Jawaban Presiden Atas Memorandum DPR
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Assalamu Alaikum Wr.Wb.
Saudara Pimpinan dan Seluruh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Saudara Hadlirin dan Hadlirat yang Berbahagia.
Marilah kita haturkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan barakahNya sehingga pada hari yang berbahagia ini kita dapat menghadiri Sidang DPR yang mulia ini untuk mendengarkan jawaban Presiden Republik Indonesia atas Memorandum I DPR RI yang dikeluarkan pada tanggal 1 Februari 2001. Perkenankan pula dalam kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih atas kesediaan DPR menyelenggarakan Sidang yang terhormat ini untuk mendengarkan jawaban saya selaku Presiden atas Memorandum DPR yang dikeluarkan pada tanggal 1 Februari 2001.
Selaku Presiden Republik Indonesia saya akan menggunakan hak konstitusional saya melalui forum yang terhormat ini untuk memberikan jawaban atas Memorandum DPR tersebut yang saya pandang mengandung hal-hal yang tidak obyektif berdasarkan ukuran-ukuran konstitusi. Saya memandang bahwa isi memorandum DPR tersebut mengandung hal-hal yang kurang logis yang tidak memenuhi syarat konstitusi untuk bisa diterima oleh Presiden. Saya akan mengemukakan alasan saya tentang penolakan saya atas isi Memorandum tersebut dengan sepenuhnya berpedoman pada konstitusi terutama pada Tap MPR yang mengatur tentang tata cara menjatuhkan Memorandum.
Bagi saya jawaban ini penting bukan saja untuk menjaga kehormatan dari tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar, atau dari pencampuradukan antara fakta dan sangkaan, melainkan juga untuk mendidik kita dan masyarakat kita untuk hidup bernegara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, hukum, dan keadilan. Oleh sebab itu pada awal jawaban ini saya mengajak kita semua untuk bersikap proporsional dalam menempatkan masalah ke dalam bingkai konstitusi dengan berpikir jernih dan obyektif, bukan bersikap emosional dalam menciptakan memorandum yang kurang kuat dasarnya seperti yang diperhadapkan kepada saya ini. Meskipun pada umumnya ketentuan konstitusi dan aturan hukum itu dapat ditafsirkan secara berbeda tetapi dalam masalah Memorandum telah ada kriterianya yang jelas sebagaimana dimuat di dalam Tap MPR No III/MPR/1978.
Para Pimpinan dan Anggota DPR yang Berbahagia. Dengan memberi jawaban atas Memorandum yang dikeluarkan pada tanggal 1 Februari berarti saya selaku Presiden menerima Memorandum sebagai kenyataan politik yang tidak dapat dihindarkan. Ini perlu saya tegaskan karena sebelum lahirnya Memorandum tersebut saya mengatakan bahwa Pansus yang menjadi instrumen penting bagi lahirnya Memorandum ini adalah ilegal, setidak-tidaknya masih dipermasalahkan status hukumnya karena seyogianya Pansus tersebut didaftarkan di dalam Berita Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan UU No 6 Tahun 1954. Menurut pasal 2 ayat (1) UU No 6 Tahun 1954 “putusan pembentukan Pansus diumumkan dengan resmi dalam Berita Negara, sesuai dengan risalah DPR yang bersangkutan”. Oleh karena itu saya melihat bahwa secara prosedural terjadi pelanggaran atas pembentukannya. Pansus ini pendaftarannya bersifat back date atau dilakukan setelah Pansus cukup lama bekerja yaitu Pansus dibentuk tanggal 5 September 2000.
Tetapi meskipun pendapat saya ini disetujui oleh banyak ahli hukum, namun saya tidak menutup mata bahwa pendapat saya bukanlah pendapat satu-satunya, sebab kenyataannya beberapa ahli hukum lainnya menganggap bahwa Pansus tersebut legal; lagi pula diperkuat dengan kenyataan bahwa produk perundangan pun diproses di dalam Pansus seperti Pansus yang menciptakan Memorandum tersebut.
Dalam keadaan masih adanya perbedaan pandangan tentang Pansus yang menciptakan Memorandum inilah dengan lapang dada saya menjawab memorandum tersebut karena saya dengan tulus ikhlas ingin melihat agar masalah yang kita hadapi ini dapat diselesaikan sebaik-baiknya dengan penuh kekeluargaan dengan tetap mencari kebenaran.
Saudara Pimpinan dan Anggota DPR yang berbahagia.
Di dalam keputusan Paripurna DPR-RI ke 36 tanggal 1 Februari 2001 disebutkan bahwa DPR menyetujui dan menerima hasil kerja Pansus yang menyelidiki kasus dana milik Yanatera Bulog dan Dana Bantuan Sultan Brunei Darussalam kepada Presiden K.H. Abdurrahman Wahid; dan untuk itu DPR menindaklanjuti berdasarkan pasal 7 Tap MPR No III/ MPR/1978 dengan mengingatkan (menyampaikan memorandum) bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yaitu:
1) Melanggar UUD 1945 pasal 9 tentang Sumpah Jabatan.
