Golput Dan Legitimasi Presiden Terpilih
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam pertemuan dengan Dewan Pimpinan Wilayah PKB yang datang dari seluruh penjuru tanah air, pada tanggal 29 Mei 2004 di Hotel Atlet Century Senayan, Jakarta, penulis mengemukakan sesuatu yang akhirnya menggemparkan. Padahal itu sebenarnya adalah hal biasa dalam kehidupan yang juga dijamin secara infrensi dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Hal itu adalah pernyataan penulis, bahwa DPP-PKB telah memutuskan secara aklamasi untuk mendukung pasangan Wiranto-Sholahudin Wahid sebagai Calon Presiden RI dan Wakil Presiden RI untuk pemilu yang akan diselenggarakan 5 Juli 2004. Sedangkan penulis sendiri, akan tetap pada posisi di luar sistem politik karena ditolak oleh Komite Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon. Karena berada di luar sistem, dengan sendirinya penulis tidak akan memberikan suara dalam pemilu tersebut, alias Golput.
Banyak kritikan diajukan untuk penulis karena sikap itu. Ada yang mengatakan, bukankah dengan demikian, penulis akan memecah suara PKB atau NU dalam pemilu presiden nanti, dan dengan demikian melemahkan kedudukan NU sendiri dalam percaturan lebih luas dalam kehidupan bangsa dan negara? Jawaban atas pandangan ini, adalah bahwa penulis hanya akan berkecimpung dalam pemilu yang demokratis, namun karena proses sepenuhnya yang dikuasai oleh KPU melanggar UU No. 23 tahun 1992 dan UU no.4 tahun 1997, demokrasi melalui pemilu itu lalu mati. Jika hal ini dibiarkan, sedangkan itu harus dimulai tahun ini, untuk mencegah jangan sampai Indonesia menjadi bangsa dan negara yang tunduk sepenuhnya kepada “permainan” negara-negara lain, juga untuk memungkinkan perubahan-perubahan yang diperlukan untuk mensukseskan pembangunan kita secara benar.
Kalau kita “lalai” dalam hal ini, maka pembangunan kita akan macet lagi seperti yang sudah-sudah. KKN menjadi lebih merajalela sekarang, karena justru pemerintah sendiri terlibat didalamnya, mau tidak mau mengharuskan kita untuk berkewajiban menegakkan demokrasi yang intinya adalah kedaulatan hukum dan perlakuan yang sama kepada semua warga negara tanpa pandang bulu di hadapan undang-undang. Karena alasan-alasan itulah, kita harus memperjuangkan demokrasi melalui pemilu tahun ini juga. Entah mengapa, dihadapkan manipulasi, kecurangan dan kecerobohan KPU dalam menyelenggarakan pemilu legislatif dan presiden, semua pihak tidak ada suara untuk menentang, kecuali beberapa kelompok saja. Inilah yang membuat penulis “terpaksa” mengambil peranan yang mungkin terasa berlebih-lebihan.
Karenanya, memandang pencalonan penulis sama dengan pencalonan orang-orang lain, dalam pemilihan Presiden tahun ini, sama sekali salah dan tidak benar. Penulis menggunakan kepresidenan sebagai alat untuk demokratisasi, bukanya sebagai tujuan, seperti dilakukan oleh hampir seluruh calon-calon Presiden dan Wakil Presiden yang ada sekarang. Dengan kata lain, penulis berkeinginan merubah status quo, sedangkan calon-calon lain tidak jelas posisinya seorang pun. Tidak ada di kalangan mereka yang menyebut-nyebut kata demokrasi atau demokratisasi. Paling tinggi, adalah calon yang menyebutkan akan menciptakan pemerintahan yang bersih, tetapi tidak menguraikan bagaimana pemerintahan bersih itu akan dicapai. Inilah tragedi bangsa kita. Tujuan menciptakan demokratisasi itu melalui pemilu Presiden tidak menjadi agenda para calon, sehingga kita lalu menjadi tidak jelas akan kemana negara dan bangsa dibawa setelahnya.
Karena “diganjal” pencalonan untuk menjadi Presiden RI, maka sebagai “suara protes” maka penulis akan mengambil posisi sebagai golput, alias tidak akan memberikan suara dan berada diluar sistem politik kita dewasa ini. Tidaklah wajar jika penulis lalu berkampanye untuk pasangan calon yang muncul, siapapun mereka termasuk dalam hal ini adalah adik kandung penulis sendiri, Ir. Sholahudin Wahid. Ini untuk menepis banyak anggapan, bahwa penulis akan mendukung dan berkampanye untuk pasangan calon Wiranto-Sholahudin Wahid. Ini adalah pengorbanan besar bagi penulis, yang juga adalah kakak kandung tokoh tersebut. Namun, demi tegaknya demokrasi, sanak keluarga, harta benda, maupun kedudukan apapun yang mungkin dicapai, haruslah ditinggalkan dan dikorbankan oleh penulis.
Apa yang disebutkan diatas, oleh penulis dijalankan tanpa ragu-ragu. Penulis menganggap, jabatan adalah amanah dan harus dilaksanakan demi keadilan dan kemakmuran bangsa serta kokohnya negara. Semuanya itu memerlukan keberanian, yang seharusnya dimiliki oleh seluruh warga negara dan warga bangsa kita, apalagi oleh KPU yang melanggar Undang-Undang dan melakukan tindakan-tindakan lalim. Dalam hal ini, KPU melakukan semuanya itu atas “perintah” sebagian politisi kita.
