Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Sejak permulaan sejarahnya, Islam harus mengenal masalah-masalah kemiliteran, berbeda dengan banyak agama lain. [1] Operasi militer bertubi-tubi yang dilancarkan negara-kota (city-state) Mekah setelah Nabi Muhammad mendirikan masyarakat muslim di Madinah (sebelumnya bernama Yathrib, lebih-kurang 400 kilometer di barat laut Mekah) dalam masa sepuluh tahun pertama hidupnya, memaksa masyarakat yang masih sangat muda itu memberikan perhatian cukup kepada pembentukan sebuah bala tentara sebagai bagian inheren dari kehidupannya. Segera setelah ada kepastian pihak lawan di Mekah sudah kehilangan inisiatif militer dan jatuhnya kota tersebut ke tangan kaum muslimin tinggal soal waktu belaka, persiapan operasi militer yang bersifat eksternal (dalam artian penyerbuan ke luar Jazirah Arabia) menuntut tetap adanya kehadiran struktur ketentaraan itu dalam kehidupan masyarakat.
Kecenderungan ini tampak nyata, walaupun struktur itu sendiri masih bersifat sangat sederhana: satuan-satuan tempurnya belum dikendalikan oleh sebuah markas besar dengan hierarkinya sendiri. Masing-masing masih dipimpin oleh seorang komandan (amir) yang langsung bertanggung jawab kepada kepala pemerintahan. Perbekalan masih dibawa oleh masing-masing pasukan. Belum ada sistem logistik untuk seluruh bala tentara. Juga belum ada sistem penggajian, imbalan material diperoleh dari jarahan perang (ghanimah, booties) yang dapat dirampas dari tangan musuh. Perintah berperang tidak dikeluarkan oleh lini komando yang berjenjang, melainkan hasil seruan untuk melakukan perang suci (jihad) yang dikumandangkan di masjid. Memang ada bala tentara, tapi masih bersifat serba primitif!
Konfrontasi militer pertama yang terjadi masih berskala kecil, hanya meliputi lima ribu orang yang terlibat pada kedua belah pihak. Walaupun lebih tepat dinamai pertempuran (waqi’ah, battle) daripada penamaan formalnya dalam konteks kronikel Islam sebagai “Perang (ghazwah) Badr”, konfrontasi militer tersebut berkesudahan kepada kemenangan tentara muslim. [2] Kemenangan oleh tentara rakyat ini, dalam artian bukan tentara profesional, segera disusul dengan serangkaian konfrontasi militer melawan tentara non-muslim Mekah selama delapan tahun, berkesudahan pada pengepungan (siege) selama beberapa bulan atas kota Madinah oleh gabungan suku-suku Arabia non-muslim, operasi mana dikenal dengan nama Perang Parit (ghazwah al-Khandaq) pada tahun 627.
Pengaturan bala tentara muslim untuk mempertahankan kota melalui penggalian parit untuk menghalangi lawan, memunculkan pembagian kerja yang lebih nyata di kalangan tentara muslim itu sendiri. Dibentuk pasukan gerak cepat untuk melakukan serangan kilat sewaktu-waktu atas titik terlemah dalam barisan musuh yang melingkari kota. Pembentukan pasukan yang tidak melakukan serangan frontal atas induk kekuatan musuh, melainkan melakukan serangan mendadak atas titik terlemah pihak musuh di lambung bala tentara musuh itu, ternyata segera menjadi pola ketentaraan pihak muslim, seperti ternyata dari operasi militer pertama yang bersifat eksternal ke luar Jazirah Arabia. Pada tahun 629 pasukan muslim yang berjumlah tiga ribu orang menyerang bala tentara Byzantium, yang dipimpin sendiri oleh Heraclius, terdiri dari minimal tiga puluh ribu tentara, di Mut’ah (daerah Yordania sekarang). [3]
Induk tentara muslim yang melakukan serbuan frontal langsung ke induk pasukan musuh tidak berhasil mencapai kemenangan, bahkan menderita kerugian jiwa cukup besar, termasuk gugurnya komandan pasukan Ja’far ibn Abi Thalib dan kemudian penggantinya, penyair muda Abdullah ibn Rawahah. Tetapi kegagalan ini membawakan sebuah pengalaman sangat berharga bagi tentara muslim, yaitu
munculnya kebutuhan akan strategi peperangan yang jelas, di samping kesadaran akan pentingnya pasukan gerak cepat yang mampu menerobos lambung kekuatan musuh. Khalid ibn Walid yang menggantikan kedua komandan yang gugur itu hanya mampu menolong tentara dari jepitan yang mematikan dari bala tentara Byzantium dengan jalan serbuan cepat ke lambung kekuatan musuh untuk membuka jalan lari. Perang Mut’ah ini juga menandai sebuah periode baru yang berupa munculnya sekelompok militer profesional di lingkungan masyarakat muslim.
