Dunia Nyata Kiai Zainal
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Wajahnya mencerminkan kekerasan hati, kesan yang timbul dari tekukan rahangnya yang tampak sangat nyata. Mirip wajah Jack Palance yang sedang menggertakkan gigi menghadapi Alan Ladd dalam film Shane dari masa dua puluhan tahun yang lalu. Bahkan ada sedikit kesan kebengisan pada wajahnya itu, tetapi yang bercampur dengan ketampanan yang masih tersisa dari masa mudanya.
Wajah keren dari masa muda itu kini membayangkan kewibawaan di masa tua. Tindak tanduknya (dedeg, kata orang Jawa) mencerminkan, juga hati yang penuh ketetapan pendirian, ucapannya menunjukkan keyakinan pendapat, dan caranya mengemukakan pendiriannya juga lugas penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Bagaikan eksekutif dinamis masa kini yang ternyata tidak memerlukan Brisk dan tidak butuh Supradin serta berbagai jenis deodorant untuk menjaga kepercayaan diri itu.
Penampilan bagaikan eksekutif temyata hanya terhenti pada raut wajah dan kesan yang ditimbulkannya belaka, karena Kiai Zainal Abidin Usman membawa penampilan lain pada sisa tubuhnya: kain sarung polekat yang sudah berumur lama, baju panjang abu-abu dengan sebuah kancing yang hampir lepas,sandal plastik yang begitu murah harganya sehingga tidak akan dicuri orang dari halaman masjid atau langgar, dan seterusnya. Pendeknya, penampilan utuh dari seorang kiai ‘di tingkat lokal’.
Kesemua manifestasi lahiriyah di atas merupakan hasil dari hidup Kiai Zainal yang penuh kesukaran. Harus mengikuti pola belajar yang penuh disiplin dan sanksi fisik (termasuk dilecut) kalau tidak menunjukkan ‘jatah’ hafalan yang sudah ditetapkan sang guru semenjak usia sangat muda, enam tahun.Tidak diperkenankan menikmati masa muda yang penuh kesenangan inderawi, melainkan harus mengikuti pola hidup yang diselaraskan dengan hukum-hukum fiqh dan tata cara belajar (adabut ta’allum) yang diletakkan kitab-kitab kuno agama.
Lebih jauh lagi, ia kemudian harus belajar lama di Makkah: jauh dari sanak saudara, sering dihadapkan dengan kekurangan belanja ‘kebutuhan pokok’, dan harus banyak menjalani tirakat untuk memperoleh ilmu-ilmu agama yang diharapkan.
Tidak heran jika seandainya Kiai Zainal kemudian mengembangkan kepribadian yang ‘berlajur tunggal’, di mana dominasi hukum agama dan bentuknya yang paling kaku dan ‘harfiah’ atas pandangan hidupnya. Orang tidak akan tercengang kalau Kiai Zainal kemudian menumbuhkan sikap untuk menerapkan hukum agama secara apa adanya, secara apa yang tertulis dalam kitab-kitab fiqih kuno.
Bukankah semua kiai yang berpola pendidikan dan kemudian pola hidup seperti Kiai Zainal juga berbuat demikian? Pantaslah kalau Kiai Zainal juga diperkirakan akan mengikuti ‘jalur umum ke-kiai-an’ seperti itu.
Temyata tidak demikian kenyataannya. Kiai Zainal temyata menumbuhkan pola berpikir yang lain, mengembangkan pandangan hidup dari ‘jalur umum’ di atas. la mengikuti ‘jalur umum’ hanya pada pola hidup lahiriyahnya sebagai kiai belaka, seperti digambarkan pada penampilan fisik di atas.
la temyata melakukan dialog dengan kenyataan-kenyataan hidup yang dihadapinya yang sering kali jauh berbeda dari kondisi ideal yang melahirkan hukum-hukum agama yang dikodifikasikan dalam kitab-kitab fiqh kuno. la melakukan peninjauan kembali atas hukum-hukum agama itu, walaupun dengan caranya sendiri dan melalui pendekatan persoalan yang dirumuskannya sendiri.
Perbedaan dari ‘jalur umum ke-kiai-an’ itu tampak nyata dalam sebuah forum penataran mubaligh dan khatib baru-baru ini, ketika berlangsung debat tentang penyelenggaraan zakat. Kalau zakat ingin diterapkan secara organisatoris dan dikembangkan melalui perluasan jenis-jenis ‘wajib zakat’, sehingga meliputi upah, honorarium dan gaji tetap dari bermacam-macam profesi, tentu ada kesulitan.
Mazhab-mazhab fiqh sudah menentukan kategori kewajiban zakat hanya jatuh pada keuntungan berdagang, hasil panenan tanaman utama (padi dan sebagainya), harta benda tetap, dan logam mulia emas perak. Lainnya tidak terkena zakat. Lalu bagaimana mungkin gaji tetap, honorarium dan upah dikenakan zakat?
Belum lagi pelaksanaannya, yang dikehendaki sementara pihak harus diorganisasi secara efisien dan administratif. Diberikannya pun juga harus dalam bentuk tidak melulu konsumtif, melainkan dalam bentuk pinjaman dan pemberian alat, Belum lagi kalau dijadikan biaya penataran dan latihan-latihan keterampilan. Apakah tidak menyalahi ajaran-ajaran mazhab-mazhab fiqh?
Persoalannya bukan demikian, kata Kiai Zainal berapi-api. Apa yang dirumuskan kitab-kitab fiqh itu ‘kan hanya dalam negara Islam saja dapat diterapkan sepenuhnya! Di zaman Rasulullah ada sanksi kalau orang tidak menyerahkan zakat karena yang dipergunakan adalah perundang-undangan Islam secara total. Jadi tidak perlu ada panitia zakat dan lain-lain kelengkapan administratif lagi. Negara bertanggungjawab atas kesejahteraan masing-masing warga negara, jadi tidak usah kita berpayah-payah mencari dana untuk melatih orang bekerja atau memberikan modal kerja kepadanya.
Tetapi kita ‘kan tidak hidup dalam negara Islam, karena itu kondisi yang dihadapi pula berlainan. Kalau tidak ada sanksi otomatis bagi orang yang enggan menyerahkan zakat, apakah justru tidak diperlukan panitia zakat yang akan menyelenggarakannya ? Kalau kaum Muslim masih lemah ekonominya, apakah seluruh perolehan zakat harus dihabiskan sekaligus secara konsumtif dan tidak digunakan sebagian untuk kepentingan produktif? Kalau kita ingin mengembangkan zakat itu sendiri secara kuantitatif, apakah justru tidak perlu diciptakan wajib zakat baru?
Temyata dibalik bentuk lahiriyah yang kuno, Kiai Zainal memilliki daya tanggap yang cukup relevan dengan kebutuhan masa dan keadaan ummatnya. Patutlah kalau ia dianggap berorientasi kepada dunia nyata. Tetapi patut juga dipertanyakan anggapan bahwa ia menyimpang dari ‘jalur umum ke-kiai-an’ dalam orientasinya kepada dunia nyata ini. Mengingat bahwa ia dibenarkan dan tidak ditentang oleh kiai-kiai lain, apakah bukannya sebaliknya yang terjadi?
Bukan tidak mungkin bahwa justu orientasi ‘jalur umum ke-kiai-an’ memang ditujukan kepada dunia nyata, di kala mereka harus melakukan peninjauan kepada hukum-hukum agama yang ada dalam kitab-kitab fiqh kuno.