Bahwa seluruh bangsa ternyata tidak ada yang memberikan koreksi kepada KPU,menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama, ketakutan sangat besar yang menghinggapi bangsa kita. Kedua, kuatnya kedudukan birokrasi/pemerintah, sehingga orang tidak ada yang berani menentangnya”. Justru inilah yang harus kita lawan sekuat-kuatnya, melalui pemilu yang demokratis untuk memilih badan-badan legislatif maupun presiden/wakil presiden. Berat memang, namun harus dilaksanakan, demi kepentingan bangsa dan negara.
Sikap penulis untuk menolak hasil-hasil pemilu, didorong oleh kenyataan bahwa tanpa demokrasi kita akan tetap saja tidak dapat menyelesaikan kerja-kerja besar yang seharusnya kita selesaikan di waktu-waktu lampau.
Sedangkan tanpa demokrasi yang dimulai saat ini, bangsa dan negara kita akan terlambat menghindari permainan dan tekanan-tekanan dari negara-negara atau perusahaan-perusahaan multinasional di masa-masa yang akan datang.
Struktur dan jalannya perniagaan internasional, memiliki hukum-hukumnya sendiri yang sering dianggap sebagai pertimbangan-pertimbangan geopolitis, yang memang mengatur tata pergaulan internasional yang dinamai “kepentingan-kepentingan” nasional masing-masing negara. Karena itulah, melalui demokrasi kita akan mengembangkan kemampuan demi kemampuan yang ingin kita kembangkan di masa depan.
Inilah sebabnya mengapa penulis “begitu ngotot” dengan gagasan demokratisasi. Dan untuk membuat demokratisasi dapat dimulai tahun ini, maka pemilu presiden diperlukan untuk mewujudkan permulaan dimulainya proses demokratisasi dalam kehidupan bangsa dan negara kita. Kalau perlu hal itu harus melalui “tekanan-tekanan” politik, seperti sikap tidak mau memberikan suara dalam pemilihan umum alias golput. Penulis sendiri akan melakukan hal itu, walaupun tanpa mengajak-ngajak siapapun.
Hanya saja, penulis harus pandai melakukan hal itu, yaitu dengan “mencoblos” semua kontestan yang menjadi calon presiden dan wakil presiden. Penulis tidak akan biarkan kertas suara dalam pemilu yang akan datang tanpa ada coblosan apapun untuk menghindari penggunaan kertas suara tersebut oleh pihak-pihak tertentu yang ingin melakukan manipulasi suara.
Golput adalah hak para pemilih karenanya penulis tidak melanggar undang-undang dengan sikap seperti itu, sebagaimana juga memberikan suara adalah hak dan bukannya kewajiban. Karena itulah, penulis “berani” mengambil sikap dengan tidak ragu-ragu tanpa mengajak siapapun dalam hal ini. Kalau ada yang mengikuti penulis dalam hal ini, maka secara hukum penulis tidak dapat disalahkan, kalaupun ada penafsiran dari pihak Polri bahwa jalannya pemilu akan terganggu oleh hal ini maka penulis ingin menyatakan, bahwa setiap penafsiran atas peraturan apapun di negeri ini harus dibuat oleh Mahkamah Agung dan bukannya oleh pihak-pihak yang menyamakan fungsi Polri dengan peranan Mahkamah Agung adalah hal yang harus kita lakukan.
Mengapa Bersikap Ganda?
Mengapa penulis bersikap ganda? Di satu pihak, penulis mendukung sikapnya sendiri, untuk memperjuangkan demokratisasi mulai saat ini melalui sikap Golput, atau tidak mau memilih siapapun dalam pemilu putaran pertama 5 juli 2004 yang akan datang. Terpulang kepada para pemilih untuk mengikuti penulis dalam hal ini. Namanya juga “perjuangan” tentu pada akhirnya akan dapat diukur dengan “kenyataan lapangan”, sehingga dapat diketahui dari hasil pemilu itu, cukup besarkah dukungan untuk demokratisasi, melalui sebuah sistim politik yang lain? Kalau penulis menang, maka segera demokratisasi dapat “di desakkan” melalui berbagai cara, agar sistim politik kita dapat segera diubah.
Di pihak lain, penulis juga menyatakan “dukungan tidak resmi” kepada pasangan calon Wiranto – Ir. Sholahudin Wahid. Dalam pandangan penulis, NU-PKB cukup kuat dan besar untuk memenangkan “kedua buah pertarungan” tersebut. Penulis menyatakan hal itu, karena melihat kekuatan suara dan massa NU-PKB sangat besar, untuk memenangkan “pertarungan politik” itu. Dari manakah penulis merasa para pemilih akan mengambil sikap tersebut,
pada tanggal 5 Juli 2004 nanti? Karena penulis tahu, bahwa ucapan Prof. DR. Amien Rais beberapa tahun lalu, bahwa pengikut NU dan warga Muhammadiyah adalah 35 juta orang dan 28 juta jiwa. Ini adalah kebohongan yang kemudian dipercaya semua orang, dan akhirnya juga dipercaya orang yang mengucapkannya. Padahal beberapa tahun yang lalu pihak intel di dua negara menyatakan bahwa perbandingan NU-Muhammadiyah adalah 60 juta berbanding 15 juta orang, dan “hasil survei” lain perbandingan adalah 90 juta/5 juta orang.