Walaupun secara formal belum ditetapkan hierarki permanen di lingkungan bala tentara muslim, secara tidak resmi para pemimpin tentara profesional itu langsung diserahi tugas merencanakan dan memimpin serbuan internal seperti Perang Hunain dan perebutan Mekah (Fath Mekah). Operasi militer di Hunain menampakkan strategi memecah belah kekuatan gabungan suku-suku nomad yang
masih belum menerima Islam dengan melakukan isolasi atas kelompok yang terpisah, mengurungnya dari induk pasukan gabungan dan menghancurkannya satu per satu. Operasi perebutan Mekah dilakukan bahkan tanpa melakukan pertempuran berarti, cukup dengan hanya show of force yang berskala massif. Apa yang seharusnya menjadi klimaks, dari sudut pandangan militer, ternyata hanya menjadi anti-klimaks belaka, begitu pula pengepungan atas kota Ta’if yang menjadi saingan Mekah.
Setelah Nabi wafat, kelompok militer profesional itu harus memadamkan pemberontakan Musailimah dan Tulaihah segera setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, kepala pemerintahan pengganti Nabi. Operasi yang dinamakan penaklukan para pembangkang (Harb al-Riddah) ini berlangsung cukup lama, meliputi pemerintahan dua khalifah lain setelah Abu Bakar, barulah dapat diselesaikan dengan tuntas. [4] Adalah wajar apabila operasi militer berkepanjangan seperti itu lalu memunculkan tentara reguler, walaupun masih dalam bentuk sangat sederhana dan belum mengenal sistem penggajian teratur serta masih mendasarkan pendapatan bagi tentaranya pada hasil jarahan perang yang dirampas dari musuh. Yang jelas, di ibukota pemerintahan lalu dibentuk markas besar (walaupun masih bertempat di masjid) tempat keluarnya perintah-perintah militer dari panglima operasi militer yang dilakukan. [5]
Penggajian dan Hierarki
Dalam pemerintahan ‘Umar ibn Al-Khattab, yang menggantikan Abu Bakar, mulai muncul sebuah sistem pemberian imbalan oleh negara (dari Bait al-Mal, yang berfungsi ganda sebagai kas negara dan pusat perbekalan negara), walaupun masih khusus hanya bagi peserta Perang Badr belaka. Mereka yang namanya tercantum dalam daftar yang dibuat (Diwan Ahl Badr) memperoleh sekadar tunjangan dari negara atas jasa-jasa mereka dalam “peperangan” pertama yang dialami kaum muslimin itu. [6] Walaupun sumber-sumber sejarah Islam tidak menyebutkannya, dapat diperkirakan daftar itu tentu muncul sebagai pengimbang bagi sebuah daftar lain yang disusun sebagai catatan tunjangan bagi bala tentara yang sudah mulai menjadi tentara reguler di masa pemerintahan Khalifah ‘Umar tersebut.
Aspek mulai terbentuknya tentara reguler ini, masih sedikit sekali dikaji orang, tetapi sebenarnya ia merupakan landasan institusional dari operasi besar-besaran untuk menaklukkan kawasan dunia di luar Jazirah Arabia segera setelah itu. Ditundukkannya pasukan-pasukan yang berintikan kesamaan keanggotaan dalam satu suku (qabilah) kepada seorang panglima bala tentara (amir al-jaish), yang pada
gilirannya harus tunduk kepada panglima tertinggi angkatan perang, menandai munculnya hierarki militer yang bersifat kompleks. Kepala pemerintahan (khalifah) adalah juga panglima tertinggi bala tentara muslim (Amir al-Mu’minin). Dengan tanggung jawab penuh kepada panglima tertinggi angkatan perang itu, panglima bala tentara menyusun markas besarnya sendiri atas keseluruhan bala tentara itu, walaupun markas besar itu dapat didirikan hanya di luar ibukota, di kala melakukan operasi militer.
