“Catenaccio” Hanyalah Alat Belaka
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Sindhunata telah menguaraikan pendapatnya mengenai jalannya pemerintahan dalam dalam harian Kompas, beberapa hari yang lalu. Inti pendapatnya, sistem bertahan (catenaccio) saja di dalam persepakbolaan Italia sulit untuk dikembangkan di Indonesia dalam perkembangan terakhir ini. Ia mengemukakan, pemerintah dengan sadar haruslah menegakkan demokrasi secara menyeluruh, dan untuk itu sistem bertahan saja tidaklah cukup. Haruslah digunakan sistem menyerang dalam persepakbolaan walaupun tidak jelas strategi mana yang digunakan. Total football-kah atau yang lain?
Kritikan Sindhunata ini merupakan sebuah kenyataan bahwa Sistem pertahanan gerendel (catenaccio) dalam persepakbolaan Italia tidak digunakan dalam segenap aspek pembangunan di Indonesia. Ia hanya digunakan dalam masalah Panitia Khusus (Pansus) DPR saja karena memang hanya tepat untuk itu. Keseluruhan perkembangan di negeri kita membutuhkan tidak hanya satu strategi saja, karena ia meliputi suatu kawasan kehidupan yang sangat luas.
Jadi, sangatlah keliru jika masalah demokrasi diukur hanya dengan ukuran Pansus DPR saja. Juga sangatlah keliru untuk menganggap strategi catenaccio dipakai untuk semua hal. Hal ini memang merupakan kesalahan yang lumrah, seperti halnya segala macam fitnah yang dialamatkan ke diri penulis, termasuk oleh harian ini.
***
Dalam masalah reformasi, haruslah diingat bahwa dia bukan proses yang dapat selesai dalam satu-dua tahun saja. Mungkin lebih dari satu generasi dibutuhkan untuk itu. Dengan tidak menutupi kesalahan yang ada, tidaklah tepat untuk menganggap bahwa pemerintahan sekarang tidak berusaha ke arah itu. Bahwa di sana telah terjadi perubahan mendasar, hal itu tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Kebebasan pers, pembebasan para narapidana politik dari tahanan, dan sejumlah keputusan penting lain yang memiliki arti sangat besar bagi kehidupan kita dewasa ini.
“Jadi, dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa strategi total football harus diterapkan secara kreatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Dalam satu hal, kita menggunakan strategi catenaccio, sedang dalam hal lain strategi hit dan run. Bahkan, kadang kita menggunakan strategi total football dan siapa tahu kita juga memeragakan bola Samba kesebelasan Brasil.”
Bahwa kenyataan tersebut harus diikuti oleh keputusan-keputusan lain, jelas merupakan keharusan yang tidak dapat diingkari. Masalahnya adalah sampai di mana hal itu dapat diwujudkan? Di sini berlaku strategi lain dalam dunia persepakbolaan dunia.
Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah sistem hit and run, yang dahulu banyak dipergunakan berbagai kesebelasan di Inggris. Artinya, sebuah proses demokratisasi itu haruslah diwujudkan dalam hal ia dapat dilaksanakan. Dengan demikian, disadari bahwa tidak seluruh aspek harus didemokrasikan dapat diwujudkan pada saat yang bersamaan. Daya tahan kita sangat diperlukan untuk itu.
Anggapan bahwa demokratisasi dapat dilakukan dengan cepat adalah sesuatu yang oleh V.I. Lenin dianggap sebagai “penyakit kiri kekanak-kanakan” (infantile leftism), yang—kalau ini dilakukan—sama saja dengan bunuh diri. Demokrasi memerlukan napas yang panjang dan hanya dapat diwujudkan dalam kurun waktu yang panjang pula.
Di Thailand, misalnya, terdapat banyak keluhan terhadap kekuasaan raja dan tentara yang masih terlalu besar hingga diperlukan penyesuaian di kemudian hari. Contoh yang diambil dari negeri terdekat ini sekedar untuk menunjukkan bahwa proses demokratisasi memerlukan waktu yang sangat lama dan membutuhkan stamina tinggi.
***
Dalam keadaan seperti itu, penulis menggunakan sebuah adagium dari ushul fiqh (filasafat hukum Islam). Adagium itu penulis penulis pelajari ketika masih belajar di pesantren, sekitar 43 tahun yang lalu. Adagium itu ditemukan oleh Imam Syafi’i, dua belas abad lampau dalam sebuah karya monumental beliau Al-Risalah. Adagium itu berbunyi: “Apa yang tidak terwujud seluruhnya jangan ditinggal yang pokok” (Maa la yudroku kulluhu lam yutrak julluhu).
Adagium ini digunakan penulis untuk bersahabat dengan ABRI (TNI sekarang) yang dulu sering disumpahserapahi orang sebagai strategi yang salah. Akan tetapi, bila hal itu tidak dilakukan dahulu, tentu struktur TNI sekarang ini tidak mendukung proses demokratisasi. Dan, tanpa dukungan mereka, tidak banyak yang dapat dilakukan di hadapan teriakan-teriakan reformasi yang dilontarkan orang-orang yang sebenarnya berjiwa status quo.
Kekerasan kepala penulis untuk memisahkan TNI, antara institusi dan pemegang jabatan di dalamnya, punya arti yang sangat penting. Hal itu berarti keharusan menghormati institusi TNI sambil membiarkan proses penegakan hukum berlangsung terus. Hal itu memang memprihatinkan orang yang menggunakan kedaulatan hukum sebagai satu-satunya ukuran bagi keberhasilan proses demokratisasi. Kedaulatan hukum akan tegak dalam jangka panjang bersamaan dengan kebebasan pers, persamaan perlakuan di depan undang-undang, dan keterbukaan pemerintah.
Jadi, dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa strategi total football harus diterapkan secara kreatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Dalam satu hal, kita menggunakan strategi catenaccio, sedang dalam hal lain strategi hit and run. Bahkan, kadang kita menggunakan strategi total football dan siapa tahu kita juga memeragakan bola Samba kesebelasan Brasil.
Itulah suka dukanya kehidupan berdemokrasi, yang memerlukan proses demokratisasi yang sangat panjang. Seperti dikatakan mendiang Winston Churchill, “Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang banyak kelemahannya, tetapi ia masih lebih baik daripada semua sistem pemerintahan lain.”
[Artikel ini ditulis sebagai balasan artikel “Catenaccio” Politik Gus Dur” yang ditulis oleh Sindhunata]