Tentu ada “kesalahan” dalam membuat pandangan, baik yang dilakukan oleh Profesor kita itu maupun oleh pihak intel kedua negara tersebut. Karena percaya kepada ucapan nabi: “sebaik-baiknya perkara adalah yang ditengah”, (Khair Al-Unur Aushathuah), dan hasil kehadiran rakyat dalam pengajian-pengajian umum yang penulis lakukan di sekian banyak tempat setelah “lengser” dari jabatan kepresidenan, penulis dapat nyatakan di sini, NU-PKB tetap merupakan kekuatan politik terbesar, dengan besarnya kekuatan iitu penulis tahu bahwa dua buah tindakan yang diambil, yaitu bersikap Golput di satu pihak, dan mendukung secara tidak resmi pasangan calon Wiranto-Sholahudin Wahid akan menang kedua-duanya dalam “pertarungan politik” melalui pemilu tanggal 5 Juli 2004 yang akan datang. Pernyataan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi bahwa mereka akan memenangkan “pertarungan” di putaran pertama, adalah sesuatu yang harus dikaji terlebih dahulu.
Tentu saja, pendekatan penulis dengan “sikap berganda” itu ditentang banyak orang. Termasuk dalam hal ini, kawan-kawan penulis sendiri, termasuk yang ada di lingkungan DPP PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) sendiri. Mereka yang tidak percaya kepada “hitungan” penulis sendiri, seperti dikemukakan di atas cukup banyak jumlahnya di lingkungan DPP PKB.
Demikian pula, mereka yang tidak memiliki solidaritas kepada penulis, karena hanya mementingkan keinginan sendiri tentu juga tidak percaya kepada “hitungan penulis” itu, “kesalahan” mereka adalah terlalu percaya kepada “hitungan-hitungan rasional secara sepihak” saja tanpa melakukan penggalian lebih jauh, karena kedangkalan intelektual yang mereka miliki. Padahal, hitungan-hitungan “yang lain”, juga memiliki keabsahan rasional sendiri. Belum lagi kalau dinilai “pesan-pesan langit” dalam hal ini.
Begitu juga sikap yang mengabsolutkan pendapat sendiri sering membuat kita “terlepas” dari perkembangan politik yang ada, pandangan-pandangan mereka akhirnya menjadi begitu absolut, sehingga praktis tidak mempunyai pengaruh politik apa-apa. Lalu, pesan-pesan mereka itu lalu menjadi “pesan moral” yang indah, namun hanya berlaku dalam jangka panjang, karena tidak dapat diperlakukan sebagai “langkah-langkah politik”, pada saat ini. Contoh yang paling gamblang dalam hal ini, adalah “penolakan” para mahasiswa, sebagaian besar LSM dan sejumlah besar kaum intelektual kita pada saat ini, atas penunjukan Wiranto dan Susilo Bambang Yudoyono sebagai calon Presiden. Sebagai para “calon Presiden” yang berasal dari kalangan militer, secara moral mereka tolak secara gigih sebagai sikap politik (yang sebenarnya adalah sikap moral), yang ternyata adalah sikap tidak efektif di kalangan kaum pemilih kita.
Berangkat dari “kenyataan politik” seperti itu, penulis memberanikan diri “bersikap ganda” seperti diuraikan di atas. Mengingat kekuatan massa NU-PKB yang demikian besat, penulis mengambil” sikap ganda tersebut, di satu pihak “bersikap moral” dengan melakukan langkah Golput dan dipihak lain. Memberikan dukungan tidak resmi “kepada pasangan calon Wiranto-Ir. Sholahudin Wahid diharapkan pemilihan Presiden dan Wapres, dapat juga menjadi ajang permulaan berdirinya sistim politik yang benar-benar demokratis di negeri kita tahun ini. Terlepas dari kenyataan bahwa Ketua Umum DPP Partai Golkar tampak tidak yakin kedua hal itu dapat dicapai, serta penolakan terhadap para calon yang berasal dari lingkungan militer itu, rasa-rasanya kita masih dapat mencapai kedua hal di atas sekaligus.
Sebenarnya apa yang diuraikan di atas, seharusnya membuat kalangan pimpinan NU-PKB berpikir secara mendalam sikap-sikap yang mereka tunjukkan, telah menghilangkan/sangat mengurangi “kredibilitas politik” yang mereka butuhkan untuk memenangkan pemilu. Baik para pendukung Megawati-Hasyim, maupun Wiranto- Sholahudin Wahid tampaknya hanya berada di kalangan sangat terbatas. Sebagai bagian “cabang atas” NU-PKB, mereka tidak menghayati dan memperhatikan “suara-suara bawah”, yang memperhatikan apa yang dikemukakan di atas. Kalaupun mereka tidak mengerti juga rincian keadaan yang sebenarnya, paling tidak mereka mempercayai kedua sikap yang diambil penulis tersebut. setelah itu, merekapun lalu menentukan sikap mereka melalui pilihan dalam kedua hal tersebut: bersikap Golput ataukah memilih pasangan Wiranto-Ir. Sholahudin Wahid.
Jelaslah dari uraian di atas, kita harus mengambil sikap yang jelas, antara sikap moral ataukah sikap politis, selama kita tidak mengetahui/mengakui adanya kedua macam sikap itu, kita akan selalu mencampuradukkan dua buah hal dari tataran yang saling berbeda. sikap moral diperlukan, sebagai titik tolak yang akan “mewarnai” sistim politik kita di masa akan datang; sedangkan sikap politik untuk menjamin adanya “transisi yang benar” dalam pembentukan sistim politik yang baru, akan berjalan secara mulus.
Apa yang Kau Cari, Golput?
Almarhum Sineas Asrul Sani dahulu membuat sebuah film berjudul “Apa yang kau cari Pallupi?”Setelah pilpres putaran I, sebuah pemancar radio niaga swasta di Jakarta membahas tindakan yang dilakukan sejumlah orang untuk tidak memberikan suara dalam pemilihan umum. Selama beberapa dasawarsa terakhir ini, langkah tersebut dinamai munculnya Golput alias golongan putih. Ini dapat dipahami, karena kekecewaan luar biasa mengenai hasil-hasil pemilu yang lalu, yang semula diharapkan menghasilkan parlemen yang benar-benar mewakili rakyat.
