Hukum Pidana Islam dan Hak-Hak Asasi Manusia
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
(1)
Untuk mengetahui bagaimana terjalin hubungan antara Hukum Pidana Islam (al-Qanun al Jina-i al-Islami) dan Hak-Hak Asasi Manusia, terlebih dahulu kita harus melihat bagaimana Hak-Hak Asasi Manusia itu ditempatkan dalam pandangan hidup Islam sendiri, atau dengan kata lain bagaimana pandangan theologis Islam atas Hak-Hak Asasi Manusia. Cara memandang seperti ini akan memberikan latar belakang bagi pengertian yang benar akan hubungan yang dimaksudkan di atas. Setelah itu, harus pula dilihat dalam aspek-aspek mana saja dalam Hukum Pidana Islam hubungan itu dapat ditemukan, sehingga dengan demikian dapat diketahui lingkupan luas maupun keterbatasan yang ada dalam hubungan itu sendiri.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa latar belakang kultural bagi sikap untuk menghargai sesama manusia dan menghormati hak-hak orang lain memang terdapat dalam cakupan luas pada ajaran Islam. Beberapa aspek dari latar belakang kultural itu dapat disebutkan dalam uraian ini:
- penciptaan dan penempatan manusia sebagai mahluk yang memiliki derajat kemuliaan dalam tata alam (kosmologi) dari jagad raya ini, menunjuk dengan jelas kepada keharusan memperlakukan manusia dengan perlakuan yang sesuai dengan kemuliaan derajatnya itu. Sebelum ia dilahirkan (semasa masih dalam kandungan) dan setelah ia meninggalkan dunia fana ini, manusia telah atau masih memiliki hak-hak yang dirumuskan dengan jelas dan dilindungi oleh hukum dalam pandangan Islam. Karena hak-haknya dan karena kemampuannya menggunakan hak-hak itu dengan baik, Allah swt telah menetapkan manusia sebagai pengganti/wakil-Nya (khalifah, vicegerent) di muka bumi ini, sebagaimana diutarakan secara eksplisit oleh Al Quran;
- penekanan prinsip untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam sebuah tata hukum (syari’at) yang berwatak universal menunjuk dengan jelas kepada penghargaan Islam secara umum kepada Hak-Hak Asasi Manusia Hukum hanya dapat dilaksanakan dengan baik dan adil kalau hak-hak perorangan maupun serikat dirumuskan dengan jelas dalam tata hukum yang digunakan sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat. Tata hukum Islam yang menyangkut segenap sektor kehidupan masyarakat, dari hak-hak dasar untuk memperoleh perlindungan hukum dari negara hingga kepada pengaturan hubungan antar negara (hukum internasional, alqanun al-duali), dalam sejarahnya yang panjang telah mengembangkan metode-metode lengkap untuk melakukan perumusan seperti itu;
- pandangan untuk memperlakukan seluruh kehidupan sebagai kerja peribadatan yang melandası kehidupan seorang Muslim akan senantiasa membuatnya berpegang pada pengertian yang jelas antara hak-hak dan kewajiban dalam mengatur hidup masing-masing
Kecenderungan manusia untuk menggunakan secara salah kedudukannya yang mulia dalam kehidupan alam raya ini, sehingga ia dapat saja sewaktu-waktu menjadi mahluk berderajat paling rendah dan hina (asfalu safilin) tidak sedikitpun mengurangi kemuliaan derajat yang dimilikinya semula, sehingga karenanya dapat dimengerti mengapa dalam theologia Islam tidak dikenal konsep dosa asal: manusia pada dasarnya adalah makhluk termulia, apapun jadinya ia nanti dalam kehidupannya setelah ia dilahirkan. Betapa terbatasnya sekalipun hak-hak perorangan maupun serikat dirumuskan dalam tata hukum Islam, kenyataan ini tidak dapat mengingkari kenyataan adanya hak-hak tertentu baginya, yang menuntut untuk dilestarikan dan dikembangkan demi kesejahteraan dan kebahagiaannya. Demikian pula, betapa tidak seimbangnya sekalipun hak-hak yang dimiliki seorang Muslim bila dibandingkan dengan kewajiban-kewajibannya kepada Allah s.w.t., hak itu secara tak terbantah lagi membuktikan wilayah kemerdekaan dan kebebasan menentukan kehendak dan pilihan baginya. Adanya wilayah kebebasan itu sendiri telah menunjuk kepada kokohnya landasan bagi penegakan dan pengembangan Hak-Hak Asasi dalam Islam. Kegagalan rangkaian masyarakat-masyarakat Islam, baik dalam kerangka kenegaraan maupun di luarnya, untuk menggunakan latar belakang kultural itu sebagai penunjang tegaknya Hak-Hak Manusia tidak dapat menutupi kenyataan akan mantapnya sendi-sendi keagamaan untuk melakukan kerja seperti itu, seperti halnya latar belakang kultural Islam juga memiliki kelengkapan cukup untuk mengembangkan ilmu, pengetahuan dan teknologi, betapa dilalaikannya sekalipun upaya di bidang itu oleh kaum Muslimin selama ini.