Khalid ibn Walid kemudian dibebastugaskan oleh panglima tertingginya, Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab, secara formal karena penyalahgunaan fasilitas bala tentara, sebagaimana dikemukakan dalam kronikel sejarah Islam dari sumber dini. Tetapi besar kemungkinan tindakan itu dilakukan untuk memelihara supremasi ibukota negara atas hierarki markas besar di medan pertempuran yang terletak beribu-ribu kilometer di dataran rendah Irak (Ard al-Sawad). Dengan cara demikian, supremasi pemerintahan sipil atas bala tentara dipelihara terus-menerus selama operasi penaklukan yang memakan waktu belasan tahun dan mencapai Asia Tengah di sebelah timur dan Afrika Utara di sebelah barat. Hubungan antara Islam dan profesi militer pada waktu itu jelas menunjukkan pola dukungan pihak militer kepada aspirasi keagamaan dari pihak non-militer, dan belum ada pemerintahan militeristis di lingkungan masyarakat muslim ketika itu.
Militer Menjalankan Fungsi Pemerintahan
Keadaan ini berubah setelah struktur pemerintahan masyarakat muslim juga mengalami perubahan. Dari sistem khalifah yang dipilih, menjadi khalifah turun-temurun di tangan Dinasti Umayyah, pemerintahan lalu menjadi sebuah sistem monarki yang harus bersandar lebih banyak lagi pada kelompok militer profesional. Walaupun secara nominal raja yang bergelar khalifah dan masih juga berfungsi sebagai panglima tertinggi bala tentara (Amir al-Mu’minin), dalam kenyataan kekuasaan itu banyak dideligir kepada pejabat-pejabat militer di wilayah imperium yang begitu luas. Segera muncul kelas militer baru yang menjadi penguasa “daerah”, bertindak sekaligus sebagai pejabat berfungsi pemerintahan sipil maupun panglima pasukan yang ditempatkan di suatu “daerah”. Tokoh-tokoh militer seperti al-Hajjaj ibn Yusuf, Ziyad ibn Abih, Muhallab ibn Abi Sufrah, dan Qutaibah ibn Muslim muncul sebagai gubernur militer Irak, Mesir, Jazirah Arabia, Afrika Utara (sebelah barat Mesir), dan Khurasan (meliputi wilayah Iran dan Afghanistan sekarang). Kenyataan munculnya tokoh-tokoh militer itu sebagai gubernur (wali) dalam sejarah Islam yang baru berusia tujuh puluhan tahun itu disebabkan oleh perlawanan militer dari kelompok-kelompok muslim yang tidak puas dengan pemerintahan pusat yang ada, yang berkedudukan di Damaskus.