Pada saat yang sama, pihak eksekutif yang diharapkan dipimpin oleh tokoh-tokoh yang setia pada konstitusi jujur dan terbuka. Pihak yudikatif juga diharapkan dapat menghilangkan hal-hal negatif yang dihubung-hubungkan dengannya, seperti adanya “mafia peradilan” yang ditandai terutama oleh korupsi uang oleh para hakim dalam memutusi suatu perkara. Ternyata harapan mulia itu terbuka sia-sia belaka. KKN bukannya hilang, malah semakin merajalela. Hal ini ditujukan oleh antara lain hubungan/koneksi yang menentukan keputusan-keputusan yang diambil dalam mengelola keuangan publik. Pihak legislatif menjadikan DPR-RI sebagai “showroom termahal” dengan peragaan mobil-mobil mewah, seperti Jaguar buatan Inggris yang harganya aduhai itu.
Setiap undang-undang yang dihasilkan, menelan biaya milyaran rupiah untuk menyogok para anggota agar memberikan suara seperti yang dikehendaki pihak yang melakukan sogokan itu. Pihak eksekutif tidak mau kalah dalam hal ini, sehingga terjadi perlombaan yang sangat memilukan perasaan dan menyayat hati kita. Apalagi kalau pihak eksekutif dan legislatif, terutama pada tingkat pimpinan sudah bersatu untuk meminta pihak yudikatif agar tidak dilaksanakan konsekuensi terjauh dari pelaksanaan sebuah undang-undang, seperti pada kasus dibebaskannya tuntutan atas Ketua Umum Partai Golkar Ir. Akbar Tandjung dari tuntutan hukum seperti diputuskan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sebelumnya.
Tidak heran jika orang merasa khawatir hal ini akan berlangsung terus menerus, jika pemilu tetap berlangsung sebagaimana direncanakan semula. Dalam pandangan banyak orang, pemilu hanya akan menghasilkan kemenangan kembali parpol-parpol yang sekarang menguasai jalannya pemerintahan. Dengan sendirinya, hanya tindakan melakukan boikot atas jalannya pemilu, atau dengan sebutan golput, yang dapat menunjukkan kepada khalayak dan kalangan tertentu di dunia, bahwa putra-putra terbaik Indonesia tidak ikut dalam pemilu, dan dengan demikian apapun hasil pemilu itu akan menjadi sia-sia belaka.
Tumpukan moral bagi pemerintahan hasil pemilu akan menjadi hilang secara keseluruhan, dan dengan demikian mereka merasa tidak turut bertanggungjawab lagi atas hasil pemilu itu sendiri. Pemilu pun akan kehilangan makna yang sebenarnya, karena langkanya legitimasi.
Pendapat seperti itu datang dari berbagai pihak yang menyatakan reaksi dan ungkapan publik atas gagasan untuk tidak turut serta dalam proses pemilu, termasuk “memboikot” pemilu itu sendiri, dengan jalan tidak memberikan suara. Memang, hal itu sudah dapat diperkirakan, setelah kita mendengar ucapan-ucapan penyiar pada waktu itu, yaitu saudara Fajrul Rahman. Kata demi kata yang dikeluarkan menunjukkan bahwa ia adalah eksponen gagasan tersebut. Pertanyaan yang timbul: pantaskah ia bersikap seperti itu, apapun alasannya? Tidaklah mengherankan, jika kemudian reaksi demi reaksi yang datang lalu ditelponkan atau dikirim per-sms kepada pemancar radio niaga itu, hampir seluruhnya menuntut pemboikotan itu secara total. Ini adalah contoh dari sebuah perkembangan politik dan komunikasi yang perlu diperhatikan lebih jauh.
Pesimisme yang ada tentang hasil pemilu merupakan pemicu dari sikap untuk mendorong golput itu. Pesimisme itu disebabkan oleh banyak hal, yang akhirnya menimbulkan sikap umum untuk tidak mempercayai pemilu itu sendiri sebagai sesuatu yang ada gunanya. Kekecewaan demi kekecewaan melihat persiapan demi persiapan pemilu yang begitu rapuh, membuat mereka akhirnya memtuskan tidak ada perlunya mengadakan pemilu dengan biaya yang begitu mahal. Masalahnya terletak pada hakikat pemilu itu sendiri yang telah diperintahkan oleh sistim perundang-undangan kita sendiri harus dilaksanakan tahun ini juga. Bagaikan “sabda Pendito Ratu”, ia adalah bagaikan sebuah mantra yang memerintahkan kita melakukan persiapan-persiapan teknis dan non-teknis dari pemilu itu sendiri.
Protes terhadap Sistem dan KPU
Mengapa penulis memutuskan untuk tidak memberikan suara dalam pemilu Presiden tanggal 5 Juli 2004? Dengan tidak memberikan suara, alias golput, penulis mengajukan protes atas tindakan sewenang-wenang dan melanggar undang-undang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang penulis menjadi calon Presiden.
Undang-Undang yang dilanggar KPU itu adalah UU no. 23 tahun 1992 dan UU no. 4 tahun 1997, yang jelas- jelas menentukan bahwa orang yang cacat tidak kehilangan hak dipilih dan memilih dalam sebuah pemilu di negeri ini. Untuk mengajukan protes atas keputusan sewenang-wenang dari KPU itu, yang juga dilakukan dengan sangat arogan, penulis memutuskan untuk melakukan tindakan golput-ria dalam pemilu tersebut, sebagai suara protes yang dilakukan seorang warga negara. Karena golput adalah hak seorang warga negara, seperti halnya memberikan suara dan ikut serta dalam pemilu, maka ia tidak dapat dilarang oleh siapapun. Ini merupakan hak prerogatif penulis yang tidak dapat dicegah oleh siapapun. Kalau pihak Polri ataupun pihak-pihak lain mencoba menggagalkan pengunaan hak tersebut, mereka harus melakukan penafsiran atas tindakan sewenang-wenang dan arogan dari KPU itu.
