Islam, Negara, dan Pancasila
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam hubungannya dengan negara, Islam memiliki tiga pandangan utama. Pertama, adanya pandangan untuk mendirikan sebuah negara yang khusus Islam, seperti di Iran, Arab Saudi, dan Pakistan dewasa ini. Kedua, pandangan bahwa Islam adalah agama resmi negara, namun negaranya sendiri bukan negara Islam, seperti Malaysia. Dan ketiga, antara negara dan agama tidak dikaitkan secara konstitusional, namun hak melaksanakan syari’ah dibenarkan oleh negara, seperti Indonesia.
Ketiga pandangan tersebut adalah akibat logis dari pertumbuhan sejarah, dan satu sama lain tidak tepat untuk saling menyalahkan. Namun, ada ukuran objektif yang dapat digunakan untuk menilai kegunaan masing-masing: benarkah di dalamnya terlaksana ajaran Islam; sampai di manakah ajaran itu terlaksana; siapakah yang menjamin pelaksanaannya; dan demikian seterusnya. Kegunaan tolok ukur seperti itu penting sekali untuk menentukan corak kiprah kaum muslimin di suatu masyarakat dalam kaitan dengan agama mereka. Kesalahan menilai keadaan, umpamanya seperti dalam persepsi sebagian kaum muslimin bahwa Islam sedang “terancam”, dapat membawa kepada akibat fatal, seperti terjadi di Tanjung Priok akhir tahun 1984.
Demikian pula setiap bentuk hubungan antara Islam dengan negara harus didudukkan dalam perspektif kesejarahan yang tepat. Bagaimana mungkin didirikan “negara Islam” kalau tidak ada kejelasan mengenai siapa yang akan menjadi pengambil keputusan tertinggi atau dalam fiqh-nya sering disebut dengan ahl al–halli wa al–aqd? Begitu juga persyaratan tentang pimpinan negara, masihkah dapat dipertahankan syarat berasal dari kaum Quraisy? Kalau tidak dapat, bagaimana cara menetapkan persyaratan yang baru? Kalau dalam masalah-masalah yang teknis begitu saja tidak akan tercapai kesepakatan, bagaimanakah akan dibentuk sebuah “negara Islam” dalam segala kompleksitasnya
Kenyataan seperti itu mengharuskan kita untuk menerima kenyataan sejarah bahwa di mayoritas kawasan Dunia Islam hanyalah bentuk hubungan ketiga yang dapat dilestarikan, yaitu negara menjamin hak kaum muslimin untuk melaksanakan syari’ah agama mereka, walaupun negara itu tidak mencantumkan Islam sebagai agama resmi. Dalam kaitan inilah harus “dibaca” penegasan Presiden Soeharto kepada para sesepuh NU bahwa Pancasila menjamin hak umat beragama Islam untuk melaksanakan syari’ah agama tersebut. Pancasila tidak berada pada kedudukan lebih tinggi dari Islam atau agama lain, karena ia hanya menjamin hak pemeluk untuk melaksanakan kewajiban agama masing-masing.
Dalam keadaan demikian, maka agama berperanan menjadi sumber pandangan hidup bangsa dan negara atau dengan kata lain sumber bagi Pancasila, di samping sumber-sumber lain. Ini adalah inti hubungan antara Islam dengan Pancasila. Ideologi negara dan pandangan hidup bangsa, dalam hal ini Pancasila, bersumber pada sejumlah nilai luhur yang ada dalam agama. Namun, pada saat yang sama ideologi menjamin kebebasan pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya. Dengan demikian, hubungannya dapat digambarkan sebagai berikut: agama berperanan memotifikasi kegiatan individu melalui nilai-nilai yang diserap oleh Pancasila dan dituangkan dalam bentuk pandangan hidup bangsa.