2) Melanggar Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Menanggapi Memorandum yang secara formal telah saya terima dari DPR melalui surat No KD 02/495/DPR RI/2001 (tanggal 2 Pebruari 2001) perkenankan saya dengan disertai permintaan maaf menyampaikan jawaban “tidak menerima” isi Memorandum tersebut karena menurut hemat saya tidak memenuhi alasan konstitusional seperti dapat saya kemukakan berikut ini:
1. Tindak lanjut dari penerimaan atas laporan Pansus tersebut adalah tidak proporsional dan bertentangan dengan Tap MPR No III/ MPR/1978 sebab Pansus sendiri di dalam laporannya hanya menyebutkan bahwa:
- Dalam kasus dana Yanatera Bulog “Patut Diduga Bahwa Presiden Abdurrahman Wahid Berperan dalam Pencairan dan Penggunaan Dana Yanatera Bulog”.
- Dalam kasus dana bantuan Sultan Adanya Inkonsistensi Pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid tentang Masalah Bantuan Sultan Brunei Darussalam, Menunjukkan Bahwa Presiden Telah Menyampaikan Keterangan yang Tidak Sebenarnya Kepada Masyarakat.
2. Laporan Pansus itu sendiri saya pandang kurang obyektif juga tidak mengakomodasi semua keterangan yang meringankan Presiden. Padahal sekiranya laporan Pansus itu pun dianggap benar seluruhnya maka sesungguhnya tidak ada alasan yang cukup untuk dikeluarkannya Memorandum. Mengapa? Sebab untuk mengeluarkan sebuah Memorandum harus didasari adanya fakta “sunguh melanggar haluan negara”. Sedangkan hal demikian tidaklah terjadi. Perkenankan saya memberi alasan-alasan lebih lanjut di bawah ini.
Persyaratan Memorandum
Sejauh menyangkut dikeluarkannya Memorandum hendaklah diingat bahwa pedomannya sudah jelas yakni Tap MPR No III/MPR/1978. Di dalam Tap MPR tersebut disebutkan bahwa Memorandum sebagai peringatan kepada Presiden dapat dikeluarkan hanya jika ternyata Presiden “sungguh melanggar haluan negara”. Bukti bahwa Presiden “sungguh” melanggar haluan negara tersebut mutlak diperlukan dan menjadi syarat atau pembenaran dikeluarkannya Memorandum. Dalam kasus dana Yanatera Bulog sudah jelas disebutkan di dalam laporan Pansus bahwa “Presiden Patut Diduga Berperan”, tetapi sama sekali tidak ditemukan bukti bahwa Presiden “sungguh” berperan seperti yang dituduhkan sehingga sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Apakah seseorang yang setelah diselidiki secara mendalam yang kesimpulannya “patut diduga” dapat begitu saja dibelokkan menjadi “sungguh berperan” sehingga dapat dikatakan sungguh-sungguh melanggar haluan negara? Loncatan kesimpulan seperti itu menimbulkan pertanyaan tentang logika dan rasa keadilan yang dijadikan dasar dari Memorandum tersebut.
Adapun dalam kasus Bantuan Sultan Brunei yang di dalam laporan Pansus disebutkan bahwa “Presiden telah menyampaikan keterangan yang tidak benar kepada masyarakat” saya juga mempertanyakan relevansinya dengan dikeluarkannya Memorandum. Kesimpulan yang seperti ini sangat sulit dipahami karena justru sayalah yang memberitahu kepada masyarakat bahwa saya memiliki dana bantuan dari Sultan Brunei yang akan saya gunakan untuk dana kemanusiaan di Aceh. Kata “saya memiliki” di sini tidak harus berarti saya menerima langsung dari Sultan Brunei, karena yang terjadi ialah saya secara pribadi menerima penyerahan dari seseorang yang menerima langsung dari Sultan. Jika saya tidak menginformasikan kepada masyarakat maka dana yang bersifat pribadi itu pun tidak akan pernah diketahui oleh masyarakat. Saya memberitahukan kepada masyarakat karena memang tidak ada niat saya untuk memanfaatkan uang itu untuk kepentingan saya sendiri. Dalam kaitan ini perlu saya tegaskan bahwa dana bantuan dari Sultan Brunei itu merupakan dana bantuan keluarga Sultan yang diusahakan oleh Sdr. Ario Wowor karena punya hubungan dengan salah seorang kerabat dan pengurus kekayaan Sultan. Ketika pada suatu hari Sdr. Ario Wowor mengatakan bahwa Sultan Brunei mempunyai dana zakat yang dapat digunakan untuk membantu penanganan berbagai krisis saya memintanya untuk meminta bagian dana tersebut kepada Sdr. H. Masnuh tanpa menggunakan simbol-simbol kepresidenan. Secara pribadi saya meminta mereka juga secara pribadi mengusahakan bagian itu ke Brunei. Bagi saya akan kurang baik rasanya jika permintaan bantuan itu menggunakan lembaga kepresidenan.