Dalam hal ini, telah ditentukan oleh sebuah undang-undang bahwa yang berhak melakukan penafsiran atas sebuah peraturan sebagai produk hukum di negeri kita, hanyalah Mahkamah Agung. Punyakah Mahkamah Agung keberanian moral untuk melakukan penafsiran pada saat ini, sedangkan ia membiarkan saja pelanggaran oleh KPU atas Undang-Undang yang disebutkan di atas? Ketakutan Mahkamah Agung akan pelanggaran atas Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar kita, sudah terlihat ketika badan tersebut tidak memberikan jawaban kepada penulis atas suratnya yang meminta fatwa tentang pertemuan di rumah Megawati Soekarnoputri (Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta) pada tanggal 21 Juli 2001, yang mengalihkan sebuah proses hukum melalui Pansus Bulog I dan Pansus Brunei, menjadi sebuah proses politik melalui Sidang Istimewa MPR-RI, yang dalam pandangan penulis melanggar UUD.
Benar tidaknya anggapan penulis itu, ditanyakan melalui sebuah surat di Mahkamah Agung (MA), yang sampai saat ini (lebih dari 6 tahun lamanya) tanpa ada jawaban dari MA. Bukankah ini menandakan, bahwa lembaga negara terhormat itu melalaikan kewajibannya? Memang ini tidak mengherankan, karena sistim peradilan kita memang sudah menjadi mafia tersendiri. Inilah yang sebenarnya harus diprotes oleh seluruh bangsa kita namun tidak kunjung dilakukan, karena begitu banyak sebab. Bahkan, pemukulan dan penganiayaan orang yang ditahan pihak Polri sekalipun, tidak pernah ada yang menyanggah. Demikian besar kekuasaan orang yang memerintah di negeri ini sehingga masyarakat luas lumpuh dibuatnya.
Kepada penulis ditanyakan mengapakah tidak mau “berjuang dari dalam” untuk memperbaiki pemerintahan kita. Penulis melihat, jalan terbaik untuk melakukan proses yang berarti, adalah melalui tindakan Golput di atas. Bagaimanakah halnya dengan keseluruhan sistim pemilu kita yang ada? Jawabanya mudah saja, dengan menunjukkan kepada masyarakat (dengan sendirinya juga dunia Internasional) bahwa KPU selaku penyelenggara pemilu yang curang, ceroboh, manipulatif dan berbiaya sangat tinggi adalah sesuatu yang tidak di dengar atau diikuti oleh para pemilih kita dalam pemilu kali ini. Tujuan akhir suara proses itu adalah perbaikan keadaan dan pelaksanaan pemilu itu sendiri di masa-masa yang akan datang dengan tujuan antara lain membubarkan KPU yang ada sekarang serta menggantikannya dengan KPU lain yang lebih bersih.
Protes seperti ini baru dilakukan sekarang, karena penulis melihat langkah membiarkan KPU menentukan keputusan-keputusan sendiri, akan mematikan proses demokratisasi yang baru mulai berjalan di negeri ini. Pernyataan calon wakil Presiden Agum Gumelar baru-baru ini, bahwa ia merasa bangga atas langkah-langkah yang diambilnya bersama Kapolri Bimantoro dan Panglima TNI Widodo AS, untuk mencegah sebuah dekrit yang diajukan oleh penulis sebagai Presiden RI (yang di dasarkan pada pelanggaran konstitusi yang disebutkan di atas merupakan kebodohan pandangan picik mereka tentang keadaan. Sayang sekali tokoh bodoh seperti itu sekarang menjadi calon wakil Presiden RI untuk pemilu yang akan datang. Justru untuk menghindarkan hal-hal seperti itulah penulis mengajukan protesnya di atas, yang dilakukan tanpa ajakan kepada siapapun.
Penulis sudah terbiasa dengan hidup di luar sistim politik kita, karena selama hampir 30 tahun di masa Orde Baru penulis lakukan hal itu, dengan segala konsekuensi yang diakibatkannya. Jika sekarang, penulis lakukan hal itu sekali lagi untuk menunjukkan bahwa masih ada yang melakukan protes di negeri ini, melawan kezaliman pihak pemerintah (yang diwakili oleh KPU dan sistim politik sekarang), tidak usah diherankan mengapa penulis mengambil sikap dan “suara tindakan melakukan Golput tersebut. Akibat dari “st protes” penulis itu memang dapat melumpuhkan seluruh sistim politik yang ada. Tetapi, bukankah itu yang memang menjadi sasaran kita bersama: penggantian sistim politik yang digunakan oleh bangsa ini. Bukankah reformasi yang dimulai para mahasiswa Universitas Trisakti ditahun 1998 bertujuan menerapkan penggantinya, yaitu sebuah reformasi yang sebenarnya, ternyata “di curi orang”.
Pandangan sangat pendek (Myopic) yang dimiliki segelintir orang saja, haruslah dibenahi dengan mengusahakan berlangsungnya reformasi yang sebenarnya. Itu berarti berdirinya reformasi yang benar, dan ditinggalkannya reformasi yang telah dicuri orang. Banyak yang dapat dilakukan, untuk meunjuk baik kepada reformasi yang benar ataupun reformasi yang dicuri orang. Sudah tentu banyak cara yang dapat ditempuh untuk menunjukkan hal itu. Dan disinilah penulis memutuskan untuk mengajukan protes atas kecerobohan, manipulasi dan kecurangan KPU melaksanakan sebuah pemilu. Apakah akibat dari tindakan yang diambil penulis itu? Jawabnya sederhana saja, yaitu bahwa sejarah yang akan membuktikan. Meminjam bahasa sebuah iklan dalam media massa ternyata sejarah dan bukannya survei yang membuktikan.