(2)
Ishaque (1974) menjelaskan adanya 14 buah Hak-Hak Asasi dalam Hukum Islam yang kesemuanya didasarkannya pada firman-firman Allah swt. dalam al-Qur’an. Keempat belas Hak-Hak Asasi itu secara keseluruhan mendukung tujuan untuk membina dan membentuk makhluk yang secara moral memiliki kesempurnaan (a morally perfect being). Hak-Hak tersebut dapat diringkaskan sebagai berikut (1) Hak memperoleh perlindungan hidup, (2) Hak memperoleh keadilan; (3) Hak memperoleh persamaan pelakuan; (4) KewaJiban mengikuti apa yang benar dan hak untuk menolak apa yang tidak benar secara hukum, (5) Hak untuk terjun ke dalam kehidupan masyarakat dan negara: (6) Hak memperoleh kemerdekaan; (7) Hak memperoleh kebebasan dari pengejaran dan penuntutan (vonviction); (8) Hak menyatakan pendapat, (9) Hak atas perlindungan terhadap penuntutan atas dasar perbedaan agama, (10) Hak memper oleh ketenangan perorangan (privacy). (11) Hak-hak ekonomi, termasuk hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh imbalan atas upah di saat tidak mampu bekerja, dan hak memperoleh upah yang pantas bagi pekerjaan yang dilakukan, (12) Hak memperoleh perlindungan atas kehormatan dan nama baik, (13) Hak atas harta benda dan harta milik, dan (14) Hak memperoleh imbalan yang pantas dan penggantian kerugian yang sepadan. Hak yang terakhir ini terutama ditujukan kepada kecenderungan lembaga-lembaga pemerintahan untuk mengambil kebijaksanaan tanpa mempertimbangkan kerugian yang diakibatkannya pada para warga negara
Sebenarnya dari kesemua hak-hak diatas masih dapat dikembangkan Hak-Hak Asasi yang lain lebih lanjut, seperti hak memperoleh perlindungan dari serangan fisik dari alat-alat pemerintahan dengan dalih apapun hak untuk memperoleh bantuan dalam memperjuangkan tuntutan hukum bagi mereka yang teraniaya atau kehilangan haknya atas harta milik yang menjadi bagiannya, dan seterusnya. Tetapi upaya memperinci secara tuntas kesemua hak yang diberikan oleh Hukum Islam atas setiap Muslim tidak begitu tampak relevansinya bagi pembahasan atas aspek kepidanaan dari Hukum Islam itu sendiri, kalaupun memang dapat dilakukan kerja penuntutan seperti itu.