Perlawanan itu muncul dari perpecahan politik yang sangat tajam antara berbagai suku bangsa Arab, perpecahan mana paling sulit teratasi terjadi di antara kedua suku bangsa terbesar, Mudar dan Rabi’ah. Melalui pola pembentukan bala tentara muslim sewaktu memulai penaklukan ke luar Jazirah Arabia, di wilayah-wilayah yang diduduki didirikan perkampungan militer (garrisons) yang kemudian berkembang menjadi deretan kota-kota. Yang terkenal di antaranya adalah Basrah dan Kufah, yang juga merupakan pangkalan penyerbuan bagi penyerbuan lebih jauh. Kota-kota militer itu dengan segera merupakan rangkaian kumpulan pasukan-pasukan yang
terpusat, yang terdiri dari kekuatan yang terbagi tidak hanya menurut pembagian ketentaraan (kavaleri, infanteri, logistik, dan seterusnya), melainkan juga berdasarkan pembagian suku. Dengan cepat kota-kota tersebut menjadi pusat perlawanan terhadap pemerintahan pusat, hal mana memaksa pengangkatan tokoh-tokoh militer sebagai kepala pemerintahan provinsi-provinsi yang masing-masing meliputi kawasan puluhan ribu kilometer persegi. Pengangkatan al-Hajjaj ibn Yusuf sebagai gubernur Irak misalnya, terjadi setelah ia berhasil menegakkan “jasa” dengan reputasi sebagai “jagal” sewaktu memadamkan pemberontakan Abdullah ibn Zubair di Jazirah Arab (ia bahkan tidak segan-segan memerintahkan perusakan Ka’bah dan pembakaran Masjidil Haram!) secara “efisien”. Tindakan drastis diambilnya untuk tujuan pasifikasi yang dibebankan ke atas pundaknya: pemerintahan teror untuk jangka waktu enam tahun, penghancuran kelas pemuka masyarakat dari suku-suku Arab secara total (dengan jalan memberikan status berimbang kepada kelompok non-Arab) di kedua kota Basrah dan Kufah, dan pemusatan pasukan-pasukan Siria di ibukota “provinsi” Irak yang baru, Wasit (dekat bekas ibukota imperium Babilonia jauh di masa sebelum penaklukan oleh bala tentara muslim).
Pemerintahan Bani Umayyah yang berjalan selama delapan puluh sembilan tahun (dari permulaan diajukannya klaim sebagai khalifah oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan pada tahun 661, hingga kekalahan Yazid II dari tangan pendiri Dinasti ‘Abbasiyah, Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun 750), ternyata tidak dapat dipertahankan oleh pengangkatan tokoh-tokoh militer sebagai gubernur di berbagai kawasan imperiumnya yang begitu luas. Dinasti ‘Abbasiyah yang meneruskan kebijaksanaan seperti itu bahkan lebih buruk lagi nasibnya.
Persoalan Baru: Perpecahan Militer
Pada mulanya, berbagai pemberontakan diatasi dengan pengangkatan tokoh-tokoh militer sebagai gubernur di sementara provinsinya, sedangkan di wilayah utama kerajaan (Irak hingga ke masa Khalifah Al-Hadi, Khurasan sewaktu Al-Ma’mun menjadi khalifah dan kembali ke Irak setelah itu, walaupun dengan ibukota Samarra sebagai pengganti Baghdad sewaktu Al-Mu’tasim berkuasa dan kembali ke Baghdad setelah itu), khalifah lebih banyak bersandar kepada perdana menteri (wazir) dari asal-usul non-Arab tanpa memperoleh kekuatan militer sama sekali. [7] Tetapi dengan berlalunya masa, pengangkatan gubernur dari kalangan militer itu, seperti Abu Muslim di Khurasan, justru menimbulkan persoalan baru: pemberontakan oleh para tokoh militer sendiri untuk mendukung klaim anggotanya Dinasti ‘Abbasiyah sendiri atas tahta kekhalifahan (bahasa Arab: khilafah). Kelompok-kelompok utama dalam kalangan militer dengan demikian juga terbagi-bagi ke dalam berbagai kepentingan yang saling berbenturan antara anggota Dinasti “Abbasiyah yang berlainan”!
