Demokrasi adalah Sebuah Pilihan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
PENULIS selalu menyatakan jalan bagi kita sebagai bangsa adalah demokrasi untuk masa depan. Apakah sebabnya? Sedangkan penulis adalah bagian dari dunia kiai, namun menurut keyakinan penulis ingin menghidupkan demokrasi secara penuh. Demokrasi memang merupakan sebuah proses yang sangat panjang, memakan waktu yang menurut seorang pengamat akan berlangsung 80-90 tahun. Tetapi, masa panjang itu harus dimulai dengan pelaksanaan hal-hal minimal yang berfungsi sebagai permulaan proses tersebut. Karena berbagai lapisan masyarakat tidak berani mempertahankan demokrasi seperti yang terjadi dalam diri penulis yang dihalangi oleh KPU pusat untuk menjadi Calon Presiden (Capres) dalam pemilihan umum 2004 maka tinggal satu kelompok yang menurut penulis memiliki keberanian untuk itu, yaitu para kiai yang tergabung dalam lingkaran Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Menurut penulis, yang harus dibuktikan dalam pemilu yang akan datang, rakyat hanya akan memilih mereka yang memperjuangkan demokrasi
Karena ‘terbiasa’ berbicara di hadapan puluhan ribu hingga ratusan ribu orang dalam rapat-rapat umum/pengajian-pengajian, maka penulis tahu persis bagaimana perasaan mereka yang menginginkan demokratisasi kehidupan. Hal ini terjadi karena penulis selama hidup berjuang untuk demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Memang penulis memperkecil liputan HAM itu dengan memusatkan perhatian kepada keterlibatan diri dalam perlindungan kepada hak-hak minoritas dan sikap yang sama dari seluruh bangsa kepada tiap warga negara di muka undang-undang, maka penulis tidak begitu memperhatikan hal-hal lain. Demikian pula, penulis mengetahui dengan tepat bahwa negara kita seharusnya merupakan entitas yang kuat dan besar dalam percaturan dunia. Karena itu, penulis berjuang sepanjang hidup untuk menegakkan demokrasi sebagai persyaratan bagi berkembangnya Republik Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan bangsa yang besar.
Negara kita memiliki persyaratan untuk berkembang yang menjadi masyarakat yang kuat dan besar. Tiga hal utama yang sudah ada dan dimiliki saat ini, yaitu jumlah penduduk yang besar (antara 205 hingga 208 juta jiwa), kekayaan alam yang berlimpah ruah (terutama hasil hutan, hasil pertambangan dan hasil laut), dan letak geografis yang sangat strategis. Jika hal itu digunakan dengan tepat mengikuti kebijakan demi kebijakan pemerintah yang menuju ke arah itu, maka jelas bahwa kita akan menjadi bangsa yang kuat dan negara besar, kira-kira 10 sampai 15 tahun yang akan datang. Cita-cita itulah yang membuat penulis merasa ‘berkewajiban’ untuk menegakkan demokrasi di kawasan ini, yang penulis yakin juga di ingini oleh banyak orang dalam kehidupan kita saat ini. Karenanya tidak usah heran jika penulis selalu mengemukakan demokrasi dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisan, terutama di tahun-tahun belakangan ini.
Sudah tentu tekanan pada proses demokratisasi itu, agar tidak membosankan harus di’isi’ dengan contoh-contoh teknis dan prinsip-prinsip utama yang harus diambil/dimiliki oleh kita semua. Itu saja belum tentu dapat meliput semua orang warga negara, apalagi yang merasa terikat kepada roda pemerintahan. Saat ini dilupakan sebuah proses harus bermula dari kenyataan yang ada untuk berkembang menjadi sebuah negara demokratis yang benar. Hal itu yang kita sebut sebagai sebuah proses menuju demokrasi. Ia akan berupa kedaulatan hukum yaitu berlakunya semua undang-undang dan peraturan-peraturan di seluruh wilayah negara. Ini merupakan bukti dari adanya proses demokratisasi itu sendiri. Dan hal itu memerlukan keberanian moral untuk menegakkannya. Karena itu adanya pernyataan demi pernyataan bahwa sekarang demokrasi mulai tegak di negeri kita, terutama dalam bentuk reformasi, seperti dikatakan sejumlah orang ‘pemimpin’, adalah pernyataan yang kosong dan tidak bermakna sama sekali.
Memang kita telah memiliki kelengkapan institusional untuk mengajukan klaim akan demokrasi, tetapi selama hukum tidak tegak dan tidak ada perlakuan yang sama terhadap semua warga negara di hadapan undang-undang, maka jelas proses demokratisasi belum lagi dimulai di negeri kita. Kebebasan pers dan adanya kelengkapan institusional itu dalam bentuk adanya Dewan Perwakilan Rakyat/DPR-RI, pihak eksekutif yang mengajukan klaim sudah adanya demokratisasi dan pihak yudikatif yang tidak berfungsi penuh dan dikuasai oleh mafia peradilan, hanya menunjuk kepada sebuah kemungkinan yang dapat saja gagal pada saat ini. Berbagai kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan menunjukkan belum bermulanya proses yang dimaksudkan itu, yang ada hanyalah lembaganya tanpa adanya tradisi demokrasi itu sendiri. Karena itulah penulis beranggapan proses demokrasi belum berjalan dengan lancar di negeri kita.
