“Itu Ahlul Fitnah wal Jamaah” (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Setelah kepergiannya ke Israel jadi gunjingan, Gus Dur malah menyatakan siap dicalonkan sebagai Ketua Umum NU.
SEBAGAIMANA biasa. Abdurrahman Wahid cuek saja dengan segala macam tuduhan yang menerpanya, Di sela kesibukannya menghadapi Muktamar NU, ia menyediakan waktu menerima Agus Basri, Bambang Sujatmoko, dan Putut Trihusodo dari GATRA di kantornya, Kamis pekan lalu, untuk wawancara khusus Petikannya:
Masalah apa yang paling penting untuk dibahas NU dalam muktamar nanti?
Masalahnya sekarang adalah bagaimana melaksanakan Khittah. Khittah itu kan sesuatu yang menyeluruh, yang bersisi banyak. Yang bisa dikerjakan baru sebagian, di bidang dakwah dan pendidikan. Itu juga masih tradisional.
Apa manfaat yang terasa setelah sepuluh tahun kembali ke Khittah?
Belum pernah NU kohesif seperti sekarang. Itu luar biasa artinya. Sewaktu kami berpolitik, kohesi NU rawan Berantem terus-terusan. Sekarang relatif tenang. Kiprah kami di kalangan rakyat juga makin nyata.
Sekarang banyak pegawai negeri yang aktif di NU. Apa itu juga buah dari Khittah?
Itu dampak saja. Baru dilaksanakan secara sporadis saja, sudah begitu dampaknya.
Pelaksanaan Khittah selama ini bagaimana?
Namanya uji coba, ya masih banyak kekurangan. Misalnya, Khittah diartikan tak bermain politik, hingga kesadaran politik kurang diperhatikan. Seharusnya, tak begitu Soal politik tetap diperhatikan, tapi tidak ikut percaturan politik.
Tapi, waktu Muktamar PPP lalu kok masih ada warga NU yang terjun dengan membawa bendera NU?
Itu yang namanya ngawur-ngawuran.
Gus Dur kan ikut juga dengan mendukung pencalonan Matori Abdul Djalil menjadi Ketua Umum PPP?
Ah, nggak juga. Itu koran saja yang bikin-bikin. Saya cukup bijaksana untuk tahu di sana ada sekian calon.
Ketika memutuskan kembali ke Khittah, NU lalu mencanangkan program sosiokultural, religi, dan ekonomi. Apa hasilnya?
Ya baru itu tadi, di bidang dakwah dan pendidikan. Di bidang pendidikan, setelah Khittah jumlah sekolah meningkat drastis. Sekarang ada 21 ribu sekolah di seluruh Indonesia yang dikelola warga NU Selain itu, ada ribuan masjid dan majelis taklim NU yang muncul sesudah Khittah.
Apa kualitasnya juga meningkat?
Secara umum ada, tapi belum memuaskan.
Tapi, kayaknya, pengembangan di bidang ekonomi kok kurang berhasil. Mengapa?
Di bidang ekonomi juga sudah mulai. sudah ada Bank Perkreditan Rakyat. Cuma belum memuaskan, karena masih tahap awal saja. Kendalanya memang banyak. Selain masalah manpower, juga ada kendala dari luar yang tak menguntungkan NU. Misalnya, adanya kebijakan uang ketat. Orang yang tak ingin NU sukses juga banyak, dan mereka mengambil langkah yang menyulitkan NU.
Tapi, di sisi lain, banyak juga capaian-capaian yang kongkret. Jangan lihat organisasinya saja, tapi lihat juga orang NU. Penerima Kalpataru dan Upakarti dalam 10 tahun ini hampir 60% orang NU. Misalnya. Haji Kusnun, tukang cor besi dari Klaten, dia itu bendahara NU Cabang Klaten.
Program BPR Nusumma juga kelihatan lambat. Dulu dicanangkan pendirian 2000 BPR, tapi sampai sekarang baru 12 BPR yang terbentuk?
Pendirian 2000 BPR itu kan target untuk tahun 2010. Kalau start-nya lambat, itu biasa. Nanti belakangan baru war wer.
Tapi, apa target itu bisa tercapai?
