan tuntas? Mungkin pertanyaan ini terdengar agak sinis, tapi bukankah demikian banyak peristiwa yang telah terjadi di negeri kita tanpa ada pemeriksaan sampai tuntas, hingga kita patut bertanya-tanya, benarkah pemerintah kita nanti akan menangani segala sesuatunya secara serius? Buktinya, penulis telah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri —sewaktu menjabat sebagai Presiden, untuk melakukan penangkapan-penangkapan. Namun, mereka tidak melaksanakan perintah tersebut, bahkan sampai hari ini pun pihak Mahkamah Agung (MA) belum mau menjawab pertanyaan penulis, apakah terjadi tindakan insubordinatif oleh kedua pejabat tersebut, dengan menolak mengerjakannya? Kalau MA saja tidak memiliki keberanian untuk memberikan jawaban terhadap keadaan yang demikian jelas tadi, juga dengan pihak eksekutif-pemerintah dan legislatif-juga tidak mau mempertanyakan hal itu, bukankah hal sejelas itu menunjukkan adanya kebuntuan pemerintahan? Dan bukankah kebuntuan itu juga yang dapat menghentikan pemerintah untuk mencari tahu siapa saja yang menjadi para pelaku peledakan bom di Denpasar itu?
*****
Terjadilah simpang-siur pendapat karenanya. Ada yang mengatakan pelakunya adalah pihak luar negeri, dalam hal ini adalah orang-orang Amerika Serikat (AS). Di pihak lain, ada yang beranggapan bahwa hanya pihak dalam negeri saja yang terlibat dalam kejadian ini. Ada yang berpendapat lagi, bahwa pihak luar negeri bekerjasama dengan unsur-unsur yang ada di dalam negeri sendiri yang menjadi para pelaku. Demikian juga terjadi perbedaan yang cukup tajam antara mereka yang berpendapat adakah jaringan Islam ekstrim/garis keras terlibat dalam kejadian tersebut.
Jika jalan pikiran ini terus diikuti, tentu timbul pertanyaan siapa saja atau organisasi mana yang membiarkan diri terlibat dalam kejadian tersebut? Laskar Jihad-kah, yang merupakan cabang dari organisasi dengan nama serupa di Saudi Arabia. Lalu, mengapakah mereka “buru-buru” membubarkan diri begitu terjadi peristiwa di Bali tersebut? Adakah hubungan antara kejadian tersebut di satu pihak, dengan masa depan organisasi itu? Bukankah bubarnya organisasi itu di Saudi Arabia dan Indonesia — pada waktu yang hampir bersamaan, justru menunjukkan adanya jaringan (networking) dalam tubuh sebagian gerakan Islam di dalam dan luar negeri? Bukankah ini menunjukkan adanya jaringan internasional di kalangan mereka, yang oleh pihak lain dianggap sebagai bukti hadirnya jaringan internasional untuk mempromosikan versi mereka tentang hubungan gerakan Islam dan non-Islam secara keseluruhan?
Demikian kacaunya perkembangan yang terjadi, hingga ada pihak yang menganggap Abu Bakar Ba’asyir —seorang kiai pesantren dari Solo, sebagai salah seorang pelaku, sedangkan yang lain menganggap ia tidak terkait sama sekali dengan peristiwa itu. Lalu, mengapakah ia sampai pingsan di rumah sakit, begitu mengetahui dirinya akan diekstradisikan ke AS? Ini lagi-lagi menunjukkan ketidakjelasan yang kita hadapi. Hanya penelitian yang mendalam dan kejujuranlah yang dapat mengungkapkan hal ini secara terbuka kepada masyarakat. Rasanya, kalau tidak ada tim khusus untuk melakukan hal itu, kita tetap tidak akan tahu mengenai latar belakang maupun hal-hal lain dalam peristiwa itu.
*****
Dapat digambarkan di sini, betapa marahnya pihak-pihak lain secara internasional maupun domestik terhadap hal itu. Penulis yang menggunakan rasio dengan tenang, dalam hal ini tidak dapat mengemukakan secara menyeluruh dengan jujur apa yang ada dalam pikirannya tentang kemungkinan siapa yang memerintahkan para pelaku sebenarnya yang melaksanakan pemboman tersebut. Mengapa? Karena benak penulis penuh dengan nama orang-orang yang mungkin melakukan hal itu, dan juga nama orang-orang yang “patut diduga” (untuk meminjam istilah pelanggaran konstitusi yang dilakukan para pemimpin partai politik di DPR/MPR, beberapa waktu yang lalu) terlibat dalam kasus ini.
Sementara, hal yang paling memilukan hati, adalah bahwa nama Islam dibawa-bawa dalam hal ini. Seolah-olah kaum muslimin seluruhnya turut serta melakukan hal tersebut, apalagi apa yang terjadi di Pulau Dewata itu mayoritas penduduknya non-muslim. Demikian juga korban orang asing —yang keseluruhannya beragama lain. Padahal kita tahu kalaupun ada orang yang beragama Islam terlibat dalam kasus ini, motif mereka bukanlah faktor agama, melainkan uang, jabatan ataupun pengaruh. Kalau orang yang benar-benar cinta terhadap Islam, mereka akan tahu bahwa agama tersebut melarang tindak kekerasan, dan hanya mengijinkannya untuk mempertahankan diri jika mereka diusir dari rumah mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim). Kalaupun ada seorang muslim melakukan tindakan seperti itu guna membela Islam dari “ancaman pihak lain” itu berarti ada penafsiran salah yang dilakukan dalam memahami agama tersebut.
Demikianlah, Islam dan Indonesia menjadi korban dari perbuatan yang tidak bertujuan mulia, jika versi di atas dipakai dalam hal ini. Jika yang digunakan adalah perebutan kekuasaan satu sama lain, dengan korban rakyat biasa dan para wisatawan mancanegara yang tak mengerti apa-apa, kiranya dapat dipakai gambaran rekonstruksi bermacam-macam di awal tulisan ini. Kesemua itu akan menjadi terang, jika pemerintah membentuk tim independen yang diisi oleh orang-orang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Massa (Ormas). Tetapi, bukankah itu justru dianggap sebagai sikap tidak percaya terhadap pemerintah, walaupun sebenarnya kecurigaan seperti itu tidak pernah ada. Tragis, bukan?