Islam dan Kepemimpinan Wanita
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Sejumlah pemimpin partai-partai politik Islam, beberapa tahun yang lalu, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita tidak tepat dalam pandangan agama. Dasar anggapan itu adalah ungkapan al-Qurân “Lelaki lebih tegak atas wanita (al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ)” (QS. an-Nisa [4]:34), yang dapat diartikan menjadi dua macam. Pertama, lelaki bertanggung jawab fisik atas keselamatan wanita; dan kedua, lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara. Ternyata para pemimpin partai politik Islam di atas memilih pendapat kedua itu, terbukti dari ucapan mereka di muka umum. Anggapan bahwa wanita lebih lemah, yang menjadi pendapat dunia Islam pada umumnya selama ini, dalam kenyataan justru menunjukkan sebaliknya.
Untuk melanjutkan anggapan ini digunakan beberapa sumber tekstual (‘adillah naqliyah). Seperti ungkapan “Wanita hanya mempunyai separuh akal lelaki”, dan sumber-sumber sejenis. Bahkan sebuah kutipan dari kitab suci al-Qurân dipakai dalam hal ini, yaitu “Bagian pria (dalam masalah warisan) adalah dua kali bagian wanita (Li al-dzakari mistlu hazzi al-untsayain)” (QS. an-Nisa [4]:11). Padahal kutipan itu hanya mengenai masalah waris-mewaris saja. Karena itu, dua pandangan di atas, yang selalu menilai rendah wanita, masih umum dipakai orang dalam dunia Islam.
Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan hal itu agar hak lelaki dan hak wanita menjadi semakin berimbang karena memang Islam menilai seperti itu. Firman Allah Swt dalam al-Qurân. “Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan (Innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsa),” (QS al-Hujurat [49]:13) mengisyaratkan persamaan seperti itu. Perbedaan pria dan wanita hanyalah bersifat biologis, tidak bersifat institusional/kelembagaan sebagaimana disangkakan banyak orang dalam literatur Islam klasik. Akibatnya, masyarakat pun menjadi terpengaruh, termasuk kaum wanitanya sendiri.
Sewaktu masih menjadi Ketua Umum PBNU, penulis pernah didatangi seorang ulama Pakistan, sewaktu Benazir Bhutto masih menjadi orang pertama dalam pemerintahan negeri tersebut. Ia meminta agar penulis membacakan surat Al-Fatihah bagi bangsa Pakistan, agar mereka terhindar dari malapetaka. Katanya: “Bukankah Rasulullah Saw bersabda, ‘Tidak akan pernah sukses sebuah kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada wanita?’ [1] Bukankah dengan naiknya Benazir Bhutto menjadi perdana menteri, nasib Pakistan akan seperti yang disampaikan Rasulullah itu?’’ Penulis menjawab, bahwa dalam hal ini diperlukan penafsiran baru sesuai dengan perubahan yang terjadi? Bukankah Nabi Muhammad Saw menunjuk kepada kepemimpinan Abad VII hingga IX Masehi di Jazirah Arab? Kepemimpinan suku atau kaum, waktu itu memang berbentuk perseorangan (individual leadership), sedangkan sekarang kepemimpinan negara justru dilembagakan?
Benazir Bhutto harus mengambil keputusan melalui sidang kabinet, dengan para menteri yang mayoritasnya pria. Dan, kabinet tidak boleh menyimpang dari kebijakan parlemen, juga mayoritas anggotanya adalah pria. Hingga, parlemen pun tidak boleh menyimpang dari Undang-Undang Dasar, dengan penjagaan dan pengawalan dari Mahkamah Agung yang seluruhnya beranggotakan kaum pria. Kata tamu Pakistan tersebut: “Anda benar, namun saya minta Anda tetap membacakan surat Al-Fatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan.”
Apa yang digambarkan di atas menunjuk kepada suatu hal: sulitnya mengubah sebuah pandangan yang telah berabad-abad lamanya diikuti orang. Dalam hal ini, antara pandangan agama Islam di mata orang-orang itu, dalam kenyataan berlawanan dengan apa yang dirumuskan oleh UUD. Seolah-olah terjadi perbenturan antara agama dan negara. Padahal, dalam kenyataan, ribuan anak-anak perempuan ulama muslimin justru menjadi sarjana S1 hingga S3, karena UUD memungkinkan hal itu. Bukankah persamaan hak antara pria dan wanita dijamin oleh UUD kita, termasuk dalam pendidikan?