Jika memang masyarakat tetap tidak berani mengajukan protes dalam bentuk apapun, atas tindakan tidak terpuji dari KPU tersebut, resikonya harus penulis tanggung sendiri. Tetapi, jika protes penulis itu disambut protes-protes oleh orang lain, maka berarti kita akan segera menyaksikan sebuah proses penerapan sistim politk baru oleh bangsa kita sendiri di negeri ini. Banyak hal harus dilakukan antara lain membentuk sebuah sistim politik baru, menegakkan kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan sama kepada semua orang warga negara dihadapan undang-undang (dua hal utama yang menjadi persyaratan pokok bagi sebuah demokrasi) dan sebagainya.
Golput dan Penegakan Demokrasi
Seperti telah diuraikan sebelumnya, penulis tidak turut serta dalam pemilihan presiden tahun 2004, dengan segala akibat-akibatnya. Kalaupun itu hanya berakhir pada banyaknya bilangan golput yang tidak mengikuti pemilu tersebut, itu juga sepenuhnya menjadi tanggung jawab KPU. Kalau reaksi itu berakhir pada tindakan fisik yang penulis tidak kehendaki karena sebagai pengikut mendiang Mahatma Gandhi yang menolak kekerasan, dengan sendirinya jelas tidak akan meminta masyarakat untuk tidak menggunakannya. Karenanya, penulis tidak menentang sikap golput dalam pemilu itu. Sikap itu terpaksa diambil penulis, karena alternatifnya adalah kekerasan yang penulis tolak itu, agar tidak terjadi, dalam sebuah tujuan lain, penulis menyatakan bangsa kita adalah bangsa yang tidak dapat diprediksi apa reaksinya terhadap sebuah tindakan yang mereka anggap sebagai tindakan lalim. Menurut sebuah ungkapan “agama rakyat adalah agama para raja mereka” (Din Al-Raiyyah a’lla dini mulikihim).
Jelas dengan demikian, reaksi masyarakat atas sebuah tindak kelaliman, tidak akan berupa tindakan lembut, melainkan akan menjadi brutalitas dalam ukuran sangat besar. Hal itu adalah kesalahan KPU dan orang-orang di belakangnya karena telah mengambil tindakan yang salah. Guru kencing berdiri murid kencing berlari, itu adalah pepatah yang turut mengatur hidup kita. Apakah ia akan di kalahkan oleh ambisi politik pribadi, adalah sesuatu di luar tanggung jawab penulis. Tepatlah nyanyian Rhoma Irama “engkau yang memulai dan engkau yang mengakhiri.” Sekali penulis melihat adanya tindakan tidak demokratis seperti penolakan itu, maka penulis tidak akan melakukan tindakan apapun di luar protes, pengajian, tulisan dan hal hal lain yang mendorong tumbuhnya demokrasi bagi kehidupan kita sebagai bangsa. Demokrasi adalah cita-cita penulis, dan untuk itu ia berbuat apa saja yang tidak melanggar hukum.
Dalam hal penolakan untuk membiarkan penulis untuk menjadi calon presiden yang sebenarnya lebih menarik untuk diperhatikan adalah sikap penulis terhadap mereka yang namanya menjadi Caleg (calon legislatif) terpilih dalam pemilu legislatif yang lalu. Kalau ada yang menghendaki diangkat sumpah sebagai anggota DPR-RI hal itu dapat dimengerti, sebagai urusan periok nasi. Tetapi kalau jumlah mereka merupakan mayoritas, dengan sendirinya penulis tidak dapat lebih lama tinggal dalam sebuah parpol yang memenangkan terjadinya kelaliman. Dalam keadaan seperti itu, penulis dengan resmi akan keluar dari PKB dan membentuk sebuah partai politik baru, PDB (Partai Demokrasi Bebas). Parpol baru itu tentu akan kerjasama dengan mereka yang memperjuangkan demokrasi. Tindakan ini adalah sesuatu yang wajar bagi orang yang memperjuangkan demokrasi di tanah air kita saat ini. Yang keberatan hanyalah mereka yang menginginkan status quo tetapnya keadaan yang berjalan ini adalah konsekuensi berideologi seperti itu.
Demokrasi merupakan hal yang menjadi panutan penulis, di samping kemerdekaan. Telah terbukti, bahwa kemerdekaan ternyata berwatak semu saja hanya bersandarkan pada kata-kata kosong yang tidak akan membawa demokrasi yang penulis rindukan itu. Penulis yakin, kemerdekaan tanpa demokrasi adalah sesuatu yang tidak demokratis bagi kehidupan suatu bangsa mengapakah begitu banyak orang tidak sama antara kata dan perbuatan mereka mengenai demokrasi? Sebabnya, karena ambisi politik pribadi mereka jauh lebih kuat dari pada kecintaan mereka kepada kemerdekaan, tanah air dan bangsa. Karenanya, yang menjadi tugas di hadapan mereka adalah mencari para pemimpin yang benar-benar mencintai kemerdekaan tanah air dan bangsa, lebih dari ambisi politik pribadi yang mereka miliki apalagi setelah reformasi dicuri orang, dan para pemimpin kita sekarang ini menyimpangkan sistim politik kita dari konstitusi, seperti terkesan dari DPR RI yang bertugas lebih besar dari pengawasan atas pihak eksekutif dewasa ini.