Munculnya “peranan” baru pihak militer profesional itu untuk menunjang klaim yang saling bertentangan atas tahta khalifah, akhirnya membawa kepada sebuah fenomena yang tadinya sama sekali tidak tergambarkan, yaitu munculnya kelas pengawal kerajaan dari kalangan budak hasil jarahan sewaktu penaklukan berlangsung. Budak-budak yang jumlahnya puluhan sampai ratusan ribu itu, umumnya berasal-usul Turki seperti budak-budak Seljuq yang nantinya akan mendirikan kewangsaan mereka sendiri, dengan cepat menjadi satuan-satuan militer yang tangguh dengan tujuan-tujuan intern mereka sendiri. Melalui serangkaian manipulasi dukungan mereka atas klaim saling bertentangan atas tahkta khilafah itu, para komandan militer Turki berhasil mendorong Khalifah Al-Mu’tasim untuk memindahkan ibukota imperium muslim itu dari Baghdad ke Samarra, untuk kemudian mengembalikannya ke Baghdad setelah mereka berhasil mengangkat dan kemudian mengganti tiga orang khalifah berturut-turut setelah Al-Mu’tasim. Situasi unik ini akhirnya berkesudahan pada kejadian dramatis ketika Khalifah al-Mutawakkil dibunuh atas perintah panglima militernya sendiri dalam tahun 847. [8]
Dalam keseluruhan proses munculnya kekuatan militer sebagai faktor utama politik itu terlihat sebuah jalur perkembangan yang menunjuk kepada ujung terbaginya kekuasaan pemerintahan di pusat imperium dan dalam dua jenis kekuasaan: kedudukan khalifah yang semakin lama semakin berfungsi simbolik belaka di satu pihak, dan kekuasaan nyata militer yang akhirnya diformalisir menjadi gelar sultan sebagai pihak eksekutif yang “ditunjuk” khalifah untuk menyelenggarakan pemerintahan “atas namanya”. Keadaan ini berlangsung terus hingga saat kejatuhan Dinasti ‘Abbasiyah bersama jatuhnya ibukota Baghdad di tangan pasukan-pasukan Mongol, yang menghancurkannya secara total.
Dari apa yang dipaparkan di atas tentang perkembangan peranan kaum militer profesional dalam sejarah Islam di jantung kekuasaannya semula di Jazirah Arab, Siria, dan terakhir Irak, ternyata tiga jenis peranan dapat dibedakan dalam masa yang hampir tujuh ratus tahun lamanya itu: munculnya tentara profesional pada permulaan Islam, kemudian fungsionalisasinya sebagai alat pasifikasi wilayah-wilayah imperium yang baru direbut atau yang sedang mengalami pemberontakan, dan terakhir munculnya kekuatan militer sebagai penguasa pemerintahan secara nyata atas nama kepala pemerintahan simbolik.
Dari gambaran itu jelas, bahwa kaum muslimin sejak permulaan sejarah mereka harus senantiasa bergulat dengan masalah-masalah kemiliteran; bahkan pada sepertiga masa sejarah klasik Islam (yaitu hingga jatuhnya Baghdad di tangan orang-orang Mongol pada tahun 1258) kaum muslimin justru harus bergulat dengan militerisme yang berlindung di balik peran “melaksanakan pemerintahan atas nama khalifah”. Kalau pada tingkat atas perkembangan politik pemerintahan munculnya militerisme itu diterima sebagai kenyataan yang tidak perlu dibantah lagi, di “tingkat bawah” justru terjadi perlawanan yang tidak berkeputusan, walaupun mengambil bentuk gerakan kultural yang tidak begitu efektif tampaknya dalam kehidupan politik praktis.
Perlawanan pertama adalah dalam munculnya solidaritas kaum tarekat sebagai elite tandingan (safwah muqabillah, counter elite) di tingkat bawah. Hierarki, sistem nilai, dan pandangan hidup baru mereka kembangkan di lingkungan sendiri sebagai tandingan terhadap struktur pemerintahan serba militeristis. Melalui pengembangan jaringan hubungan yang berjalan secara intensif sehingga meliputi seluruh kawasan imperium Islam dalam waktu hanya seratus-dua ratus tahun, jaringan hubungan (linkages) itu berhasil memaksa penguasa militer untuk mengikuti dan kemudian menyerap secara formal jalan kehidupan yang mereka anut. Peristiwa pembunuhan atas diri Khalifah al-Mutawakkil adalah salah satu kejadian dalam kerangka “penaklukan kultural” (cultural imposition) ini. Terjadi proses pengambilalihan ideologi rakyat oleh pemerintahan militeristis, tepat seperti apa yang terjadi di Pakistan sekarang ini, di mana pemerintahan militer di bawah pimpinan Jenderal Zia Ul Haq mengambil alih orientasi legal-formalistik dari kaum agamawan muslim sebagai imbalan dari dukungan mereka terhadap pemerintahan di hadapan perlawanan para pengikut mendiang bekas Presiden Zulfiqar Ali Bhutto.