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Sumatra Barat, mengeluarkan peraturan daerah yang melarang warga masyarakat dari jenis wanita untuk keluar rumah tanpa mahram (suami atau sanak keluarga yang tidak boleh dikawininya), setelah pukul 09.00 malam. Bukankah ini jelas melanggar UUD, yang menyamakan kedudukan antara pria dan wanita di muka undang-undang? Karenanya, sidang kabinet saat penulis menjadi presiden telah memutuskan: Tidak diperkenankan adanya peraturan daerah atau produk-produk lain hasil DPRD I atau DPRD II, yang berlawanan dengan Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini, yang memiliki wewenang untuk menyatakan, apakah sebuah produk DPRD tersebut melanggar UUD atau tidak mestinya adalah Mahkamah Agung. Jika tidak sah, otomatis produk itu tidak berlaku lagi.
Jelaslah, memperjuangkan hak-hak wanita adalah pekerjaan yang masih berat di masa kini, hingga wajiblah kita bersikap sabar dan bertindak hatihati dalam hal ini. Tetapi, keadaan ini pun, bukanlah hanya monopoli golongan Islam saja. Di Amerika Serikat (AS) yang dianggap memelihara hak-hak wanita dan pria secara berimbang menurut Undang-Undang Dasarnya, ternyata dalam praktik tidak semudah yang diperkirakan. Belum pernah dalam sejarah AS ada presiden wanita, walaupun UUD-nya tidak pernah melarang akan hal itu. Di sini, ternyata terdapat kesenjangan besar antara teori dan praktik dalam sebuah masyarakat paling “maju” sekalipun.
Catatan kaki:
[1] Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan secara tekstual dan apa adanya. Mereka berpendapat, berdasarkan petunjuk hadis tersebut, pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politis lainnya, dilarang dalam agama. Mereka menyatakan bahwa perempuan menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. Oleh karenanya, al-Khattabi misalnya, mengatakan bahwa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah. Lihat al Asqalani, Fath al-Bari Syarah Sahih al-Bukhari, Juz. VIII, hlm. 128. Demikian pula al-Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berkata, bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara. (Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Autar, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t., Juz. VII, hlm. 298). Para ulama lainnya seperti Ibn Hazm, al-Ghazali, Kamal ibn Abi Syarif dan Kamal ibn Abi Hammam, meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala negara (Muhammad Yusuf Musa, Nizam al-Hukm fi al-Islam). Bahkan Sayyid Sabiq mensinyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat laki-laki ini bagi kepala negara sebagaimana syarat bagi seorang qadi, karena didasarkan pada hadis seperti tersebut sebelumnya. (Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. III, hlm. 315).
Dalam memahami dan mengkaji hadis mutlak diperlukan informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadiannya (sisi historis) yang melingkupi teks tersebut. Sebenarnya jauh sebelum hadis tersebut muncul, yakni pada masa awal dakwah Islam dilakukan oleh Nabi ke beberapa daerah dan negeri. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW pernah mengirim surat kepada pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk Islam. Di antara pembesar yang dikirimi surat oleh Nabi adalah Raja Kisra di Persia. Kisah pengiriman surat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Rasulullah Muhammad SAW telah mengutus ‘Abdullah ibn Hudaifah untuk mengirimkan surat tersebut kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas dilakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian pembesar Bahrain tersebut memberikan surat kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Nabi Muhammad SAW, Kisra menolak dan bahkan merobek-robek surat Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat bin al-Musayyab — setelah peristiwa tersebut sampai kepada Rasulullah SAW — kemudian Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, akan dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu” (al-Asqalani. Fath al-Bari, hlm. 127-128). Tidak lama kemudian, Kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat Raja. Hingga setelah terjadi bunuh-membunuh dalam rangka suksesi kepemimpinan, diangkatlah seorang perempuan yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah dikirimi surat Nabi) sebagai ratu (Kisra) di Persia. Hal tersebut karena ayah Buwaran meninggal dunia dan anak laki-lakinya (saudara Buwaran) telah mati terbunuh. Karenanya, Buwaran kemudian dinobatkan menjadi ratu. Peristiwa tersebut terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H. (lihat juga: Abu Falah ‘Abd al-Hayy bin al-’Imad al-Hanbali, Syazarat al-Zahab Fi Akhbar man Za- hab, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, Jilid. I, hlm. 13).
Selain itu, dari sisi sejarah sosial bangsa tersebut dapat diungkap bahwa menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia masa itu, jabatan kepala negara (raja) biasanya dipegang oleh kaum laki-laki. Sedang yang terjadi pada tahun 9 hijriah tersebut menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai raja adalah seorang perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di mata masyarakat berada di bawah derajat kaum lelaki. Perempuan sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan Persia dan keadaan sosial seperti itulah, wajar Nabi Muhammad SAW yang memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak akan sejahtera/sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang memimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya? Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andai kata seorang perempuan telah memiliki kualifikasi dan sangat dihormati oleh masyarakat, sangat mungkin Nabi yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan politik perempuan.