Ini tidak berarti lalu agama menjadi terputus hubungannya dengan para pemeluknya lantaran “campur tangan” Pancasila sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa. Sebaliknya, pandangan hidup bangsa menentukan bahwa warga negara harus taat kepada agama dan kepercayaan masing-masing. Dengan demikian, hubungan antara agama dengan pemeluknya dilakukan dalam dua jalur hubungan: di satu pihak agama mengejawantah dalam produk yang dihasilkan oleh ideologi negara dan pandangan hidup bangsa, di pihak lain, agama langsung dijalankan ajarannya oleh para pemeluknya.
Model hubungan pertama antara Islam dengan Pancasila itu, yaitu agama mengejawantah dalam ideologi negara dan pandangan hidup bangsa merupakan kerangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang seharusnya diikuti oleh kaum muslimin.
Mengapa demikian? Karena dalam negara yang demikian majemuk susunan warga negara dan situasi geografisnya, Islam ternyata bukan satu-satunya agama yang ada. Dengan kata lain, negara harus memberikan pelayanan yang adil kepada semua agama yang diakui. Ini berarti negara harus menjamin pola pergaulan yang serasi dan berimbang antara sesama umat beragama.
Kalau dibuat ilustrasi, maka gambarnya sebagai berikut: kalau berurusan dengan tetangga yang muslim dalam soal agama, saya menggunakan keislaman saya, kalau berurusan dengan sesama muslim dalam urusan negara atau dengan orang beragama lain dalam soal agama diggunakanlah Pancasila.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa Pancasila dan Islam tidak memiliki pola hubungan yang bersifat polaritatif, tetapi pola hubungan dialogis yang sehat, yang berjalan terus-menerus secara dinamis. Jadi salahlah kalau Islam dan Pancasila dipertentangkan, karena peranannya justru saling mengisi, mendukung, dan menutup. Keabadian Islam mendapat jalur kongretisasi melalui Pancasila, sedangkan kehadiran Pancasila itu sendiri bersumber juga pada ajaran agama.
Kalau telah demikian pengertian kita tentang hubungan antara Islam, negara, dengan Pancasila, maka tentu timbul pertanyaan, mengapa diperlukan asas Pancasila dalam kehidupan organisasi kemasyarakatan? Sementara organisai- organisasi tersebut tidak bergerak dalam bidang kenegaraan, sehingga tidak langsung harus di-Pancasila-kan dalam asas organisasi. Jawabnya terletak dalam pengertian kata “bernegara” dan “bermasyarakat”.
Kemerdekaan untuk melakukan kegiatan “bermasyarakat” adalah sama dengan kewajiban “bernegara”. Namun keduanya harus saling mendukung, sehingga kehidupan “bermasyarakat” tidak boleh merugikan kepentingan hidup “bernegara”, dan demikian pula sebaliknya. Kalau manusia mengikuti ajaran Pancasila dalam hidupnya, maka berarti ia menegakkan ideologi negara dan pandangan hidup bangsa. Kalau ia melakukan hal yang sama dengan cara berasas Pancasila, maka ia berkehidupan organisasi yang menegakkan ideologi negara dan pandangan hidup bangsa pula. Mengapa? Karena dengan berasas Pancasila, organisasi tersebut lalu mengikuti keterikatannya kepada peraturan-peraturan negara dan kebiasaan masyarakat dalam pergaulannya dengan kelompok-kelompok, organisasi, agama, dan paham lain.
Dalam konteks agama sebagai sumber bagi Pancasila, dengan pengambilan intinya pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, maka wajar saja kalau nilai-nilai luhur agama diserap oleh Pancasila, dan nilai-nilai luhur itulah yang sebenarnya melakukan pengaturan hubungan antar-organisasi, antargolongan, dan antaragama. Jika tidak demikian, maka akan terjadi kerancuan dan kebalauan dalam pola hubungan antargolongan, antaragama, dan antar-paham, karena langkanya standar atau ukuran baku yang digunakan.
Memang masih harus dilakukan penyesuaian taktis sebelum asas Pancasila diterima sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kemasyarakatan dan kekuatan sosial politik. Namun, prinsip bahwa Pancasila adalah tolok ukur yang standar dalam hubungan antar komponen kehidupan banga adalah sesuatu yang dapat dimengerti.