Islam dan Orientasi Bangsa
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Yang paling banyak dilakukan orang adalah mengacaukan antara orientasi kehidupan dengan konsep sebuah bangsa. Makanya sering ada kerancuan dengan menganggap adanya sebuah konsep negara dalam Islam. Atas dasar ini, orang pandai –semacam Abul A’la Al-Maududi, menganggap ideologi sebagai sebuah kerangka-pandang Islam. Karena itulah, ia lalu menganggap tidak ada nasionalisme dalam Islam, karena Islam bersifat universal bagi seluruh umat manusia. Tentunya, ini berhadapan dengan kenyataan bahwa sangat besar jumlah kaum muslimin yang memeluk nasionalisme, seperti mendiang Bung Karno. Pertanyaannya, dapatkah mereka dianggap kurang Islam dibanding ulama besar tersebut?
Pendapat al-Maududi itu jelas membedakan antara mereka yang menerima universalitas Islam sebagai sebuah formalitas, dengan mereka yang tidak memiliki atau mempercayai formalitas seperti itu. Pendapat ini, antara lain disanggah oleh seorang peneliti dari Amerika Serikat (AS), William Cleveland. Dalam disertasinya berjudul “Islam against the West: Shakib Arslan and the campaign for Islamic nationalism”, Cleveland mengungkapkan bahwa teori universalitas pandangan Islam dari Shakib Arsalan (kakek Kamal Jumlad dari Lebanon, seorang pemimpin Druz), bersumber pada keanggotaannya dalam parlemen Ottoman (Ustmaniyyah) bagi landasan pandangannya mengenai universalitas dari ajaran formal Islam. Kalau ia tidak berpandangan demikian, ia harus ikut nasionalisme Arab, sebuah pandangan yang justru ditolaknya. Dengan demikian, universalitas dari pandangan formal Islam ia jadikan teori, karena ia ingin mempertahankan kedudukannya sebagai anggota parlemen Ottoman tersebut.
Baik karya-karya Al-Maududi maupun disertasi Cleveland di atas, menunjukkan dua pandangan yang saling bertentangan. Tapi, kedua pandangan itu menunjukkan bahwa pandangan Al-Maududi lebih dikenal di kalangan orang-orang Prancis –sebagai golongan l’integrist, dan di dunia Barat lain di kenal dengan sebutan Islamists, yang menganggap bahwa Islam harus diwujudkan secara keseluruhan, bukan secara parsial. Pandangan ini bermula dari ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian, agama kalian, dan Ku-sempurnakan bagi kalian pemberian nikmat-Ku, dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama kalian” (al-yauma akmaltu lakum dîinakum wa atmamtu alaikum nikmatî wa radhîtu lakum al-Islâma dîna) (QS al-Maidah (3): 5). Menurut pandangan ini, Islam hanya akan tampak dan berarti kalau ia menjadi sebuah sistem, dan itu hanya berarti kalau dia ada secara formal. Maka, dari pikiran inilah lahir gagasan negara Islam.
*****
Dengan demikian, Islam dapat dibagi menjadi dua bagian: Islam formal dan tidak formal. Dalam pandangan formal, ajaran Islam yang formal selalu menjadi aturan bernegara, dalam bentuk undang-undang. Ini hanya akan memberikan tempat bagi sebuah versi hukum belaka dengan versi lain yang berada di luar undang-undang (UU). Dengan demikian, yang benar adalah apa yang tertera dalam rumusan UU, sedangkan yang tidak tercantum di dalamnya tentu saja tidak dipakai. Ini sudah tentu berbeda dari pandangan umum madzhab fiqh (Islamic law school).
Dalam pandangan mereka, orang dapat saja berbeda pandangan dan rumusan aturan, tergantung dari pilihan masing-masing. Adagium terkenal dalam hal ini adalah: “perbedaan pandangan di kalangan para Imam adalah rahmat bagi umat” (ikhtilâf al-aimmah rahmat al-ummah). Bahkan, pandangan ini memperkenankan perubahan-perubahan rumusan hukum agama dari waktu ke waktu.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, merumuskan kebolehan itu dengan kata-kata: rumusan hukum agama sangat tergantung kepada prinsip-prinsip yang digunakan. Jelaslah, perubahan rumusan hukum agama itu menjadi diperkenankan, karena adanya kebutuhan. Salah satu kaidah fiqh berbunyi: “kebutuhan dapat saja dianggap sebagai keadaan darurat” (al-hâjatu tanzilu manzila al-dharûrah). Prinsip ini memperkenankan perubahan rumusan hukum agama jika memang ada kebutuhan nyata untuk itu.