Perlawanan Kultural
Perlawanan kultural dalam bentuk non-tarekat pun banyak diajukan, seperti terbukti dari produk literer dari kaum agamawan yang mendalami hukum agama (fuqaha, juriconsults). Keseluruhan produk literer itu menggambarkan masyarakat sipil di mana tata tertib hukum adalah tulang punggung eksistensinya dan kekuasaan tidak perlu mendasarkan diri pada kekuatan militer. Walaupun produk literer itu tidak mampu merubuhkan pemerintahan militeristis pada empat ratus tahun terakhir kehidupan Dinasti ‘Abbasiyah, tetapi ia mampu mengembangkan cara hidup yang hakikatnya berlawanan dengan sendi-sendi pemerintahan militeristis itu sendiri: etik sosial yang tidak mempedulikan struktur kemasyarakatan yang dibentuk oleh penguasa, pandangan dunia (world view) yang sama sekali berbeda dari ideologi formal negara, dan loyalitas kepada elite tandingan spiritual yang umumnya terdiri dari budayawan dan agamawan. Setelah pergulatan di bawah arus permukaan perkembangan politik tenang (yang ketenangannya pun masih disibuki oleh intrik-intrik politik dan perebutan kekuasaan di tingkat atas) yang berjalan berabad-abad lamanya, kemenangan justru dicapai oleh gerakan perlawanan kultural itu. Islam tersebar di seluruh penjuru dunia justru mengambil corak perlawanan kultural tersebut, baik dalam etik sosialnya maupun dalam pandangan hidupnya; sampai saat ini tidak ada satu pun ideologi formal negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dapat memaksakan ketundukan mutlak kepada ideologi itu sendiri. Tetap saja ada tolok ukur atau titik bandingan terhadap ideologi formal negara dalam hati kaum muslimin: sesuaikah ideologi tersebut dengan keyakinan agama, adakah para agamawan diberi hak turut menentukan keputusan-keputusan dasar di bidang kenegaraan, dan mungkinkah ajaran Islam dilaksanakan dengan damai di seluruh wilayah negara?
Munculnya perlawanan kultural itu terus-menerus terjadi setelah jatuhnya imperium Islam yang dilambangkan oleh Dinasti ‘Abbasiyah itu. Munculnya dinasti-dinasti Turki yang mengajukan klaim khilafah bagi diri masing-masing, yang berkesudahan pada tegaknya imperium Islam baru di Dinasti ‘Uthmaniyyah (Ottoman Empire); wangsa-wangsa militer di hampir seluruh penjuru dunia selama berabad-abad (wangsa Fulani di Afrika Barat, wangsa-wangsa Andalusia dan Afrika Utara, pemerintahan berbagai wangsa militer di India seperti wangsa Ghaznawi, dan seterusnya); dan apa yang oleh Hodgson dinamai “tata masyarakat berupa milisi kota dan pemerintahan barak militer (the social order of town militias and garrison government)” hingga abad kelima belas; [9] kesemuanya tetap menunjukkan berlangsungnya pemerintahan militer di kalangan bangsa-bangsa muslim berabad-abad setelah jatuhnya Baghdad di tangan orang-orang Mongol. Tetapi nyata pula bahwa perlawanan kultural itu memiliki ketahanan luar biasa untuk tetap hidup pada saat ini, di mana militerisme masih menghantui hidup bangsa-bangsa muslim di seluruh dunia (dengan perkecualian Sri Lanka dan India, di mana kaum muslimin menjadi kelompok minoritas yang dilindungi undang-undang dan memperoleh kebebasan untuk bersaing secara politis dengan golongan-golongan lain untuk memperebutkan kendali pemerintahan), baik dalam bentuk terbuka seperti di Pakistan dan Turki maupun secara terselubung seperti di tempat-tempat lainnya. [10]
Memang utopis untuk mengharapkan perlawanan kultural itu mampu menumbangkan rejim-rejim militer dalam waktu singkat. Tetapi kenyataan bahwa ia mampu bertahan di bawah tekanan dan penindasan menunjukkan potensinya untuk melakukan hal itu dalam jangka panjang, mungkin setelah memakan waktu ratusan tahun. Tetapi perlawanan kultural itu tidak dapat berlanjut dalam keadaannya yang sekarang, walaupun pada saat ini ia merupakan satu-satunya alternatif yang memiliki kelayakan (feasible alternative) terhadap militerisme itu, jika ia diinginkan mencapai hasil yang diharapkan. Alternatif lain, seperti penciptaan kelompok politik tandingan (yang hanya akan berkesudahan pada ko-opsi oleh pemerintahan militer atasnya dengan dalih “penataan politik untuk kepentingan pembangunan” atau pada revolusionalisme romantik yang tambah menyengsarakan rakyat banyak), ternyata tidak berkelayakan untuk digunakan melawan militerisme dalam waktu sangat panjang.
