Islam Setuju Kemiskinan?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Peristiwanya terjadi di sebuah latihan pengembangan masyarakat di pesantren Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Seorang peneliti kelas kakap sedang mengajarkan dasar-dasar penelitian yang harus melandasi pengembangan masyarakat. Sang peneliti merumuskan tujuan akhir dari kerja pengembangan, yakni pemberantasan kemiskinan. Dengan serta merta ia masuk ke dalam perdebatan sengit, dan dia pun diperlakukan sengit oleh para peserta latihan yang berasal dari berbagai pesantren di Jawa Timur itu.
Tidak berhenti di situ, sang peneliti kembali ke Jakarta dengan hasil masgul. Ia datang jauh-jauh ke salah satu ujung dunia di Madura itu adalah demi dedikasinya, turut membantu kalangan pesantren mengatasi masalah-masalah utama kemasyarakatan bangsa kita. Ia mencari penyaluran bagi hasratnya turut berjuang di lapangan yang dikuasainya. Tahu-tahu ia diserang begitu rupa.
Lebih masgul lagi ketika ia mendengar cerita dari direktur lembaga tempatnya bekerja. Dalam kunjungan ke tempat latihan, sang direktur ditanya seorang peserta secara garang (dan dia mendapat julukan Khomeini dari kawan-kawannya): “Mengapa Bapak terima orang komunis seperti peneliti itu bekerja di lembaga Bapak?”
Sang direktur geleng-geleng kepala penuh kebingungan. Sang peneliti bersedih hati karena citranya tentang perjuangan melaksanakan cita-cita terpukul (bak pemuda yang mendapati bahwa sang pacar tidak sesempurna yang dilamunkannya). Dan, susahnya lagi para peserta latihan tetap saja tidak mengerti persoalan yang sebenarnya.
Ada urusan apakah sehingga menjadi begitu ruwet masalahnya antara ketiga pihak itu? Sebuah simbolkah ia, kejadian kecil yang hampir-hampir tidak berarti, namun menjadi cermin dari kenyataan pahit berlingkup luas yang terjadi dalam kehidupan bangsa.
Ternyata persoalannya adalah masalah kemiskinan itu sendiri; dan ya, memang ia menjadi pencerminan dari kenyataan lebih besar, namun nyata terjadi di masyarakat. Sungguh pahit kenyataan tersebut, namun ia nyata ada. Menurut para peserta latihan, keyakinan agama Islam tidak menerima tujuan pemberantasan kemiskinan itu. Perdebatan pun terjadi di seputar masalah tersebut.
Serangkaian argumentasi dikemukakan untuk menunjang “pemberantasan kemiskinan“: Bukankah manusia adalah makhluk termulia sehingga tidak layak jika ia tetap berada dalam kemiskinan? Bukankah karena kemuliaannya itu ia menyandang “gelar” sebagai wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi? Bukankah perwujudan “gelar” itu adalah penciptaan manusia dalam proporsi kemakhlukan paling sempurna (ahsani taqwim)? Bukankah perwujudan kemakhlukan serba sempurna itu menuntut dukungan materil bagi kehidupan manusia sendiri?
Bukankah dukungan materil itu hanya dapat diperoleh dari hidup serba berkecukupan, atau dengan istilah yang lebih menjadi mode dinamai kehidupan kerkualitas tinggi? Bukankah kualitas seperti itu hanya dapat dicapai dengan upaya mengubah keadaan kita sendiri karena Allah menentukan dalam Al-Qur’an, “Tidaklah Allah mengubah apa yang ada pada sesuatu kaum, selama mereka tidak mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri?” Bukankah jelas, dengan begitu, pemberantasan kemiskinan adalah kewajiban kita?
Kesemua rentetan “tembakan” argumentasi itu diakui oleh para peserta latihan. Bagaimanapun mereka adalah orang pilihan hasil seleksi cukup ketat. Mereka bukannya tidak tahu adanya masalah kemiskinan, dan cukup banyak di antara mereka yang justru berasal dari keluarga miskin.
Kalau ada yang ingin terbebas dari belenggu kemiskinan, tentulah mereka yang ada di medan latihan itu. Sang peneliti toh sudah punya mobil dan bergaji tinggi. Kemiskinan bagi sang peneliti adalah pengalaman objektif hasil pengamatannya, sedangkan bagi para peserta latihan adalah pengalaman subjektif dari kecil.
Kalau begitu, mengapa mereka “kalap” sewaktu dikemukakan agenda pemberantasan kemiskinan itu? Mengapa sampai-sampai mereka membawa keyakinan agama mereka dalam soal ini?
Masalahnya adalah kenyataan konkret yang mereka hadapi, dan sedikit dimengerti orang luar kalangan beragama itu sendiri: Kalau Al Qur’an menggambarkan hal-hal mulia di atas, ia juga memuat sebuah ayat yang berbunyi “Kami bagi bagikan antara mereka bagian masing-masing dalam kehidupan dunia, dan Kami lebihkan mereka dari sebagian yang lain dalam derajat.”
Begitu juga, Al-Qur’an sendiri yang menyatakan bahwa kebaikan dan keburukan manusia, dus nasibnya, berasal dari Tuhan (khairuhu wa syarruhu minallah); kehidupan berasal dari Tuhan dan bermuara kepada-Nya. Ketentuan takdir ada di tangan Allah, ini adalah rukun keenam dalam ortodoksi Islam; baik yang Muhammadiyah maupun yang NU, baik yang setuju dengan Khomeini ataupun yang tidak.