Kitab suci Al-Qur’an menyatakan firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman tegakkan keadilan dan jadilah saksi bagi Allab walaupun mengenai diri kalian sendiri” (Ya ayyuha al-ladzina aamanu kunu qawwamina bi Al qisti syuhadaa li allahu walau’ala anfusikum). Ayat tersebut menunjukkan kewajiban tegaknya kedaulatan hukum, yang kemudian oleh Undang-Undang Dasar disebutkan sebagai masyarakat adil. Di samping itu, juga harus dicapai tingkat kemakmuran tertentu, dan kedua-duanya dijadikan tujuan oleh Undang-Undang Dasar, yang ‘mewajibkan’ tegaknya masyarakat yang adil dan makmur di negeri kita. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah masyarakat yang sejahtera oleh bangsa kita.
Semuanya itu menuju kepada sebuah masyarakat demokratis, yang bersandar kepada tiga hal utama: kedaulatan hukum, persamaan perlakuan kepada semua warga negara di hadapan undang-undang. Dan kejujuran sikap kita semua dalam melaksanakan peraturan-peraturan menurut bentuknya secara tuntas. Karena itu, kerja membangun demokrasi adalah kerja yang sangat sulit dilakukan. Banyak sekali kelemahan yang ada dalam sebuah demokrasi, termasuk sering sekali sebuah kepentingan diikuti masyarakat, walaupun kepentingan tersebut belum tentu mencerminkan apa yang dibutuhkan masyarakat pada suatu saat. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat, yaitu siapa yang mempunyai kemampuan mempengaruhi pendapat umum (seperti halnya George Bush, Jr sekarang ini), ialah yang akan menang dalam pemilu. Tentu saja banyak taktik ‘ditawarkan’ dalam hal ini, tetapi itu adalah konsekuensi berdemokrasi. Seperti dikemukakan dalam sebuah iklan radio niaga Jakarta News FM, kita harus mau menerima pimpinan yang buruk untuk digantikan dengan yang lebih baik melalui pemilihan presiden yang akan datang. Juga seperti yang dikatakan Sir Winston Churchill, demokrasi banyak kelemahannya tetapi ia adalah sistem paling baik bila dibandingkan dengan yang lain-lain.
Karenanya, berdemokrasi juga memerlukan kesabaran kita, antara lain yang mendengarkan ‘tawaran-tawaran kebijakan’ yang moralistik tetapi tidak masuk akal. Contohnya adalah ‘tawaran’ Bush untuk memberantas kejahatan. Terkadang kata demokrasi itu sendiri dipakai untuk membunuh dirinya melalui hal-hal yang ‘ditawarkan’ oleh tokoh-tokoh yang munafik, seperti dahulu di Republik Weimar yang menawarkan demokrasi oleh tokoh paling tidak demokratis Adolf Hitler. Karena bangsa Jerman dan Austria waktu itu seperti ‘tidak sadar dan ketakutan’, maka yang tumbuh di sana adalah demokrasi semu (pseudo democracy), yang akhirnya menjerumuskan umat manusia ke dalam Perang Dunia II, dengan korban lebih dari 35 juta nyawa manusia. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan seperti itu, yang membuktikan penegakan demokrasi juga banyak bahayanya.
Dari apa yang diuraikan di atas, nyatalah bagi kita bahwa demokrasi adalah sebuah pilihan. Ingin benar-benar mewujudkan kehendak rakyat pemilih, ataukah sekadar kehendak sejumlah orang yang muncul sebagai ‘kehendak rakyat’. Memang, kehendak rakyat yang sebenarnya sulit dikenali oleh siapapun, karena itu diperlukan kearifan pandangan para pemimpin di samping kemampuan memerintah dengan baik. Nah, ini mengharuskan adanya pilihan-pilihan yang jitu sehingga akhirnya melalui pemilu diperoleh para pengemudi negara yang tahu benar kemana bangsa dan negara harus diarahkan dalam kehidupannya. Ini menghendaki adanya kemampuan memahami persoalan dalam kehidupan masyarakat. Juga kemampuan melakukan upaya yang tepat dalam melestarikan atau membuang hal-hal tertentu dalam/dari kehidupan kita secara keseluruhan. Ini adalah hal biasa dalam kerja melestarikan atau membuang sesuatu, sebuah proses yang biasa terjadi dalam sejarah manusia, bukan?