Kasus “revolusi Islam” para mullah di Iran yang merupakan kulminasi perlawanan kultural yang sudah berjalan dengan penuh pengorbanan selama puluhan tahun, juga masih harus membuktikan diri sebagai pemerintahan yang benar-benar merdeka, dan tidak menggantikan militerisme sekuler dari mendiang bekas Syah Reza Pahlavi dengan militerisme baru yang berdalih “menjalankan ajaran Islam”. Begitu pula ajaran “sosialisme Islam” yang dijajakan Mu’ammar Qaddafi dari Libya dan “sosialisme Arab” dari versi mendiang Gamal Abdel Nasser di Mesir hingga versi Saddam Hussein di Irak dan versi Hafez Assad di Siria (yang kesemuanya itu menampilkan “wajah nasional” dari egalitarianisme Islam yang dicanangkan Qaddafi), semuanya belum mampu membuktikan diri sebagai pemerintahan bukan militeristis. Alternatif “halus” terhadap militerisme terbuka, seperti yang diterapkan oleh Malaysia dengan demokrasi parlementernya dan Saudi Arabia dengan “monarki melalui Al-Quran sebagai konstitusinya”, juga belum mampu membebaskan diri dari cengkeraman militerisme. [11]
Transformasi yang diharapkan terjadi pada perlawanan kultural di atas, sebagai prasyarat keberhasilannya mencapai tujuan masyarakat yang bebas, terbuka, dan jujur kepada warganya, harus meliputi perumusan kembali tujuan perlawanan itu sendiri, orientasinya maupun metode yang digunakan, kesemuanya diletakkan dalam kerangka memecahkan masalah-masalah dasar yang dihadapi umat manusia: kemiskinan, kebodohan, merajalelanya ketidakadilan, langkanya kepastian hukum, ketimpangan sosial-ekonomis yang luar biasa besarnya akibat dominasi sekelompok kecil elite atas mayoritas umat manusia melalui struktur pemerintahan nasional dan usaha ekonomis-finansial (trans-nation economic enterprise), dan sebagainya. Dengan kata lain perlawanan kultural tersebut akan mencapai tujuannya apabila diletakkan dalam kerangka lebih luas dari apa yang dimilikinya selama ini. Ia tidak lagi cukup hanya menjadi upaya ekspresi keimanan sebagai muslim untuk menegakkan ajaran formal Islam belaka, tetapi harus menjadi bagian dari upaya kemanusiaan umum untuk membebaskan rakyat yang tertindas dari belenggu kenistaan, kehinaan, dan kepapaan yang menurunkan derajatnya sebagai makhluk yang mulia. Untuk itu dituntut dari gerakan-gerakan kultural perlawanan kaum muslimin agar terlebih dahulu mampu hidup bersama dengan manusia-manusia dari agama lain, ideologi politik dan pandangan budaya, yang memiliki kesamaan pandangan dasar tentang hakikat tempat manusia dalam kehidupan dan cara-cara untuk mewujudkannya.
Catatan akhir:
[1] Islam membawa ajaran agama yang berwatak kemasyarakatan dan sepenuhnya disandarkan kepada pranata-pranata institusional untuk menerapkannya dalam kehidupan. Bahkan aspek kehidupannya yang paling meditatif dan kontemplatif sekalipun, yaitu tasawuf, masih harus menanggung beban institusional sangat besar dalam bentuk gerakan tarekat. Pendekatan institusional atas kehidupan ini mendorong kepada penghadapan dengan bentuk-bentuk kemasyarakatan lainnya, dengan dampaknya sendiri atas kebutuhan mengembangkan pranata kemiliteran dalam lingkungannya sendiri.