Bisa. Teorinya, pada akhir 1996, kita akan memiliki 50 BPR. Begitu BPR mencapai 50, ada sebuah lembaga keuangan di luar negeri yang akan membuat bank umum antara Nusumma Utama dan mereka. Patungan ini akan ditekankan pada penyediaan dana segar untuk pendirian 100 BPR tiap tahun. Jika program stu jalan, tahun 2010 paling tidak berdiri 1.400 BPR. Jadi, kalau meleset, juga tak terlalu jauh.
Soal program membangun pabrik tapioka di Lampung, pabrik dan penanaman nenas di Jawa Barat, dan banyak lagi lainnya. Itu semua gagal karena soal sumber daya manusia atau apa?
Ya macam-macam. Yang bikin juga nggak kira-kira. Nggak punya kemampuan, maunya banyak. Tapi ada juga pengaruh faktor luar.
Selama ini tampaknya terjadi dualisme kepemimpinan antara Syuriah dan Tanfidziah?
Memang terjadi begitu. Karena Ketua Umum Tanfidziah juga dipilih muktamar, sehingga dalam soal ketokohan sering terjadi seorang Ketua Umum Tanfidziah terlalu menonjol. Contohnya, ketika Pak Idham Chalid menjadi Ketua Umum Tanfidziah, ketokohannya begitu menonjol. Kita tak inginkan hal seperti itu terjadi lagi.
Masalahnya ada pada sistem atau pada figur?
Sistem yang ada membuat figurnya makin kokoh. Karena itu, saya usulkan supaya jabatan Ketua Umum Tanfidziah dihapuskan dan diganti Ketua saja. Muktamar cukup memilih Rois Am dan Wakil Rois Am, sedang Ketua Tanfidziah ditunjuk oleh Rois Am dan wakilnya saja.
Mengapa usul itu ditolak dalam perumusan materi muktamar?
Karena cabang-cabang ketakutan Rois Am nanti menunjuk Ketua Tanfidziah yang kurang kuat. Kalau Syuriah letoy (loyo) lalu pengurus Tanfidzıahnya juga letoy, kan repot. Itu yang dikatakan utusan cabang-cabang pada saya.
Sekarang saya tinggal ambil satu dari dua jalan. Saya bersedia dipilih kembali atau tidak Kalau usulan saya itu diterima, saya rencananya tak mau dipilih lagi. Saya akan aktif di Syuriah. Tapi karena jabatan itu tidak dihilangkan, saya lalu bersedia dicalonkan lagi. Mengapa? Karena alternatifnya jelek sekali. Kawan-kawan takut jabatan Ketua Umum ini jatuh ke tangan politikus.
Tapi Gus Dur sendiri dulu bilang, jadi ketua cukup dua kali?
Saya memang inginnya dua kali, dengan syarat kalau jabatan ketua umumnya (Tanfidziah) hilang, dan ketua dipilih oleh Rois Am.
Mengapa cabang-cabang khawatir untuk menerima usul Anda?
Terus terang saja, kekhawatiran itu muncul karena sekarang ini Pak Idham Chalid termasuk calon kuat untuk Rois Am. Cabang-cabang khawatir kalau Pak Idham terpilih, beliau akan memilih politikus jadi Ketua Umum Tanfidziah. Itu anggapan daerah. Sebab, Pak Idham selama ini cenderung memilih orang-orang politik. Dengan ditiupkannya isu Pak Idham sebagai calon Rois Am, orang malah ketakutan.
Masak Pak Idham tampil, dia kan sudah uzur?
Saya nggak tahu. Itukan suara-suara dari cabang.
Memangnya mengapa kalau NU dipimpin politikus?
Bisa rusak lagi. Pengertian orang-orang cabang, nanti NU asyik berpolitik lagi.
Menurut Anda sendiri bagaimana?
Lebih jelek lagi. Akan terjadi langkah identifikasi kepentingan sendiri dianggap kepentingan NU. Khittah bisa bubar.
Ada yang berpendapat, NU justru perlu dipimpin oleh politikus, supaya bisa menghindar dari jebakan-jebakan politik?
Ah, mereka bisa apa sih. Politikus NU itu tak ada yang kelas satu kok — gombal kabeh.
Tapi Gus Dur sendiri kan juga suka berpolitik?
Politik yang saya jalankan kan lain, bukan politik praktis, melainkan politik untuk kepentingan jangka panjang bangsa. Menentang ekstremisme dan menegakkan demokrasi. Yang bilang saya berpolitik praktis artinya dia tak mengerti nilai demokrasi dan perjuangan. Lha wong itu politik paling tidak praktis di dunia kok.