Setelah dana diperoleh saya meminta H. Masnuh untuk menerima, menyimpan, dan menyalurkannya tanpa melibatkan administrasi kepresidenan karena sifatnya, menurut saya lebih pribadi. Jadi pengusahaan dan pengelolaan dana tersebut memang tidak ada kaitannya dengan institusi kepresidenan. Saya sendiri tidak perlu mengetahui dan mengikuti terus penyaluran dana tersebut untuk setiap pengeluaran karena dana itu lebih bersifat pribadi, tetapi jika ada permintaan bantuan kadangkala Saya meminta H. Masnuh untuk memenuhinya.
Itulah sebabnya keterangan-keterangan mengenai jumlah pengeluaran dana itu dari waktu ke waktu tampak tidak konsisten karena memang tidak dikeluarkan langsung dari saya. Keterangan ini sama sekali tidak mengurangi kebenaran jawaban saya yang disampaikan pada Sidang Tahunan bulan Agustus 2000 bahwa dana tersebut disalurkan kepada LSM-LSM bukan oleh lembaga kepresidenan melainkan oleh H. Masnuh. Soal jenis dana tersebut tidak menjadi soal, apakah namanya zakat (seperti dikatakan oleh Sdr. Ario Wowor), infaq, sadaqah, bantuan, atau apa pun juga tidaklah terlalu penting. Adanya surat dari Partai Perpaduan Kebangsaan Brunei kepada Ketua DPR bahwa dana tersebut bukanlah dana zakat sama sekali tidak mengurangi kebenaran keterangan saya, bahkan memperkuat, karena surat tersebut mengakui bahwa memang ada dana bantuan yang sifatnya pribadi. Yang penting adanya kenyataan bahwa ada dana pribadi Sultan melalui pribadi Ario Wowor yang kemudian dikelola oleh H. Masnuh dan saya mengetahuinya karena Sdr. Ario Wowor meminta saya yang mendistribusikannya. Pengelolaan dana yang tidak didahului hubungan antara saya dengan Sultan Brunei sebagai Pejabat Publik itu tentu bukan dana publik, sehingga kalau saya mau bisa saja saya tidak memberitahu siapa pun.
Jadi jika ditanyakan mengapa uang tersebut tidak dimasukkan sebagai pemasukan negara maka perlu saya tegaskan lagi bahwa bantuan itu diberikan secara pribadi kepada atau melalui Sdr. Ario Wowor yang kemudian Ario Wowor meminta saya untuk menyalurkannya, sedangkan saya sendiri kemudian meminta H. Masnuh untuk mendistribusikannya. Seperti disampaikan oleh Prof. Arifin Soeria Atmadja maka bantuan yang diberikan dalam kedudukan saya sebagai pribadi tidak terikat pada hukum publik, apalagi dana itu tidak diberikan kepada saya melainkan kepada Sdr. Ario Wowor yang kemudian meminta saya menyalurkannya. Sdr. Ario Wowor menyatakan bahwa dirinya percaya kepada saya untuk menyalurkan dana itu karena saya adalah Kiai. Tetapi yang terpenting inkonsistensi keterangan itu, jika memang ada, sama sekali tidak merugikan pihak mana pun karena selain tidak ada uang yang digelapkan uang tersebut juga bukan merupakan uang negara. Saya sendiri sama sekali tidak pernah memanfaatkan sepeser pun uang tersebut meskipun, kalau mau, saya bisa menggunakan. Sebuah upaya penelusuran semacam audit jika akan dilakukan sampai sekarang ini masih terbuka lebar. Itulah juga sebabnya saya tidak mengadministrasikannya secara ketat menurut prosedur administrasi negara yang berlaku. Kalau toh hal ini dianggap sebagai suatu kekeliruan, adalah disebabkan karena saya berpendapat bahwa dana itu bukanlah dana negara, melainkan dana dari pribadi kepada pribadi. Dan seperti saya katakan tadi, sekarang pun masih terbuka kemungkinan bagi uang itu untuk diaudit, tetapi tidak dalam kerangka administrasi negara melainkan pemeriksaan atas catatan pribadi Sdr. H. Masnuh untuk memberi keyakinan tentang kebenaran materialnya.
Laporan Pansus
Seperti dikemukakan tadi, sebagai kenyataan politik adanya Memorandum tidak dapat dihindarkan dan Saya harus menjawabnya. Soal kontroversi legalitas Pansus biarlah terus dikaji oleh para pakar konstitusi dan hukum untuk keperluan perbaikan ke masa depan. Pada saat ini selaku Presiden saya harus memberikan jawaban dengan menerima kenyataan bahwa Memorandum itu adalah produk politik dalam rangka pengawasan DPR kepada Presiden. Oleh sebab itu jawaban saya pada kesempatan ini bukan lagi soal legal atau tidaknya Pansus melainkan pada proses dan hasil kerja Pansus itu sendiri.
