Dokter Idealis, Kiai Formalis
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Prototipe dokter masa lampau adalah seorang idealis. Pekerja social yang mengabdi kepada kemanusiaan. Tiang susila masyarakat. Tidak hanya menyembuhkan orang sakit, tetapi juga memimpin masyarakatnya. Tidak hanya menyehatkan manusia di segi fisik, tetapi juga mengobati situasi kejiwaan masyarakatnya. Tidak heran kalau dari kelompok itu lahir pejuang-pejuang yang tangguh, seperti dokter Soetomo. Pantas pula kalau profesi dokter idam-idaman tertinggi para remaja kita hingga belasan tahun yang lalu.
Kini keadaan sudah berubah. Banyak dokter yang lebih memikirkan mencari kekayaan secepat mungkin melalui praktek medis dan melalaikan aspek kemanusiaan. Sikap pribadi mereka juga terlihat dalam sikap rumah-rumah sakit tempat mereka bekerja. Ada yang tega menolak pasien yang sudah gawat hanya karena tidak mampu membayar uang muka biaya perawatan sepuluh hari sekaligus.
“Perjuangan” dokter-dokter yang baru lulus ke puskesmas punya motif pemerataan pelayanan kesehatan. Di samping itu, juga membawa sebuah hasil positif: para dokter muda terpaksa menumbuhkan orientasi pengabdian, minimal kalau mereka mau mengerti. Walaupun tidak semua memiliki sikap mental seperti itu, bagi kebanyakan dokter muda bekas mendalam terasa di hati dari “masa pembuangan” itu.
Memang masih ada juga yang sudah mulai sombong dan main bentak pasien di beberapa puskesmas, apalagi yang terletak di pedesaan. Seolah para pasien orang kecil itu, yang sering hanya bisa menghargai kerja dokter dengan imbalan in natura, harus dijadikan sasaran kekesalan hati menjalani “masa pembuangan” di tempat terpencil. Apalagi kalau sampai akhir “masa pembuangan” tetap belum terbayang tempat penempatan yang “gemuk pasien”.
Untunglah, tidak semua dokter bersikap seperti itu. Dan kepuasan yang diperoleh para dokter jenis ini bersifat rohaniah: berhasil menunuaikan pengabdian dan menunjukkan kebolehan profesional, sering menghadapi tantangan penyakit berat yang harus diatasi dengan obat-obatan sangat minim dan peralatan yang tidak mencukupi.
Tetapi, justru para dokter muda idealis itulah yang sering harus menjumpai kepahitan setelah kembali ke “dunia normal”. Di rumah sakit metropolitan, misalnya, dengan kehidupan serba materialistis dan berorientasi sangat finansial, belum lagi kalau “dilengkapi” situasi birokratis yang memuakkan. Juga di rumah sakit di kota kecil, menjadi “dokabu” alias dokter kabupaten yang kepala dinasnya sering menuntut diperlakukan sebagai dewa.
Birokrasi memiliki hukumnya sendiri — terutama kejelasan antar lembaga dan kekakuan sikap institusional. Kalau sudah dijatahkan, hal ini atau itu harus dilakukan, tidak boleh ada penyimpangan sedikitpun. Tidak peduli keadaan medan yang dihadapi atau manusia yang harus rugi. Pembagian wilayah kerja antara berbagai lembaga yang menimbulkan pengkotakannya sendiri, dengan akibat dengki atau iri sebuah lembaga pemerintah jika lembaga lain “menjarah” wilayahnya.
Seorang dokter muda di sebuah kota kecil di pantai utara Jawa, misalnya. Pikiran-pikirannya yang jernih tidak memperoleh sambutan positif dari semua koleganya, apalagi atasan. Sikap ugal-ugalannya juga membuat dicurigai jajaran pemerintah daerah. Jelas sekali, promosi tidak akan diperolehnya, kenaikan gaji berkala tidak akan datang dengan sendirinya, dan konduite kepegawaiannya akan terus menurun. Sehingga nanti tinggal dicari alasan tepat untuk membuangnya ke daerah lain.
Pada tumpukan prospek gelap itu, ia masih harus terbentur pada kasus tambahan ini: sikap seorang kiai tarekat yang kukuh pada sikap hidupnya. Anaknya menderita penyakit paru-paru, akibat pecahan bibir atas—sejak lahir—hingga ke rongga hidung. Udara tidak tersaring lagi. Dengan demikian, segala gengguan paru-paru dapat terjadi dengan mudah. Kesimpulannya, belahan bibir atas harus ditutup dengan transplantasi kulit. Kesulitan bermula: sang kiai berkeberatan kalau diambilkan kulit orang lain. Bagaimana pertanggungjawaban di akhirat kelak, memakai hak milik yang ditentukan Allah bagi orang lain? Dijawab: justru harus diambilkan dari kulit sendiri, menjadi persoalan pula. Darimana? Dokter menyatakan, dari pantat. Sang kiai menjawab, tidak mungkin. Kulit pantat adalah bagian aurat seseorang. Berarti harus ditutup kalau akan bersembahyang Apa harus menggunakan tutup muka seperti Zorro?
Dokter menjawab, kulit menjadi aurat hanya ketika berada di bagian yang dinamakan aurat. Begitu dipindahkan, ia sudah bukan aurat lagi. Sang Kiai, yang setia pada metode berpikir normal legalitasnya, belum puas. Kalau “anu”nya seorang pria dipasang di mukanya dan temyata bias bergerak kalau ada rangsangan, apakah juga bukan aurat?
Sang dokter terpana. Ada birokrasi. Ada kesemrawutan pencanangan pembangunan di tingkat daerah. Dan sekarang, dengan hanya satu contoh formalisme, akan lunturkan idealismenya?