Dari angket yang kami sebarkan, mayoritas responden percaya Anda bisa tampil memimpin NU lagi. Hasil monitoring Anda sendiri bagaimana?
Saya tidak tahu. Lha wong saya ini tadinya sudah siap untuk mundur kok. Tapi kalau dicalonkan, saya yakin menang.
Kok kelihatannya dari NU cuma nama Anda saja yang sering tampil. Apa tidak ada lagi kader NU yang bisa tampil?
Itu katanya orang saja. NU segerobak kadernya, cuma belum muncul saja. Lihat saja nanti. Termasuk kader ulama. Kalau Pak Munawir (maksudnya Munawir Syadzali, bekas Menteri Agama) bilang ada krisis ulama, Di NU tak ada krisis ulama, yang ada krisis mendamaikan ulama. (Gus Dur kembali tertawa). Saking banyaknya, jadi bertengkar terus. Tapi bertengkarnya dalam hal berpendapat dan pemikiran lho.
Tapi kok nama Pak Idham muncul lagi, apa itu bukan indikasi krisis kader ulama?
Dia itu dimunculkan. Oleh mereka yang punya ambisi, Pak Idham dimainkan sebagai kartu.
Sebagai aktivis demokrasi, seringkali Anda mengritik beleid Pemerintah. Apa ini tak berdampak negatif buat jamiyah NU?
Tidak. Sebab, Pemerintah juga bisa membedakan bahwa itu pendapat pribadi.
Ada yang menilai, Gus Dur sekarang sudah menjadi oposisi?
Itu pendapat bodoh banget. Kapan sih saya terlibat demonstrasi, terlibat macem-macem, atau bikin statement yang aneh-aneh. Statement saya kan dasar-dasar saja. Saya tak merasa menjadi oposan. Saya cuma ingin agar pemerintah terkontrol.
Tapi dulu Anda kan dipanggil Menteri Dalam Negeri Rudini akibat ikut koperensi INGI di Brussel?
Ah saya tak ikut dipanggil.
Anda sendiri ikut menandatangani resolusi INGI itu?
Ya itu kan karya orang banyak, kami cuma ikut-ikutan teken.
Hubungan Anda dengan Pemerintah baik?
Ya kadang-kadang nggak enak juga.
Soal kunjungan Anda ke Israel, apakah itu tak merugikan NU?
Saya kan pergi atas nama pribadi. Katakanlah sebagai pakar.
Kabarnya Anda sudah delapan kali ke Yerusalem?
Ya dulu sebelum dijajah Israel. Saya bolak-balik mengunjungi Masjidil Aqsa. Tapi sebelum 1967, ketika Tepi Barat masih dibawah Yordania. Sesudah di bawah Israel, ya baru kemarin itu.
Tapi ada yang bilang, sebelum ini Anda pernah ke Israel bersama Liem Bhian Koen (Sofyan Wanandi) dan Benny Moerdani?
Ah nggak pernah, saya tak pernah pergi sama Liem Bhian Koen. Itu fitnah dari Ahlul Fitnah wal Jamaah.
Lalu mengapa Anda mengusulkan agar Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel?
Saya tak mengusulkan, tapi minta dipikirkan serius. Kita harus dewasa. Yang bertengkar sudah selesai kok kita masih segala macam. Boikotlah, segala macamlah.
Tapi umat kan masih banyak yang belum bersedia berdamai dengan Israel?
Orang mimpin itu tak boleh mengikuti yang dipimpin. Yang dipimpin yang mengikuti. Kok kebalik.
Hasil poll yang kami lakukan, mayoritas responden tak setuju kepergian Anda ke Israel?
Poll itu tergantung kemampuan melaksanakannya. Belum tentu akurat.
Dalam poll ini, mayoritas responden menilai Anda cukup akseptabel sebagai tokoh nasional, komentar Anda?
Tidak ada, orang belum tentu tepat kok. Poll di Indonesia itu tak punya validitas, Mengapa? Karena teknik polling itu sendiri belum benar. Ambil sampel saja belum tepat. Di negara lain sudah terstandar, di kita kan belum standar.
Tapi banyak juga yang menganggap Anda Islam fundamentalis?
Itu kan tuduhan sejak dulu. Saya dituduh agen CIA, KGB, Partai Baath, Zionis, sekularis, ha…ha…ha….. Ah saya tak pernah meladeni.