Karena hukum agama dalam sebuah negara Islam adalah keputusan-keputusan hukum yang diwujudkan secara formal, hingga dengan sendirinya asas pluralitas tidak dapat dilaksanakan, dan yang ada adalah UU formal. Dan, sistem formal agama lalu menjadi lahan tawar-menawar. Karena itu, banyak pihak yang berpendapat bahwa, ajaran formal Islam selalu bersifat kaku dan tidak mampu menampung perkembangan-perkembangan baru yang terjadi. Contohnya adalah sikap para penguasa Saudi Arabia yang telah membongkar tanah pusara Sayyid Ali al Uraidhi, di Madinah, untuk mencegah terjadinya penyembahan berhala yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi ratusan juta orang kaum tradisionalis muslim, yang sering kali disebut orang kolot, sikap seperti itu berarti justru membuat Islam tidak bergerak sesuai dengan perkembangan zaman. Islam akan mengalami kebekuan, yang sering di sebut dengan istilah al-jumûd.
*****
Kasus Sayyid ‘Uraidhi di atas, putra ketiga Ja’far Shaddieq setelah Isma’il (diabadikan dalam nama kelompok Syi’ah Isma’iliyyah) dan Musa al-Kadzim (perintis Syi’ah Itsna ‘Asyariyah yang memerintah Iran dan menjadi kelompok mayoritas di Irak saat ini), menunjukkan betapa besar para pengikut beliau di seluruh dunia. Katakanlah para kelompok Sunni tradisionalis, perasaan mereka dianggap sepele saja oleh pemerintah Saudi Arabia. Sikap formal yang diikuti Syeikh M. Abdul Wahab (diabadikan dalam istilah-salah, Wahabbisme) membuat pemerintah Saudi Arabia menjadi formalis, merusak/menghancurkan makam beliau di ‘Uraidhah, dekat Madinah, beberapa waktu yang lalu. Pemerintah Saudi Arabia yang –konon, katanya “melembut”, ternyata tetap tidak demikian, karena permintaan kaum formalis di lingkungan kerajaan tersebut.
Kejadian di atas, yang katanya berundang-undang dasar kitab suci al-Qurân dengan 6666 ayatnya, menunjuk dengan jelas kenyataan bahwa formalisme di negeri itu justru memacu konservativisme di kalangan para ulamanya. Kalau hal ini tidak mereka perbaiki dalam waktu dekat ini, maka di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia akan terjadi pertentangan sangat dahsyat, yang belum pernah terjadi selama ini. Keputusan Raja Saudi pertama, Abdul Aziz, di tahun 1924, untuk mengijinkan kaum muslimin melakukan ibadah haji menurut keyakinan masing-masing, telah membuat Saudi Arabia bisa diterima semua kalangan Dunia Islam. Keputusan membongkar kuburan Sayyid ‘Uraidhi adalah sesuatu yang justru berkebalikan dari keluasan pandangan di atas.
Pegangan golongan formalis dalam Islam adalah ayat: “masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan” (udkhulû fi al-silmi kâffah) (QS al-Baqarah (2): 208), yang berarti kalau anda menyerah kepada Tuhan, lakukan hal itu secara sungguh-sungguh dan tak tanggung-tanggung. Para formalis mengartikan kata “al-silmi” di sini, dengan arti Islam sebagai sistem, katakanlah sistem Islami. Namun, penafsiran ini hanya memperoleh pengikut yang sedikit, sedangkan mayoritas kaum muslimin (terutama para ulama), memegang arti Islam sebagai pengayom. Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita yakini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk kaum non-muslim. Ini bersesuaian dengan ayat lain yang berbunyi: “tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia” (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan li al-‘alamîn) (QS al-Anbiya(21):107), dengan kata terakhir “al-‘alamîn” ini diartikan para ahli tafsir memiliki pengertian umat manusia belaka, dan bukan semua makhluk yang ada di dunia ini. Indah, pengertian tentang Islam sebagai pelindung itu, bukan?