[2] Sebelum operasi ini, sebenarnya sudah ada kontak militer bersenjata antara satuan muslim Madinah dan satuan non-muslim Mekah di Nakhlah, tetapi tanpa hasil yang konklusif.
[3] Walaupun kronikel sejarah Islam dari sumber dini (Maghazi al-Waqidi, Sirah ibn Hisham, Tabaqat ibn Sa’d, dan Mutawaffaqiyat Bakkar ibn Al-Zubair) tidak menyebutkan sebabnya, tetapi kita dapat merekonstruksikan alasan pengiriman pasukan ke Mut’ah itu, yaitu untuk memotong kemungkinan bergeraknya bala tentara Byzantium ke arah selatan menuju Jazirah Arabia. Ini menunjukkan aktifnya dinas intelijen pihak muslim di Madinah, mengingat gerak pasukan Heraclius itu dilakukan di daerah yang masih seribu kilometer jauhnya.
[4] Al-Balansi, Sulaiman Al-Kala’i (meninggal 634 H/1236 M), Tarikh al-Riddah, dalam Ikhtifa al Balansi, disunting oleh K.A. Fariq, Indian Institute of Islamic Studies, New Delhi, 1970, hlm. 31-35. Menggambarkan bagaimana operasi ini dilancarkan.
[5] Ibid., hlm. 32-33
[6] Yang paling lengkap memaparkan segala sesuatunya di sekitar daftar (Diwan ahl Badr) ini adalah Tabaqat ibn Sa’d di berbagai tempat dalam corpus magnus yang berjumlah sepuluh jilid ini.
[7] Nasib mereka sepenuhnya tergantung pada belas kasihan khalifah, tanpa ada jaminan keselamatan jiwa-raga dan harta benda mereka kalau dikucilkan oleh khalifah karena tidak lagi disenangi, seperti yang terjadi atas wangsa Barmak yang menghamba dua orang khalifah ‘Abbasiyah dan mengumpulkan kekayaan melimpah ruah. Keseluruhan anggota wangsa itu akhirnya menemui nasib buruk, dihukum mati hingga kepada yang masih berumur belum dewasa, serta kekayaan mereka dirampas seluruhnya!
[8] Kematian al-Mutawakkil ini diikuti oleh pergulatan antara kelompok-kelompok militer baru itu hingga ibukota Baghdad diduduki untuk waktu lama oleh salah satu kelompok pada tahun 945, kejadian mana oleh seorang penulis dikategorisasikan sebagai akhir kejayaan Khilafah/Imperium ‘Abbasiyah, walaupun dinasti itu sendiri masih memerintah (secara simbolik) untuk masa tiga ratusan tahun lagi. Lihat tabel dalam Marshall G. Hodgson, The Venture of Islam, Consciency and History in A World Civilization, The University of Chicago Press, Chicago, 1974, jilid I, hlm. 234.
[9] Hodgson, Op.Cit., jilid 2, hlm. 125
[10] Militerisme di sini tidak hanya dibatasi pada pemerintahan langsung oleh kaum militer profesional (baik sendirian atau pun bersama pihak-pihak lain) belaka, melainkan semua pemerintahan di mana kaum militer profesional turut menentukan keputusan di semua bidang pemerintahan dan kata terakhir tidak berada di tangan sebuah pemerintahan sipil. Sistem pemerintahan komunis/sosialis termasuk dalam kategori militeristis, karena kekuatan militer mendukung kekuasaan pemerintahan dan karenanya kaum militer profesional turut menentukan di bidang non-militer. Bahkan dalam pemerintahan demokrasi liberal pun ia dapat terjadi, seperti Amerika Serikat di bawah Presiden Theodore Roosevelt. Lihat The International Encyclopedie of Social Sciences, Macmilan and The Free Press, New York, 1966, jilid 9, hlm. 300.
[11] Malaysia dengan demokrasi parlementernya pun masih berwatak militeristis, karena pemerintahannya dapat menggunakan alat perundang-undangan (semacam public security act) untuk menindas dengan jalan melakukan penahanan setahun tanpa proses pengadilan, biasanya digunakan untuk menghalangi terpilihnya calon-calon pihak oposisi ke parlemen.