Di luar soal substansi saya melihat bahwa dari sudut prosedur Pansus telah melakukan sesuatu di luar batas kewenangan yang ditentukan. Seperti diketahui bahwa Pansus dibentuk untuk melakukan “penyelidikan” yang secara definitif diartikan sebagai “serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pansus untuk mengumpulkan segala fakta dan dokumen yang berkaitan dengan kasus Bulog dan Brunei Darussalam dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan DPR-RI”. Di dalam kenyataannya Pansus bukan hanya mengumpulkan fakta (informasi yang telah diverifikasi) tetapi juga mengumpulkan informasi (keterangan yang masih harus diverifikasi) dan membuat interpretasi. Dari sudut prosedur ini tampak jelas bahwa pengajuan hak angket yang berujung pada lahirnya Memorandum telah terjadi pelanggaran prosedural termasuk terhadap Tata Tertib DPR sendiri yakni pasal 156 dan pasal 157.
Pasal 156 Tata Tertib DPR berbunyi: (1) Panitia Khusus memberikan laporan tertulis secara berkala sekurang-kurangnya sekali sebulan kepada pimpinan DPR, dan laporan tersebut dibagikan kepada anggota dan disampaikan kepada Presiden; (2) Atas usul sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) anggota, laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibicarakan dalam rapat paripurna, kecuali apabila Badan Musyawarah menentukan lain. Ketentuan pasal 156 ini sampai berakhirnya masa kerja Pansus tidak pernah dilak sanakan sehingga terjadi pelanggaran prosedural. Selanjutnya pasal 157 menentukan bahwa “Setelah selesai dengan pekerjaannya, Pansus memberikan laporan tertulis kepada DPR dan laporan tersebut dibagikan kepada anggota dan dibicarakan dalam rapat paripurna untuk diambil keputusan akhir, kecuali apabila rapat paripurna itu menentukan lain. Pelanggaran terjadi karena sampai Sidang Paripurna tanggal 29 Januari 2001 Pansus belum menyampaikan laporan tertulis kepada DPR.
Dari cara mengumpulkan dan menyajikan informasi-informasi juga tampak ketidakseimbangan karena terkesan kuat bahwa Pansus telah mengarahkan agar hasilnya “presiden bersalah”. Kalau mau jujur inilah sebabnya saya bersikap kurang kooperatif dengan Pansus. Saksi ahli Prof. Harun Alrasid tidak didengar pendapat dan keterangannya meskipun telah diusulkan, sedangkan kesaksian Prof. Arifin Soeriatmadja (seorang doktor dan guru besar dalam bidang hukum keuangan negara) tidak diakomodasi sebagaimana mestinya bahkan, seperti diungkap di dalam Buku Putih PKB, di antara anggota Pansus ada yang menyatakan keraguannya atas keprofesoran Prof. Arifin Soeriatmadja dan Pansus telah salah memilihnya sebagai saksi ahli. Beliau mengatakan bahwa Presiden dapat menerima bantuan baik secara pribadi maupun secara kedinasan. Jika bantuan itu bersifat pribadi maka tidak perlu tunduk pada hukum publik, tetapi jika bantuan itu bersifat kedinasan maka Presiden harus tunduk pada hukum publik. Sdr. Ario Wowor yang merupakan saksi kunci dan penerima langsung bantuan Sultan Brunei tersebut belum pernah didengar keterangannya sampai berakhirnya pekerjaan Pansus. Padahal seyogianya perlu didengar keterangannya karena dialah yang bersama H. Masnuh yang menerima uang tersebut dari Brunei. Keterangan Sdr. Alwi Shihab yang pernah menelepon Sdr. Jusuf Kalla yang menanyakan tentang dana Bulog itu oleh Pansus dikesankan seolah-olah pertanyaan Sdr. Alwi Shihab erat kaitannya dengan keterlibatan yang disangkakan terhadap Presiden dalam kasus itu adalah persangkaan yang dilebih-lebihkan. Sebab pertanyaan Sdr. Alwi Shihab itu adalah pertanyaan biasa yang timbul dari inisiatif Sdr. Alwi Shihab sendiri untuk mengecek kebenaran beredarnya isu yang oleh masyarakat dianggap bermasalah.
Pimpinan dan Anggota DPR yang terhormat.
Berdasarkan hal-hal tersebut sulit dihindari munculnya kesan bahwa keluarnya Memorandum tersebut lebih merupakan ekspresi ketidaksukaan kepada Presiden atau lebih merupakan produk dari keinginan untuk menjatuhkan Presiden yang alasan-alasannya dipaksakan meskipun tidak memenuhi syarat konstitusional yakni syarat “sungguh melanggar haluan negara”. Dalam hal ini saya melihat bahwa Memorandum tersebut sama sekali tidak berpijak pada prinsip keadilan karena tidak memposisikan kasus secara proporsional menurut konstitusi kita.
