Diperlukan Spiritualitas Baru
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada minggu terakhir bulan September 2002, penulis diminta hadir pada sebuah pertemuan untuk membentuk sebuah Dewan Agama, yang akan menjadi organisasi penasehat bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Penulis yang seharusnya tidak berangkat, karena situasi di tanah air yang sangat sensitif, menganggap pertemuan tersebut sangat penting, hingga penulis datang ke New York untuk hadir, walaupun tidak untuk seluruh pertemuan tersebut. Dalam pertemuan itu, penulis mendapat peluang waktu untuk berbicara selama tujuh menit saja, di hadapan begitu banyak negarawan, orang pandai dan para pemimpin berbagai negara serta bermacam-macam corak organisasi.
Waktu tujuh menit yang disediakan untuk penulis pun tidak seluruhnya dipakai, karena penulis hanya berbicara lima menit saja. Namun, pembicaraan selama lima menit itu ternyata mengubah jalannya pertemuan dan hampir oleh seluruh peserta dijadikan rujukan dalam pembicaraan dua hari berikutnya. Dalam pertemuan tersebut, sebenarnya yang dikemukakan penulis sangatlah sederhana saja, yakni: spiritualitas harus kembali berbicara dalam arena politik. Hal ini sebelumnya pernah dikemukakan penulis sewaktu menerima gelar Doctor Honoris Causa di bidang Humaniora dari Universitas Soka Gakkai di Tokyo, pada bulan April 2002.
Apa yang penulis kemukakan baik di Tokyo maupun di New York, adalah sebuah kenyataan bahwa berbagai organisasi keagamaan yang besar di dunia ternyata menyokong partai-partai politik tertentu. Soka Gakkai selaku organisasi Buddha terbesar di dunia sejak tiga dasawarsa terakhir ini telah mendukung partai Komeito (partai bersih), yang sekarang menjadi mitra junior bagi Partai Demokratik Liberal yang memerintah Jepang saat ini. Di samping itu, RSS (Rastriya Swayamsevak Sangha), sebuah organisasi keagamaan Hindu terbesar yang didirikan pada tahun 1925, mendukung Bharatya Janatha Party (BJP), di bawah pimpinan Atal Behari Vajpayee yang memerintah India sekarang ini, merupakan bukti tak terbantahkan tentang hal di atas. Demikian juga, jam’iyyah al-taqrib baina al-madzâhib (di bawah pimpinan orang-orang seperti Ayatullah Wa’iz Zadeh) mendukung Presiden Iran Mohammad Khatami, dan sejumlah organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama di Indonesia yang mendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
*****
Apakah artinya semua ini? Karena agama memiliki sudut pandang tertentu, yang berdasarkan pada etika dan moralitas sesuatu bangsa, yang sudah hampir hilang dari kehidupan politik berbagai bangsa. Karena itu timbul reaksi yang muncul dalam berbagai bentuk. Di kalangan gerakan-gerakan Kristiani, baik dari kaum Katolik maupun Protestan, timbul apa yang dinamakan sebagai “tanda-tanda zaman” ataupun pembebasan manusia dari keterkungkungan pandangan sekuler yang tidak mengacu pada etika dan moralitas. Maka, lahirlah sejumlah “alternatif-alternatif”, seperti Teologi Pembebasan (liberation theology) yang dibawakan oleh Leonardo Bof dan kawan-kawan di Amerika Latin dalam paruh kedua abad lalu. Ini membawa gaungnya sendiri yang dipenuhi dengan perdebatan sengit di hampir semua pemikir keagamaan dari berbagai keyakinan yang ada saat ini. Dari “alternatif-alternatif” seperti inilah lahir kesadaran bahwa harus dilakukan berbagai tindakan untuk menghidupkan kembali berbagai peranan agama pada bidang-bidang yang strategis untuk kehidupan bersama seluruh umat manusia.
Namun, perkembangan yang demikian hiruk-pikuk di berbagai bidang, ternyata tidaklah bergema di bidang politik. Para politisi tetap saja sibuk dengan kepentingan-kepentingan mereka, dan hampir-hampir tidak mau melihat etika, moral, dan kehidupan umat manusia, kecuali secara manipulatif. lnilah yang merupakan hidangan sehari-hari yang kita sajikan saat ini, mulai dari berbagai skandal seksual, finansial maupun kultural yang melibatkan para pemimpin dari berbagai negara. Kenyataan paling jelas dari hal ini dapat dilihat pada bagaimana usaha banyak politisi untuk kepentingan pribadi ataupun golongan.
*****
Dekadensi moral itu, dalam artiannya yang luas, dapat dilihat pada lembaga PBB saat ini. Bahwa ada Dewan Keamanan (DK) dengan wewenang lima buah negara anggota untuk menjatuhkan veto, menunjukkan dengan jelas bahwa wawasan moral dan etika telah hilang dari badan politik tertinggi dunia saat ini. Dan, jika diperlukan, maka sebuah negara adikuasa yang juga menjadi anggota tetap DK-PBB, yaitu Amerika Serikat (AS) dapat memaksakan kehendak untuk menyerbu Irak dan Afghanistan di luar kerangka PBB sendiri. Ketidakseimbangan ini jelas merupakan hal yang memerlukan koreksi, untuk menyehatkan proses di dalamnya. Di antaranya, melalui penyadaran semua pihak akan pentingnya arti spiritualitas yang baru dalam perpolitikan tingkat dunia.
Dalam hal ini, penulis menerima penuh ketentuan dari adagium geopolitik “tak ada hegemoni dalam hubungan internasional” seperti yang diajarkan oleh para pemimpin Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di bawah kekuasaan Mao Zedong atas atas Partai Komunis Tiongkok. Kebijakan tanpa hegemoni itu, merupakan sebuah ukuran penting dari pemikiran politis, yang dapat diaplikasikan dalam membentuk sebuah spiritualitas baru dalam hubungan internasional. Namun, pemikiran yang demikian menarik ini sering juga dilanggar oleh para penganutnya sendiri. Itu semua, terjadi karena dia ditetapkan tanpa ada spiritualitas tersendiri di dalamnya. Adagium geopolitik tersebut, apabila dilepaskan dari spiritualitas hubungan internasional, akan membuatnya menjadi alat belaka bagi sikap hidup materialistik yang dikembangkan di luar ketentuan etis dan moral.
Dalam kaitan inilah harus dilihat dan selalu dipertimbangkan sebuah tindakan yang akan diambil oleh sebuah negara, akankah memenuhi kriteria keadilan dan kemakmuran bersama? Memang, pertanyaan ini kedengarannya sangat naif, namun bukankah kita sekarang sudah melihat akibat-akibat terjauh dari politik kepentingan (interest politics) dalam hubungan internasional? Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menyebarkan gagasan, agar ada transaksi barter (counter trade), dalam hubungan antar negara-negara berkembang guna menghemat devisa antara mereka. Bukankah ini berarti sebagai sikap protes atas ketergantungan negara-negara berkembang kepada sebuah negara saja, yaitu AS, dalam masalah devisa? Bukankah ketergantungan ini sekarang juga terdapat dalam penggunaan mata uang Euro dan Yen? Belum lagi diingat kekuatan Renminbi dari RRC, yang diperkirakan akan turut menguasai pasaran uang dunia sepuluh tahun lagi? Bukankah dengan demikian menjadi nyata bagi kita, keperluan akan sebuah spiritualitas baru, bukan?