(3)
Hubungan antara Hukum Islam Pidana dan Hak-Hak Asasi Manusia dapat ditemukan terutama dalam sektor-sektor berikut:
(a) Hukum acara (murafa’at), yang mengatur ketentuan-ketentuan tentang pengaduan perkara, pembuktian dan jalannya proses peradilan. Contoh-contoh berikut dapat menjelaskan adanya hak-hak yang bersifat fundamental tuntutan atau tuduhan harus didasarkan pada kesaksian yang cukup dari para saksi yang sudah diakui kejujurannya, sehat jasmani dan rohaninya, dan yang mengetahui persoalan secara langsung, dengan sanksi-sanksi berat bagi mereka yang memberikan kesaksian palsu; dalam perkara yang menyangkut transaksi uang atau barang yang dapat dinilai, harus digunakan bukti-bukti tertulis dari pihak yang melakukan transaksi, tertuduh berhak atas status tidak bersalah hingga terbukti kesalahannya (presumption of innocence, mabda-u ‘adam al-dzanb ‘inda ‘adam al-ithbat); keharusan menyediakan jumlah saksi dalam jumlah cukup (ta’addud al-syuhud) dalam tuntutan yang berakibat hukuman mati atau hukuman badan (husul al-hudud).
(b) Persyaratan administratif yang cukup untuk menjamin terlaksananya peradilan yang tertib, berwibawa, ditunjang oleh kepastian hukum dan dipimpin oleh mereka yang benar-benar memenuhi persyaratan peradilan yang jujur dan bersih Hakim haruslah memenuhi persyaratan keahlian di bidang hukum (alim competence); ia harus bersih dari kedustaan dan kelancungan sebelum diangkat, ia diharuskan memberikan keputusan yang adil dan menjaga asas keadilan (syart al-‘adalah); ia diharuskan mengikuti keputusan terdahulu (precedent) yang telah terbukti kebenarannya secara hukum; dan ia harus dibantu oleh para pembantu yang terpercaya, seperti panitera (katib al-‘adl) dan juru taksir pajak dan penilai harga barang (muhasib). Kesemua bangunan administratif itu dilandaskan pada prinsip pengadilan harus bebas dari campur tangan pihak pelaksana pemerintahan (imam). Karena inilah dapat kita pahami mengapa para penulis karya-karya hukum pemerintahan dalam Islam, seperti al-Mawardi (meninggal 1057 Masehi), membicarakan dengan panjang-lebar perbedaan persyaratan bagi kedudukan kepala negara (imam) dan hakim (qadi), dalam hal mana ia mensejajarkan kedudukan keduanya dalam tata pemerintahan.
(c) Pemberian keputusan dalam perkara pidana dalam Hukum Islam didasarkan atas dua pendekatan yang saling melengkapi: di satu pihak asas keadilan hukum dijunjung tinggi, tetapi di lain pihak diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh keringanan hukuman. kalau perlu pembebasan dari hukuman. dengan janji dan kesediaan melakukan tindakan korektif secara bersungguh-sungguh. Demikian pula, selama belum didapatkan bukti-bukti kesalahan yang cukup meyakinkan, hukuman maksimal tidak dapat dijatuhkan dalam perkara yang bersangkut paut dengan hukuman mati dan hukuman badan. Dalam kasus adanya pembuktian yang cukup meyakinkan, masih disyaratkan bagi hakim untuk meminta pemeriksaan kesehatan atas diri terdakwa untuk menentukan kesehatan jiwanya, sebelum hukuman maksimal dapat dijatuhkan.
(d) Dalam pelaksanaan hukum yang telah dijatuhkan, masih terbuka kesempatan untuk mencari peluang mengelakkan secara hukum, yaitu dalam kasus yang memungkinkan penggantian hukuman itu sendiri dengan kompensasi material atau finansial kepada pihak yang dirugikan (diyyah), hal mana banyak tergantung kepada kemampuan meyakinkan pihak yang dirugikan atau ahli warisnya akan keuntungan timbal-balik dari sistem penggantian hukuman. Dalam kasus pidana yang menyangkut per buatan melawan hukum yang lainnya pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan seringkali dikaitkan dengan begitu banyak persyaratan, sehingga praktis tidak dapat dilaksanakan Ibn ‘Abd al-Salam, yang hidup delapan abad yang lalu, bahkan menulis karya agungnya yang dikhususkan pada masalah penundaan pelaksanaan hukuman. Bahkan menurut juris ini, hukum potong tangan dan hukum dilempari batu hingga mati (al-rajm) praktis tidak mungkin dilaksanakan (almost non-applicable) karena sulitnya memenuhi persyaratan untuk itu. Demikian pula sistem pengampunan menjadi bagian inherent dari Hukum Pidana Islam yang dikenal dengan nama sistim al-i’fa.