Pantaslah kalau sang peneliti lalu di’komunis’kan karena ia dianggap melanggar salah satu kepercayaan dasar dalam agama Islam itu sendiri. Dan pantas pula sang peneliti lalu jadi lemas mendengar tuduhan itu karena ia mengemukakan rumusannya itu pun dalam kepercayaan bahwa ia menjalankan keyakinan agamanya.
Begitulah terjadi bentrokan pandangan dalam keyakinan agama yang satu, di dalam meneropong masalah kemiskinan. Betapa strukturalnya masalah kemiskinan itu semakin menjadi nyata bagi kita, untuk menanganinya pun belum ada kesatuan pendapat! Wah, ini patut diseminarkan, kata tukang berseminar-minar (untuk meminjam istilah Astaga almarhum).
Kalau ini terpantul dalam kenyataan lebih besar, yaitu ketegaran pendapat agamawan dalam totalitasnya untuk tidak mau menerima “ideologi pemberantasan kemiskinan”, jelas lebih parah lagi persoalannya. Padahal apa yang terjadi di sebuah forum latihan dengan hanya dua puluh orang peserta itu memang menjadi pemikiran agamawan kaum muslimin di negeri kita. Setidak-tidaknya yang tinggal di pedesaan kita, yang belum pernah ikut-ikutan seminar, belum pernah membaca GBHN dan tetap tidak mengerti asas pemerataan yang dianut pemerintah sekarang, serta tidak akan mengalami nikmatnya ditatar P4.
Jelaslah bagi kita sekarang bahwa tugas seorang intelektual muslim memang berat sekali: ia harus mengubah orientasi sesama agamawan yang sekeyakinan dengan dirinya. Bukan tugasnya untuk ribut-ribut soal pembaruan dari jenis mana dan berlingkup apa.
Kerja di atas berarti kewajiban mengembangkan bahasa komunikasi yang dapat dipakai untuk menghubungi para agamawan itu secara santai dari hati ke hati. Berarti keharusan untuk menyusun agenda dialog yang tidak terlalu tinggi perumusannya, sehingga tidak terjangkau oleh mereka yang berada di pedesaan. Berarti melaksanakan strategi pendekatan yang kira-kira secara santai berbunyi: mbok jangan hanya mempersoalkan perjudian, soal-soal maksiat dan film cabul saja, pak kiai, mbok ya sekali kali Anda berbicara tentang kualitas hidup. Apa namanya agenda kerja seperti ini, kalau bukannya intelektual turun melantai (tanah) ke desa?
Akan terjadi penurunan kadar intelektualitas itu sendiri? Ya, memang ada bahaya ke arah itu, tetapi bukankah kita harus mengambil pilihan yang sulit? Lalu apa gunanya itu segerobak perbendaharaan metodologis yang sekian lama dikembangkan? Disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat tersebut, kalau dapat; disimpan untuk lain kali digunakan, kalau tidak dapat “dirakyatkan.”
Maka terbukalah sebuah cakrawala baru bagi kaum intelektual muslim di negeri kita: menggali kembali perumusan tentang nasib manusia, benarkah ia predeterminatif seperti disangkakan para peserta latihan di Madura itu, ataukah ada jalan keluarnya?
Jelas tidak mungkin diterima free will mutlak bagi manusia, seperti yang melandasi keyakinan bangsa bangsa “modern” sekarang. Akan tetapi harus ada akomodasi terhadap kebutuhan menangani masalah kemiskinan dari pihak agamawan. Soalnya adalah bagaimana mengusahakan akomodasi itu.
Penulis sendiri berpendapat bahwa masalah nasib merupakan hak prerogatif Tuhan, yang tidak melarang adanya ikhtiar manusia. Ketentuan nasib sebagai kata akhir di tangan Tuhan hanyalah dimaksudkan untuk menghilangkan kekecewaan jika seandainya manusia tidak berhasil memperoleh semua apa yang diingininya. Katakanlah alat kejiwaan untuk membuat manusia rela menerima kata akhir itu setelah semua ikhtiar didayagunakan semaksimal mungkin.
Bahwa manusia dapat menentukan jalan hidupnya sendiri, jelas dirumuskan dalam firman Allah “Jangan kau lupakan bagianmu dari (harta) dunia” dan yang sebangsanya. Penemuan jalan kehidupan berarti penundaan jatuhnya nasib hanya pada hal-hal paling dasar saja: mati, hidup, nilai kehidupan dunia ini di akhirat nanti dan hal-hal serupa. Ini berarti kita boleh menangani masalah kemiskinan secara tuntas.
Terlebih lagi, nasib kan lebih tampak pada jalan kehidupan perorangan, sedangkan upaya memberantas kemiskinan adalah kerja kolektif untuk menaikkan taraf hidup masyarakat selaku kelompok manusia. Secara teoretis, ini berarti mungkin saja kemiskinan diberantas dalam suatu masyarakat, dengan masih ada satu dua orang yang hidup dalam kemiskinan. Ini tidak mengurangi kemutlakan kekuasaan Allah, tetapi akomodatif terhadap kebutuhan manusia. Nah, kini masih kita berdialog di sekitar masalah ini.