Memang banyak yang harus dibenahi, dan ini adalah tugas berat yang harus dilakukan jika kita menginginkan kemerdekaan dan demokrasi bagi negara kita Pelanggaran demi pelanggaran atas Undang-Undang Dasar harus diselesaikan, peraturan-peraturan dan undang-undang yang menyimpang dari konstitusi harus diperbaiki, dan hak-hak sipil warga negara harus dipulihkan tanpa hal-hal itu, jelas demokrasi tak akan dapat ditegakkan di bumi nusantara dan sudah tentu arti kemerdekaan kita menjadi sangat jauh dari demokrasi itu sendiri. Ini kenyataan yang tak terbantahkan, yang sekarang ini diabaikan oleh tipu daya, manipulasi dan kecurangan di berbagai bidang, termasuk dalam persiapan pelaksanaan dan penghitungan suara seperti terjadi saat ini.
Tanpa hal-hal di atas menunjukkan dengan jelas kepada kita, bahwa menegakkan demokrasi bukanlah perkara yang gampang. Dibutuhkan keberanian kita sebagai bangsa untuk menegakkan demokrasi secara bertahap, seperti apa yang seharusnya di laksanakan. Pencurian reformasi, seperti terjadi sekarang ini tidak akan terkikis tanpa keberanian seperti itu. Memang demokratisasi membutuhkan waktu sangat lama untuk terwujud yaitu antara 80 – 90 tahun. Tetapi, pepatah Tiongkok kuno mengatakan perjalanan sepuluh ribu lie (sama dengan perjalanan lima ribu kilometer) dimulai dengan ayunan langkah pertama. Kalau kita sanggup menegakkan proses demokratisasi di negeri kita, berarti kita melakukan ayunan langkah pertama itu.
Golput dan Legitimasi Pemerintah
Berapa besarkah jumlah jumlah Golput, bila dihitung dari jumlah para pemilih yang terdaftar? Apakah yang mereka “wakili” dan mengapa mereka memilih jalan itu? Apakah pelaksanaannya sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 23/1992 tentang Kesehatan, No.4/1997 tentang Penyandang Cacat, No. 12/2003 tentang Pemilu Legislatif dan No.23/2003 tentang Pemilu Presiden? Apakah artinya ini semua bagi proses demokratisasi kehidupan kita? Dan mengapakah demokratisasi harus dimulai tahun ini juga? Deretan pertanyaan ini adalah sesuatu yang ada dalam diri kita semua. Dan penulis ingin mendorong perdebatan lebih luas, sehingga kita dapat mendudukan persoalannya pada perspektif yang kita “butuhkan” saat ini.
Penulis harus memulai dari apa yang terjadi dalam pemilu legislatif 5 April 2004 lalu. Menurut penulis, KPU, penyelenggara rangkaian pemilu kita, telah melakukan tiga hal sangat penting bagi pemilu tersebut. Pertama, bekerja dengan kecerobohan luar biasa (terutama dalam pendaftaran dan pemanggilan para pemilih). Kedua, pemihakan yang sangat jelas pada salah satu pihak peserta pemilu, dan ketiga, memanipulasi penghitungan suara. Karena hal itu penulis berkeyakinan, bahwa KPU — bersama-sama dengan mayoritas para peserta pemilu itu sendiri, memang tidak menghendaki pemilu demokratis yang akan membawa perubahan-perubahan besar dalam sistem politik negara kita. Dengan kata lain, KPU ingin memelihara/mempertahankan status quo keadaan dalam sistem politik kita dewasa ini. Menurut pandangan penulis, apa yang dilakukan KPU adalah kelanjutan dari kerja ‘mencuri’ reformasi oleh mayoritas elit politik kita saat ini.
Dalam melakukan kerjanya itu, KPU setidak-tidaknya melakukan pelanggaran terhadap 4 UU yang disebutkan diatas. Secara prosedural, ia juga melakukan pelanggaran demi pelanggaran yang tidak perlu penulis sebutkan dalam tulisan ini. Dalam melakukan ‘kerja’ itu, KPU bersikap sangat arogan/sombong, antara lain dengan menganggap semua keputusan KPU yang dituangkan dalam sekian buah surat ketetapan (SK) adalah ‘pegangan satu-satunya’ dalam penyelenggaraan rangkaian kegiatan pemilu tahun ini. Walaupun terjadi pelanggaran terhadap sejumlah UU di atas, tidaklah menjadi pemikiran KPU sama sekali. Sampai tiba saatnya penulis pun dicoret dari pencalonan untuk jabatan Presiden RI dalam pemilu putaran pertama. Dengan arogan, protes demi protes atas pelanggaran UU itu diabaikan, padahal ‘menurut aturan’, pelanggaran sebuah UU diancam dengan hukuman kurungan maksimal 5 tahun.
Bayangkan, untuk pelanggaran demi pelanggaran terhadap UU yang dilakukan itu, diancam hukuman maksimal 20 tahun kurungan, ditambah lagi UU prosedural yang juga dilanggar. Belum lagi kalau dihitung korupsi yang dilakukan oleh sejumlah penjabat KPU. Hanya sayangnya, publik kita berdiam diri saja. Akhirnya penulis terlihat sebagai orang nyinyir yang memprotes sendirian saja pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan KPU itu. Berbagai lembaga pemerintahan lain, seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ternyata tidak mempunyai keberanian sama sekali untuk itu. Panitia pengawas pemilu (Panwaslu) memutuskan menyerahkan persoalan pelanggaran itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta, yang menyatakan tidak dapat memeriksa perkara itu, karena KPU tidak bersedia datang dan memberikan keterangan ketika dipanggil.