(4)
Perkembangan kesejarahan masyarakat Islam selama ini belum mampu memanfa’atkan kelengkapan-kelengkapan hukum di atas untuk menjamin Hak-Hak Asasi para warganya, baik karena adanya kecenderungan semakin meningkatnya kekuasaan pelaksana pemerintahan (imam) hingga berkesudahan pada mutlaknya kekuasaan itu sendiri, maupun karena munculnya birokrat-birokrat berintikan kekuatan militer akibat banyaknya imam-imam yang lemah (kelompok Jenitsary dalam dinasti Ottoman, wangsa Parmak dan kemudian Dailam serta sultan-sultan dari satuan etnis Turki dalam dinasti Abbasiyah).
Tetapi menarik sekali untuk menelusuri literatur Hukum Islam dan mendapatkan bahwa para sarjana hukum Muslimin terus memproduksi karya-karya yang berisikan semangat pencerahan hukum kala kegelapan pemerintahan otoriter menyelimuti dunia Islam dalam tujuh sampai delapan abad terakhir ini. Pembahasan tidak hanya dilakukan dari sudut tata hukum maupun teknik peradilan saja, melainkan juga dari sudut terciptanya kerangka kemasyarakatan yang menunjang keadilan dan pemerintahan hukum. seperti perumusan tugas negara untuk memenuhi kebutuhan para warganya yang diterangkan oleh komentator Fath al-Mu’in dalam merumuskan perintah berjihad sebagai berikut: (a) berperang di jalan Allah jika diserang; (b) menegakkan perintah Allah yang tertuang dalam Hukum Islam, (c) memberikan apa yang dibutuhkan warga negara dalam bidang pangan (26 kg per hari perorang), papan dan pangan (minimal satu stel pakaian lengkap untuk musim panas dan satu stel untuk musim dingin); dan (d) memberikan perlindungan hukum kepada semua warga negara, termasuk mereka yang terletak dalam kategori kafir dzimmi (termasuk umat Nasrani, Hindu dan Budha di negeri kita dewasa ini).
Bukankah dengan penyediaan kebutuhan pokok seperti itu baru dapat ditegakkan berlakunya pemerintahan hukum yang menjunjung tinggi Hak-Hak Asasi Manusia?
(5)
Uraian di atas belum mencakup banyak masalah “teknis” yang berkaitan dengan Hukum Pidana Islam sebagai obyek studi hukum dalam artiannya yang luas. Asas legalitas yang digunakan dalam Hukum Pidana Islam, tujuan atau filsafat hukum yang dimilikinya, aspek-aspek material dari dirinya, landasan-landasan kelengkapan hukumnya, dan banyak lagi aspek-aspek lain masih belum terjangkau oleh uraian ini. Umpamanya saja, tujuan pembalasan (lex talonas) dari penetapan hukuman pidana (potong tangan, rajam, diyyat dan sebagainya), belum dikaji secara mendalam sampai di mana ia sesuai dengan tujuan umum syari’at sebagai pengaturan hubungan secara preventif.
Tugas kita semualah untuk memperinci, melanjutkan dan kemudian mengembangkan pengkajian hubungan antara Hukum Pidana Islam dan Hak-Hak Asasi Manusia dalam kerangka studi hukum yang lebih kongkrit dan nyata, bukan hanya dalam bentuknya yang paling pokok sebagaimana digambarkan dalam uraian ini. Semoga Allah menolong dan memberikan bimbingan kepada kita dalam hal ini.