Saya menyadari bahwa mungkin saja kesimpulan ini didorong oleh sikap-sikap saya yang dianggap tidak kooperatif karena sikap saya terhadap Pansus. Tetapi sebenarnyalah saya sendiri tidak keberatan sama sekali, bahkan sangat senang, jika DPR dapat meningkatkan perannya sebagai lembaga perwakilan rakyat sehingga menjadi lebih kuat dan berani melakukan kontrol secara lugas terhadap Presiden. Selama puluhan tahun sebelum era reformasi kita telah kehilangan DPR yang kuat sehingga pada saat ini kita harus berani membangun DPR agar menjadi kuat dalam melaksanakan tugas-tugasnya melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Upaya membangun kehidupan bernegara yang demokratis memang harus diikuti dengan pembangunan DPR yang kuat agar pemerintah tidak menjadi korup dan sewenang-wenang. Tetapi upaya membangun DPR yang kuat itu, tentulah tidak dimaksudkan agar Presiden harus menjadi lemah, sebab yang kita inginkan adalah terbangunnya hubungan yang sama kuat dan seimbang antara DPR dan Pemerintah sehingga pengawasan terhadap pemerintah oleh DPR dapat berjalan dengan efektif. Oleh karena itu setiap proses dan penyelesaian kasus-kasus politik yang terjadi antara DPR dan pemerintah hendaklah diletakkan pada proporsinya yang benar dan adil, karena sesungguhnya sistem politik demokratis yang akan kita bangun adalah dimaksudkan untuk memberi jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan.
Dari sudut agama saya ingin mengingatkan kita agar ketidaksenangan kita terhadap seseorang atau suatu kaum jangan sampai menyebabkan kita berlaku tidak adil dalam memutuskan sesuatu, sebab hal itu dilarang oleh Allah SWT seperti yang ditegaskan di dalam Al Quran Surat al Maaidah ayat (8) yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat pada taqwa.
Dalam pandangan saya keluarnya Memorandum yang tidak sesuai dengan tuntutan konstitusi itu lebih didorong oleh adanya keinginan untuk menjatuhkan Presiden yang dapat dirasakan sebagai sikap yang tidak adil karena DPR telah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. DPR telah memposisikan sesuatu kasus dan membuat keputusan dengan alasan yang tidak sesuai dengan hukum. Dalam kaitan ini saya ingin mengutip seorang pakar hukum yang integritasnya tidak diragukan, yakni Prof. Satjipto Rahardjo, ketika mengatakan bahwa Memorandum yang ada sekarang ini bukan lagi dijadikan alat untuk mengingatkan Presiden melainkan telah dijadikan alat untuk mengadili Presiden sebagai akibat dari atmosfer politik hostile (bermusuhan). Dalam seminar hukum nasional (tanggal 28 Pebruari 2001) yang bertema Pengembangan Wacana Supremasi Hukum, Memorandum DPR, dan SI MPR Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa Memorandum I telah berubah menjadi sebuah penghakiman dan penghukuman, sebuah vonis (final judgement) politik terhadap Presiden. Makna dasar memorandum yang berarti peringatan telah buyar oleh karena sosialitasnya telah dipengaruhi oleh atmosfer permusuhan dan kemarahan (hostile). Padahal makna otentik sebuah memorandum adalah keputusan politik yang berisi butir-butir pernyataan yang mengingatkan Presiden tentang hal-hal yang masih harus ia lakukan atau sempurnakan. Penyimpangan itu tentu bertentangan dengan prinsip keadilan yang menghendaki agar kita mampu “meletakkan sesuatu pada tempatnya” sesuai dengan ukuran-ukuran hukum yang jelas. Bagi saya upaya meletakkan sesuatu secara tidak adil merupakan perbuatan yang bertentangan dengan reformasi dan demokratisasi sekaligus mengundang persoalan baru yang lebih besar.
Dalam kaitan ini pulalah saya ingin mengingatkan kita bahwa setiap upaya ketidakbenaran dan keberpalingan dari kebenaran akan mengundang lahirnya siksa dari Allah sebagaimana disebutkan di dalam Quran Surat Thahaa ayat (48) yang berbunyi:
Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (akan ditimpakan) atas orang-orang yang berdusta dan berpaling (dari kebenaran).
Adalah bukan mustahil bahwa mungkin sikap DPR yang disesalkan itu lahir sebagai imbangan atas sikap-sikap Saya yang dianggap tidak kooperatif terhadap Pansus karena pandangan Saya tentang illegalitas Pansus dari sudut hukum. Oleh sebab itu harus Saya akui bahwa dalil-dalil tentang keadilan dan ancaman bagi siapa yang berpaling dari kebenaran dan keadilan harus dipandang berlaku bagi siapa pun, bagi DPR maupun bagi saya sendiri. Kini saatnya kita menahan diri dan meletakkan kasus ini pada proporsinya yang benar. Kita harus dapat belajar dari pengalaman ini untuk memantapkan proses pendewasaan kehidupan bernegara kita secara demokratis.
Oleh sebab itu melalui forum yang terhormat ini saya mengajak kita untuk meletakkan kasus Bulog dan Brunei ini pada proporsinya yang tepat agar mencerminkan keadilan dan tidak mengundang adzab yang bentuknya bisa bermacam-macam mulai dari gangguan terhadap keakraban alam sampai pada tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. Kita harus sama-sama melakukan introspeksi atas sikap-sikap emosional yang mendorong meletakkan posisi suatu kasus secara tidak proporsional dan tidak adil. Dalam hubungan ini perlu juga kiranya saya tegaskan di sini bahwa jika saya mau mencari keuntungan pribadi dari dana yang terkait dengan kasus ini tentu tidak sulit bagi saya (yang kebetulan adalah seorang Presiden) untuk memanfaatkannya. Saya bisa langsung menggunakannya tanpa memberitahu kepada siapa pun namun hal demikian tidak saya lakukan karena sejak semula tidak terlintas sedikitpun di benak saya untuk ingin memanfaatkan dana itu guna kepentingan pribadi saya.
