Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
KASUS “Fatwa Natal” dari Majelis Ulama Indonesia ternyata menghebohkan juga. Lembaga itu didesak agar “mencabut peredaran” fatwa yang melarang kaum muslimin untuk menghadiri perayaan keagamaan golongan agama lain. Ini sungguh merepotkan, hingga orang sesabar dan sebaik Buya Hamka sampai meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI.
Emosi pun mudah terganggu mendengarnya, kemarahan gampang terpancing, dan kesadaran lalu hilang di hadapannya: yang tinggal cuma sumpah serapah. Padahal, masalahnya kompleks. Sebagai kumpulannya para ulama, bolehkah MUI menggunakan terminologi dan pengertian yang lain dari apa yang diikuti para ulama umumnya? Kalau tidak boleh, bukankah sudah logis kalau MUI mengeluarkan fatwa seperti itu, karena memang masih demikianlah pengertian para ulama sendiri? Kalau boleh, lalu terminologi dan pengertian apakah yang harus dipergunakan oleh MUI?
Jadi, ternyata pangkal persoalan belum ditemukan pemecahannya. Ia menyangkut penetapan wewenang membuat penafsiran kembali banyak prinsip keagamaan yang sudah diterima sebagai bagian inheren dari sistem berpikir keagamaan kaum muslimin.
Lembaga seperti MUI, yang memang dibuat hanya sekadar sebagai penghubung antara pemerintah dan umat pemeluk agama Islam (itu pun yang masih merasa memerlukan kontak ke luar), sudah tentu sangat gegabah untuk diharapkan dapat berfungsi demikian. Ia hanyalah sebuah pusat informasi yang memberikan keterangan tentang umat kepada pemerintah dan maksud pemerintah kepada kaum muslimin. Tidak lebih dari itu.
Kalau lebih, mengapa ia dirumuskan sebagai “tidak bersifat operatif” dan tidak memiliki jenjang vertikal dengan Majelis-majelis Ulama di daerah? Kalau ia dikehendaki mampu merumuskan sendiri pedoman pengambilan keputusan atas nama umat Islam, mengapakah bukan tokoh-tokoh puncak tiap organisasi Islam yang dijadikan “perwakilan” di dalamnya?
Main Mutlak-mutlakan
Itu tadi tentang pangkal persoalannya: tidak jelasnya status keputusan yang dikeluarkan MUI, di mana titik pijak berpikirnya, dan kepada siapakah ia selalu harus berbicara (supaya jangan selalu babak belur dicaci maki pihak yang terkena).
Bagaimana halnya dengan ujung persoalan “Fatwa Natal”? Apakah lalu akan keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama lain, lalu fatwa sama sekali tidak boleh pacaran? Apakah menganggukkan kepala kalau bertemu gadis juga dimasukkan ke dalam kategori pacaran? Bagaimana pula tersenyum (baik malu-malu ataupun penuh harapan)? Bolehkah, nanti anak saya bersekolah satu bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana kalau ada tamu Hindu, haruskah saya banting pecahkan gelas bekas ia meneguk minuman yang saya suguhkan (walaupun mungkin gelas pinjam dari orang lain)? Dan seterusnya, dan seterusnya.
Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya, jangan-jangan nanti kita tidak boleh membiarkan orang Kristen naik taksi yang di kacanya tertulis kaligrafi Arab berbunyi Bismillahirrahmanirrahim. Alangkah pengapnya udara kehidupan kita semua, kalau sampai demikian!
Tetapi, mencari ujung itu juga tidak mudah, karena ia berangkat dari seperangkat postulat yang main mutlak-mutlakan dalam pemikiran keagamaan kita. Yang celaka kalau pemeluk agama-agama lain juga bersikap eksklusif seperti itu. Salah-salah, si muslim nakal bisa mengalami nasib sial: sudah mencuri-curi perginya melihat perayaan Natal (takut dimarahi MUI), sesampai di tempat perayaan itu diusir oleh penjaga pintu pula.
Karenanya, mengapakah tidak kita mulai saja mengusulkan batasan yang jelas tentang wilayah “kajian” (atau keputusan, atau pertimbangan, atau entah apa lagi) yang baik dipegangi oleh MUI? Mengapakah tidak masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa saja. Bagaimana merumuskan kemiskinan dari sudut pandangan agama, bagaimana mendorong penanganan masalah itu menurut pandangan agama, bagaimana meletakkan kedudukan upaya penanganan kemiskinan (haram, halal, mubah, makruh, sunahkah?) oleh berbagai lembaga di bawah? Bagaimana pula kaum muslimin seyogianya bersikap terhadap ketidakadilan, terhadap kebodohan? Jawabannya tentulah harus terperinci dan konkret, jangan cuma sitiran satu dua hadis tentang kewajiban belajar hingga ke liang kubur saja.
Nah, kapankah akan ada kejelasan tentang ujung dan pangkal kasus “Fatwa Natal”, yang juga berarti ujung dan pangkal MUI sendiri?