“Dialog Nasional” dan Persoalannya
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Sejak bebera pa waktu lalu, penulis telah mengusulkan sebuah Dialog Nasional. Usul itu bermula dari pikiran bahwa pihak-pihak yang berkepentingan harus diajak mempersiapkan dan menata keadaan. Dari persiapan dan penataan keadaan itu baru bisa dilakukan upaya berarti untuk menyelenggarakan dialog yang sebenarnya di antara semua komponen bangsa. Karenanya, pertemuan pendahuluan itu harus diadakan dengan sesedikit mungkin peserta. Ketika penulis mempertimbangkan hal itu, pertemuan pendahuluan itu sebaiknya hanya meliputi mantan Presiden Soeharto, Presiden Habibie dan Menhankam/Pangab Wiranto. Penulis mengikuti pertemuan pendahuluan itu tidak lain hanya mempersiapkan peluang agar ketiga pihak itu dapat berunding dengan bebas. Penulis menyadari pertemuan pendahuluan itu tidak mudah diselenggarakan.
Mantan Presiden Soeharto, jelas tidak menghendaki pertemuan langsung yang sangat ramai. Dan, mereka pun belum tentu mau menerima mantan Presiden Soeharto, sebagaimana akhirnya terbukti dari pernyataan Dr. Amien Rais maupun Ketua PP Muhammadiyah. PDI yang diwakili Wakil Sekjen Haryanto Taslam juga berpendirian sama. Menyadari hal itulah, penulis hanya membatasi peserta pada pihak-pihak mantan Presiden Soeharto, Presiden Habibie dan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto.
Jika pertemuan pendahuluan dapat terlaksana, paling tidak pikiran-pikiran mantan Presiden Soeharto akan dapat tertampung, dan baik Presiden Habibie, Menhankam/Pangab Wiranto maupun penulis dapat meminta mantan Presiden Soeharto, untuk melarang para pengikutnya membuat kekisruhan lebih lanjut di lapangan. Hanya dengan cara itulah, kekacauan yang melibatkan seluruh bangsa-yang dalam istilah populernya disebut perang saudara – dapat dihindarkan.
Selanjutnya, dari penghindaran perang saudara itu dapat dilakukan rekonsiliasi yang sebenarnya, antara semua pihak yang terlibat dalam dialog. Dalam pendekatan seperti yang dilakukan penulis itu, kehadiran mantan Presiden Soeharto dalam Dialog Nasional akan menjadi tidak relevan karena pemikiran-pemikirannya akan ditampung dalam forum tersebut melalui Presiden Habibie, Menhankam/Pangab Wiranto atau penulis.
Dengan demikian, apa yang dimaksudkan penulis akan tercapai, kalau perlu melibatkan mantan Presiden Soeharto dalam “Dialog Nasional” yang sesungguhnya. Kesimpulan semacam itu. Timbul dari pengenalan penulis akan kehidupan politik kita, bukan karena ambisi politik memenangkan golongan sendiri seperti dinyatakan Dr. Nurcholish Madjid dan Prof. Drs. M. Dawam Rahardjo.
Karena itu, penulis beranggapan bahwa sebuah Dialog Nasional harus meliputi dua babak: pendahuluan dan forum yang sebenarnya. Justru pendirian penulis yang semacam ini tidak dimengerti oleh para pengamat yang ada dan pada waktu itu tidak dapat penulis nyatakan secara tertulis seperti ini. Ditakutkan cara seperti ini justru akan menggagalkan maksud penulis yang sebenarnya pada waktu itu. Ini tentu saja berlainan dari gagasan hampir semua pengamat politik yang ada yang mendudukkan Dialog Nasional itu hanya pada satu jenis pertemuan saja.
***
Hal pertama yang menggagalkan maksud penulis untuk menyelenggarakan dua jenis forum itu adalah reaksi Presiden Habibie terhadap gagasan tersebut. Ia menyatakan tidak bersedia bertemu secara formal dengan mantan Presiden Soeharto. Memang tidak benar, jika ia sebagai tokoh formal bertemu dengan mantan presiden tersebut, tetapi perlukah hal itu dinyatakan? Lebih baik beliau diam saja tidak memberikan komentar apa pun dalam hal ini. Biarkanlah komentar bahwa perundingan harus berjalan informal dikemukakan oleh para pengamat yang berjumlah sekian banyak itu, tanpa membahayakan gagasan pertemuan dua tahap itu sendiri.
Setelah itu, pukulan datang bertubi-tubi dari berbagai jurusan, dengan pukulan terbuka datang dari Dr. Nurcholish Madjid itu. Juga, ada pukulan mematikan dari Dr. Amien Rais dan PP Muhammadiyah sebagaimana disebutkan di atas. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa gagasan pertemuan dua tahap itu tak mungkin lagi dilaksanakan. Mengapa? Karena dapat dipahami, bahwa melihat begitu rancunya perkembangan keadaan oleh komentar yang simpang-siur itu, mantan Presiden Soeharto akhirnya tidak menyambut dengan antusias gagasan pertemuan dua tahap tersebut. Ini berarti, keikutsertaannya dalam Dialog Nasional menjadi tidak terwujud, dan berarti pula secara teoretis gagasan menghindarkan perang saudara di atas tidak dapat diwujudkan.
Mungkin gagasan di atas itu sendiri yang salah, karena melihat hampir separo pengamat keadaan kita, tidak begitu percaya dengannya. Tetapi bukankah setiap kemungkinan meletusnya hal itu harus dihindari? Inilah yang membuat mengapa penulis mengikuti jalannya gagasan pertemuan dua tahap itu, walaupun ia sendiri adalah orang yang penuh optimis.
***
Kini telah jelas, gagasan itu tidak bisa dilaksanakan lagi. Karenanya, penulis juga tidak melihat kegunaan gagasan tersebut secara keseluruhan. Bahwa gagasan Dialog Nasional itu penting tidak disangkal oleh penulis. Tetapi tanpa dialog dua tahap itu, tidak banyak dicapai oleh Dialog Nasional. Dengan kata lain, gagasan itu sendiri menjadi gagal dalam mencapai maksudnya, sesuai dengan nalar penulis. Bukankah dengan kegagalan mengikutsertakan mantan Presiden Soeharto itu menjadi cukup banyak warga bangsa menjadi tidak terwakili dalam forum itu?
Mengikuti jalan pikiran ini, yang secara individual mewakili pendapat penulis, tetapi secara institusional mengikuti pendapat warga NU, bukankah lalu menjadi sangat besar pendapat yang terabaikan dalam proses yang panjang ini? Menjadi jelas bagi kita, bahwa pendapat forum itu cukup diwakili sebuah forum saja adalah pandangan yang belum tentu mewakili gagasan pihak mayoritas? Namun, anehnya, justru pendapat itulah yang akhirnya menggagalkan tujuan mulia dari penulis dan secara rasional menggagalkan pertemuan dua tahap itu. Herankah Anda jika penulis sekarang menganggap tidak perlu lagi diadakan Dialog Nasional? Karena bagaimanapun juga tujuan utamanya telah digagalkan oleh pikiran yang pendek dari sejumlah pengamat.
Selamat ber-Dialog Nasional, kalau hal itu memang akan terwujud.