Sebagai Presiden yang bertugas menjaga tegaknya konstitusi saya sama sekali tidak keberatan untuk dikritik dan diberi Memorandum bahkan kalau perlu diberhentikan (atau diminta mundur) dari jabatan Presiden asalkan kriteria dan segala prosedur konstitusionalnya terpenuhi yakni telah sungguh melanggar haluan negara atau nyata-nyata bersalah, tetapi bukan hanya disangka, “patut diduga”. Namun saya merasakan bahwa Memorandum untuk kasus Bulog dan Brunei sebagai sesuatu yang kurang adil karena syarat yang ditentukan oleh Tap MPR No III/ MPR/1978 yaitu “sungguh melanggar haluan negara” tidaklah terpenuhi. Lebih dari itu kesimpulan Pansus bahwa Presiden “patut diduga” berperan dalam pencairan dana Yanatera Bulog adalah produk yang melampaui batas wewenang dan tidak secara fair dan komprehensif memuat keterangan saksi-saksi.
Begitu juga kesimpulan bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan yang tidak benar kepada masyarakat dalam kasus bantuan Sultan Brunei sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk dikeluarkannya Memorandum karena sekiranya memang ada ketidakjelasan keterangan tersebut bukanlah disengaja untuk menyembunyikan sesuatu, lebih-lebih jika dilihat bahwa bantuan dana Sultan Brunei tersebut bukanlah bantuan untuk negara melainkan zakat, infaq, bantuan (atau apa pun namanya) dari keluarga Sultan Brunei yang diserahkan secara pribadi melalui pribadi Sdr. Ario Wowor dan Sdr. H. Masnuh seperti yang saya sebutkan dimuka. Dalam keterangan spontan saya mengatakan bahwa saya mempunyai dana bantuan dari Sultan Brunei Darussalam. Dalam kenyataannya secara pribadi saya tidak pernah menggunakan uang tersebut, bahkan secara jujur harus saya katakan bahwa saya tidak tahu persis berapa yang telah disalurkan dan berapa pula sisanya.
Mengapa Saya tidak tahu persis?
Karena memang bukan kewajiban Saya untuk tahu dan melaporkan zakat pribadi yang disalurkan secara pribadi pula. Saya memang menunjuk (tepatnya memberi referensi) tentang LSM-LSM yang layak diberi bantuan pada saat ada yang datang minta bantuan kepada saya; tetapi itu jelas tidak menjadi bagian dari tugas pemerintah dan tidak diadministrasikan oleh lembaga kepresidenan melainkan diadministrasikan oleh Sdr. H. Masnuh yang kepadanya saya minta mengurus dana itu secara pribadi. Hal ini telah saya jelaskan pula pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 yang lalu, di mana saya katakan bahwa dana tersebut bukanlah Presiden yang menyalurkan melainkan disalurkan melalui pribadi H. Masnuh, dan adakalanya saya turut mengetahuinya.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa hasil penyelidikan Pansus tentang dana Yanatera Bulog dan dana Bantuan Sultan Brunei tidak dapat dan tidak cukup alasan dijadikan dasar keluarnya Memorandum. Seumpama pun kesimpulan-kesimpulan Pansus yang tidak proporsional secara prosedural maupun substansial itu harus diterima sebagai kenyataan atau harus dianggap benar, maka itu pun tidak cukup dijadikan alasan untuk dikeluarkannya sebuah Memorandum sebab dari kesimpulan yang harus diterima itu pun tidak ditemukan bukti yang secara kategoris merupakan perbuatan “sungguh” melanggar haluan negara.
Itulah sebabnya dapat saya katakan bahwa isi Memorandum tentang kasus Yanatera Bulog dan dana Bantuan Brunei itu tidaklah proporsional. Dan oleh karena masalahnya sudah jelas maka tidak diperlukan lagi adanya Memorandum II.
Tidak diperlukannya Memorandum II didasarkan pula pada isi Tap MPR No III/MPR/1978 yang menentukan bahwa Memorandum II dapat dikeluarkan jika dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memerhatikan Memorandum I. Dengan memberikan jawaban ini saya telah menunjukkan bahwa saya memerhatikan Memorandum I itu sebagaimana mestinya. Masalahnya adalah bahwa substansi masalah pada Memorandum I bukanlah kebijaksanaan yang sedang berjalan dan bisa dengan mudah diubah agar terlihat diperhatikan sesuai dengan kehendak isi Memorandum itu. Memorandum I yang ada sekarang ini adalah satu kesimpulan, tepatnya vonis politik, atas kasus yang sesungguhnya tidak terjadi namun dibuatkan Memorandum.