Ini adalah pendapat aneh, yang dikeluarkan PTUN tersebut. Bukankah tugas PTUN untuk memberikan keputusannya baik terdakwa datang ataupun tidak. Dari kejadian ini, lalu menjadi jelas memperlihatkan adanya ‘mafia peradilan’? Ini adalah kenyataan pahit yang harus kita hadapi dengan kepala dingin. Tetapi ini juga berarti hilangnya kendali hukum atas perkembangan keadaan. Akibatnya tindakan-tindakan seperti itu akan mengundang ‘reaksi keras’ dari masyarakat. Apalagi kalau dilaksanakan gugatan Wiranto yang ‘menuntut’ diadakan penyelidikan tuntas atas rangkaian kecurangan pemilu, diselenggarakannya pemilu ulang di tempat-tempat yang meributkan perolehan suara Wiranto-Shalahudin Wahid, dan dicabutnya surat edaran KPU untuk menganggap sah kertas suara yang dua kali berlubang yang melanggar UU No. 23/2003. Kalau Wiranto tidak konsisten dalam hal ini, ia akan dinilai hanya ‘berjuang untuk diri sendiri saja.
Tidak heranlah, jika lalu penulis bertindak golput, alias golongan putih yang tidak memberikan suara dengan jalan tidak datang ke TPS, atau ‘mencoblos’ semua calon yang di sahkan KPU. Memang ini kedengarannya merupakan reaksi kekanak-kanakan karena sikap menegasikan sistem politik yang ada. Tetapi harus diingat, bukankah tindakan itu diambil oleh seorang pemilih yang merasa tidak mampu merubah keadaan, dan tidak ingin melihat negaranya gagal memulai demokratisasi. Lalu, tindakan itu sebagai memulai proses dari sekarang dan tidak dapat ditunda-tunda lagi, hal itu harus dimulai sekarang karena penundaan berarti negara kita dapat kapan saja dijadikan “permainan: negara-negara lain. Kalau Prof. DR. Amien Rais berkeberatan terhadap penjualan aset-aset nasional, melalui ‘proyek swastanisasi’ yang hanya menguntungkan sejumlah pejabat negara saja, seperti apa yang terjadi pada Indosat, hal itu menunjukkan kenyataan akan ‘permainan’ di atas?
Karena itu, penulis memang memandang negara dan bangsa kita sekarang, dalam ‘situasi negatif’, yang mengharuskan adanya reaksi dan responsi terhadap perkembangan keadaan. Karenanya, sikap untuk golput itu adalah sebenarnya sesuatu yang konstruktif, menunjukkan cukup luasnya sikap kritis masyarakat terhadap ‘kesalahan pemerintah’. Menurut laporan staf penulis, dalam pemilu Presiden-Wakil Presiden yang baru lalu lebih dari 25% suara mengambil tindakan golput itu, ditambah dengan 22% suara pemilih yang mendukung Wiranto-Shalahudin Wahid dalam pemilu itu, serta sekitar 10% perolehan SBY-MJK (dari sekitar 35% suara pemilihnya), maka seluruhnya ada sekitar 62% suara pemilih yang sebenarnya bersimpati kepada penulis. Jelaslah di sini, bahwa suara golput adalah salah satu “tindakan nyata” untuk memperbaiki sistem politik yang ada.
Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, jelaslah bahwa sikap “bergolput ria” adalah tindakan jelas untuk membangun sistem politik yang baru dalam kehidupan kita bersama. Bahkan, kalau orang berpikir ekstrim tapi jujur, bahwa ketakutan mayoritas bangsa ini akan sistem politik yang demokratis hanya merupakan ‘tindakan’ memperpanjang kesulitan-kesulitan. Sikap politik seperti itu, sebenarnya sama dengan ketakutan seorang pasien akan sebuah operasi medis. Bukankah dengan demikian, perawatan kesehatan yang harus dilakukan menjadi bertambah sulit?. Kenyataan seperti inilah yang harus kita ingat dalam mengelola negara dan bangsa kita sendiri, sebuah tugas amat berat, tetapi mulia.
Penulis mendapatkan laporan, jika pemilu Presiden-Wakil Presiden putaran kedua tidak dilakukan dengan perbaikan-perbaikan mendasar dalam penyelenggaraan pemilu itu tanggal 20 September 2004, mereka mengatakan angka-angka golput akan meningkat sangat tajam, antara 50-60% suara pemilih. Jika perkiraan ini memang benar, maka legitimasi dan kredibilitas pemerintah yang dihasilkannya akan ‘anjlok” secara drastis. Dari situ baru protes masyarakat atas KPU akan didengarkan oleh para elit politik kita sendiri dan media domestik yang ada. Karenanya, bukankah harus diawali sebuah mekanisme politik yang dapat memberikan kita peringatan dini dalam keadaan demikian?
Penulis menyambut baik kehadiran buku saudara Muhammad Asfar, yang diberi judul “Presiden Golput”. Cover buku tersebut berisi karikatur saya dan Prof. Dr. Amien Rais. Menurut informasi dari penulis buku yang disampaikan kepada saya, cover itu merefleksikan besarnya pendukung saya yang golput pada Pemilu Presiden putaran I dan besarnya pendukung Pak Amien Rais yang golput pada Pemilu Presiden putaran II. Tulisan dalam kata pengantar ini ide-idenya pernah ditulis di berbagai media, seperti Kompas, Kedaulatan Rakyat, Sinar Harapan, Duta Masyarakat, Memorandum, dan sebagainya. Semoga buku ini bisa menjadi wacana politik dan memberi sumbangan pada proses pendewasaan politik berbangsa dan bernegara kita.