Meskipun demikian, walaupun Memorandum itu kurang kuat dasarnya, namun demikian demi memelihara budaya kita yang perlu saling menghargai dan saling menghormati, maka saya dengan tulus ikhlas menjawab Memorandum itu. Oleh karena itu sulit bagi saya untuk menerima pendapat sebagian anggota DPR yang mengatakan bahwa Presiden tidak memerhatikan Memorandum I karena ternyata telah menyatakan perlawanan dengan mengatakan Pansus adalah ilegal dan memberi izin memeriksa oleh kejaksaan terhadap anggota Pansus. Seperti telah dikemukakan di muka dengan memberi jawaban ini berarti saya tidak lagi mempersoalkan legalitas Pansus Bulog karena Memorandum I telah ada sebagai keputusan politik. Saya juga sulit menerima pandangan bahwa dengan memberi izin kepada pihak kejaksaan untuk memeriksa anggota Pansus berarti saya melakukan perlawanan, sebab saya memberi izin untuk memeriksa beberapa anggota Pansus itu karena ada permintaan dari aparat penegak hukum untuk kepentingan hukum sehubungan dengan adanya laporan tentang (dugaan) pelanggaran hukum. Dan yang melaporkan kepada aparat penegak hukum itu bukan Presiden. Seumpama ada parpol atau kelompok masyarakat yang lain yang memerkarakan Pansus itu sama sekali bukan urusan Presiden, meskipun parpol itu kebetulan punya hubungan dekat dengan pribadi Presiden. Demi kepentingan penegakan hukum tentunya saya tidak dapat menolak begitu saja jika ada permintaan izin untuk memeriksa anggota Pansus. Namun terhadap proses peradilannya itu sendiri, jika memang ada, saya sama sekali tidak pernah dan tidak akan pernah, ikut campur. Memang sebagai Presiden tidak ada larangan bagi saya untuk mengemukakan pendapat hukum mengenai masalah-masalah yang menjadi masalah nasional termasuk tentang Pansus DPR, tetapi dalam kerangka memelihara hubungan baik, saya tidak pernah melakukan tindakan resmi untuk memerkarakan Pansus ke Pengadilan. Dalam kaitan dengan ini saya ingin menegaskan bahwa sampai saat ini saya tidak pernah menunjuk “Kuasa Hukum” untuk memerkarakan Pansus ke Pengadilan. Ini penting Saya tegaskan karena melalui media massa diberitakan tentang adanya Pengacara, yakni Indra Sahnun Lubis, yang mengaku sebagai Kuasa Hukum Presiden untuk memerkarakan Pansus ke Pengadilan. Saya telah menegur yang bersangkutan atas klaimnya itu, dan siapa pun dapat menanyakan kepada yang bersangkutan apakah yang bersangkutan punya surat kuasa hukum dari saya. Penasihat hukum yang saya tunjuk hanyalah Sdr. Luhut Pangaribuan Cs yang bukan dimaksudkan untuk menggugat Pansus tetapi untuk menjadi Penasihat dan Kuasa Hukum jika tuduhan-tuduhan terhadap Saya tentang kasus Yanatera Bulog dan kasus dana Brunei itu dibawa ke pengadilan. Jangankan seorang Presiden, seorang warga negara biasa pun berhak menunjuk Penasihat Hukum jika dirinya menghadapi persoalan di pengadilan. Jadi penasihat hukum yang saya angkat bukanlah untuk memerkarakan Pansus secara hukum, melainkan membantu saya dalam memperjelas posisi saya secara hukum pada kedua kasus tersebut jika persoalannya dibawa ke pengadilan.
Sebagai bukti lain bahwa saya tidak melakukan perlawanan terhadap Memorandum I DPR adalah kesediaan, bahkan permintaan, saya kepada Polri dan kejaksaan untuk memeriksa Saya sesuai dengan kehendak DPR yang dituangkan di dalam Memorandum I itu. Permintaan itu telah Saya kemukakan sebelum saya melakukan lawatan ke beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika yang diakhiri dengan ibadah haji sejak tanggap 22 Februari sampai tanggal 8 Maret 2001. Oleh karena itu sesudah Memorandum I dan dari sikap-sikap Presiden setelah dikeluarkannya Memorandum itu adalah sangat berlebihan dan tidak masuk akal kalau akan dikeluarkan lagi Memorandum II sebab dengan sikap-sikap yang diperlihatkan oleh Presiden tadi jelas Presiden cukup tanggap terhadap Memorandum I tersebut, apalagi pada hari yang sama dikeluarkannya Memorandum tanggal 1 Februari 2001 itu Presiden langsung mengumumkan pembentukan Tim Politik dan Hukum untuk menyiapkan jawaban Presiden sesuai dengan petunjuk Presiden sendiri. Itu merupakan bukti bahwa Presiden telah merespons dan memerhatikan Memorandum DPR.
Logika orang awam pun pasti tahu bahwa sebuah Memorandum II substansinya mestilah yang berkaitan dengan Memorandum I sedangkan Memorandum I telah ditanggapi dan dijawab secara wajar, sehingga tidaklah dapat diterima dikeluarkannya Memorandum II yang berisi masalah di luar kasus Yanatera Bulog dan bantuan dana dari Sultan Brunei karena hanya masalah itulah yang dimuat di dalam Memorandum I yang kemudian dikaitkan dengan Sumpah Jabatan dan Tap MPR No XI/MPR/1999.
Apa yang saya kemukakan di dalam jawaban ini adalah tanggapan yang wajar dan yang tidak berlebihan yang timbul disebabkan adanya tuduhan dan kesimpulan yang dikemukakan dalam Memorandum I. Meskipun demikian sebagai manusia biasa seperti halnya dengan Saudara-saudara sekalian yang saya hormati tentu tak luput dari kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan. Oleh karena itu melalui kesempatan yang berbahagia ini saya pribadi memohon maaf kepada Saudara-saudara sekalian, bahkan memohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia yang saya cintai sekiranya selama ini didapati sikap-sikap saya yang tidak terpuji atau tidak berkenan di hati Saudara-saudara sekalian. Saya meyakini bahwa dalam kasus ini secara hukum saya tidak bersalah, tetapi saya menyadari bahwa saya kurang kooperatif dalam bersikap karena saya merasa disudutkan sejak awal. Itulah sebabnya melalui kesempatan ini saya menyampaikan minta maaf jika ada sikap-sikap yang tidak terpuji atau tidak berkenan di hati.
Dan meskipun telah saya sampaikan permintaan maaf ini, saya sama sekali tidak menutup pintu, bahkan mendorong, setiap upaya pengungkapan dan penyelesaian lebih lanjut melalui jalur hukum atas masalah ini agar masyarakat mengetahui secara betul duduk persoalan yang sebenarnya.
Saya mempersilakan aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus ini melalui hukum dengan seadil-adilnya. Saya sendiri akan mempermudah setiap upaya pengungkapan kasus ini, bahkan saya bersedia dimintai keterangan atau diperiksa. Marilah kita belajar dari pengalaman ini untuk mengakselerasikan proses reformasi yang kita inginkan bersama. Marilah juga kita semua mengutamakan kepentingan umum, kepentingan perdamaian, dan kebersamaan untuk menyukseskan agenda reformasi yang telah kita canangkan bersama.
Akhirnya di luar masalah pokok yang berkaitan dengan Memorandum tersebut saya perlu sampaikan adanya tiga hal yang menurut saya penting untuk dijadikan dasar kita untuk bekerja secara lebih sungguh-sungguh dan segera mengakhiri pertikaian politik yang melelahkan ini:
1. Secara geopolitik Indonesia merupakan negara yang penting dan sangat strategis di Asia Pasifik sehingga konflik-konflik politik harus segera diakhiri dan kita membangun kebersamaan tanpa menghilangkan sikap untuk saling kritis demi tegaknya demokrasi dan sistem politik yang kokoh sesuai dengan konstitusi dan konstitusionalisme yang mendasarinya.
2. Kita tidak dapat mengelak dari kenyataan bahwa masyarakat kita sekarang ini sudah sangat lelah dengan berbagai konflik politik yang menghambat laju reformasi dan pemulihan ekonomi sehingga dituntut kesadaran dan kearifan kita untuk mengakhiri konflik-konflik yang tidak bermanfaat bagi pembangunan demokrasi. Apa pun pandangan dan kepentingan kita sebagai pemimpin tidak boleh melakukan langkah-langkah yang merugikan rakyat.
3. Kita harus melakukan langkah-langkah lebih arif untuk memperkokoh Pancasila sebagai ideologi negara dan menyelamatkan dari segala ancaman. Pancasila adalah dasar negara yang mempertemukan paham nasionalisme dan agamis sehingga tidak ada tempat bagi gerakan yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan kita selama kita masih menerima Pancasila sebagai dasar negara.
Dalam kaitan ini saya ingin menegaskan bahwa kita semua harus mengikuti pedoman peraturan perundang-undangan negara yang meliputi UUD, Tap MPR, UU, PP dan seterusnya.
Pimpinan dan Anggota DPR yang berbahagia.
Demikianlah jawaban Saya atas Memorandum I yang telah dikeluarkan oleh DPR pada tanggal 1 Februari 2001 dengan harapan kiranya dapat dipahami dengan baik dan benar serta disikapi dengan jujur, tulus, dan penuh kearifan. Dengan memberi jawaban yang semacam ini saya sama sekali tidak bermaksud mendorong kita untuk mengaburkan atau membelokkan satu kasus yang bertendensi pada pelanggaran hukum, apalagi sampai melanggar konstitusi. Yang saya harapkan justru adalah ketegasan dan ketepatan kita di dalam menegakkan konstitusi. Sebab saya meyakini bahwa jika dalam hidup bernegara kita tidak lagi mengindahkan konstitusi dan hukum, maka yang akan bermain adalah emosi yang tidak berdasarkan ratio. Dan kalau budaya yang seperti ini yang menguasai atau membimbing kita maka akan habislah masa depan kita sebagai bangsa dan negara.
Terimakasih atas perhatian Pimpinan dan seluruh anggota DPR yang berbahagia. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberi kekuatan dan bimbingannya kepada kita semua dalam usaha memelihara persatuan dan kesatuan demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur di bawah ampunan ilahi.
Wassalamu Alaikum Wr.Wb.