Kasus Gila dan Gila Kasus
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Masalahnya sederhana saja: kesembronoan dan kepekaan boleh berlebih. Itulah yang menjadi esensi keributan dan hiruk pikuk di sekitar kasus tabloid mingguan Monitor. Walaupun sederhana seperti itu, buntut perkaranya ternyata cukup panjang. Dan akibatnya juga cukup serius. Bukan hanya karena rusaknya kantor tabloid itu. Juga bukan karena penahanan resmi atas Arswendo Atmowiloto oleh Polda Metro Jaya. Tetapi juga karena mengubah kualitas hubungan antaragama di negeri kita secara mendasar. Juga karena ditutupnya tabloid tersebut, melalui pencabutan SIUPP oleh pihak Deppen.
Kesembronoan jelas menjadi warna utama angket Monitor tentang lima puluh tokoh yang dikagumi para pembacanya. Sembrono dalam menentukan era penyelenggaraan angket. Juga sembrono dalam pengungkapan hasil angket itu. Suatu hal yang cukup mengundang tanya dalam hati, adalah metode yang digunakan. Melalui angket terbuka, berbagai kemungkinan harus diperhitungkan. Bagaimana kalau Kusni Kasdut yang menjadi tokoh nomor satu, di atas Pak Harto dan Bung Karno? Bagaimana kalau nama Muso atau Alimin juga muncul dalam ranking tinggi?
Ternyata yang keluar jauh lebih gawat secara potensial, bila dibandingkan kemungkinan buruk seperti di atas. Nabi Muhammad masuk peringkat kesebelas. Dan lebih fantastis lagi, hasil itu diungkap apa adanya. Tanpa diberi penjelasan cukup. Seharusnya disertai cara membaca hasilnya. Dari 33.963 responden, mayoritas tentu beragama Islam. Kalau diletakkan pada angka 85% penduduk ini beragama Islam, kira-kira 29.000 suara berpotensi menyebutkan nama Nabi Muhammad saw. Ternyata hanya 616 suara diberikan kepada Beliau, berarti hanya 2,1% saja yang tidak tahu bahwa nama Beliau tidak boleh dipergunakan sembarangan. Selebihnya, yaitu hampir 98%, tetap waras dan mengerti bagaimana cara yang tepat untuk menghormati ketokohan Beliau.
Kalau mau diberi penilaian objektif, angket Monitor itu adalah sebuah kasus gila (a crazy case). Kesembronoan yang tidak memperhitungkan akibat-akibat sangat berat dari kerja itu sendiri. Paling tidak, itulah penilaian yang secara maksimal dapat diberikan, sampai nanti terbukti di pengadilan, bahwa ada unsur kesengajaan dari pihak Monitor untuk melakukan penghinaan. Hukuman karena “menimbulkan keributan” bagaimanapun tidak akan membuktikan kesengajaan atau penghinaan, karena hanya akibatnya yang dipersoalkan, bukan hakikat kerja yang dilakukan.
Di pihak lain, kepekaan umat Islam memang berada pada kondisi sangat berlebih. Kepekaan berlebih, karenanya disebut oversensivities adalah bagian dari proses modernisasi umat Islam di negeri ini pada saat sekarang. Ada peran kuat, bahwa Islam terpojok atau tersudut. Bahwa ada semacam konspirasi atau makar jahat terhadap Islam. Bahwa secara teratur dan sistematis Islam didiskreditasikan melalui berbagai upaya, sehingga kaum muslimin harus selalu waspada.
Pangkal dari rasa ketersudutan dan ancaman makar itu adalah rasa kurang percaya diri umat Islam sendiri. Kompleks rasa rendah diri (inferioritas) adalah hasil langsung dari rasa takut melihat proses modernisasi yang tengah berlangsung. Takut kalau-kalau Islam akan kehilangan peranan kehidupan bangsa, karena erosi nilai-nilai yang dialaminya. Takut kecenderungan kuatnya pola hidup materialistis dan sekularistis dalam kehidupan masyarakat akan menggusur kedudukan hukum agama sebagai pemandu perilaku masyarakat.
Walaupun dibungkus dengan klaim bertubi-tubi bahwa Islam lebih dari peradaban-peradaban lain di dunia, pada dasarnya cukup besar rasa kekhawatiran dan ketakutan tersebut. Perasaan itulah yang mendasari munculnya kepekaan berlebih yang disebutkan di atas. Kepekaan berlebih yang muncul dalam bentuk sikap sangat mudah tersinggung dan terhina. Kombinasi dicap mudah tersinggung dan sikap selalu mengajukan klaim kelebihan Islam adalah penyebab dari kecenderungan lain yang sangat kuat: kegemaran bereaksi terhadap segala macam kasus. Katakanlah semacam sikap gila kasus dan berakibat panjang kasus Monitor yang kita bicarakan ini.
Gelombang ketidakpatutan itu tentu saja menyebabkan pemerintah harus mengambil tindakan mencegah kerusakan lebih jauh (damage control). Dan keluarlah tindakan pencabutan SIUPP Monitor. Pemecatan Arswendo dari segala macam jabatan dalam bisnis jurnalistik. Juga pemecatan dari keanggotaan PWI. Dan seterusnya.
Masih untung ia tidak diminta istrinya agar bercerai saja. Atau diusir dari rumahnya oleh RT di lingkungan tempat tinggalnya.
Semua seolah-olah berlomba menjadi pahlawan pembela Islam dari Arswendo. Hebat benar anak muda ini, sampai harus dihadapi tokoh-tokoh seperti Mensesneg Moerdiono, Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri dan cendekiawan Dr. Nurcholish Madjid.
Untung saja, daftar nama mereka yang menghujat Arswendo dengan kegalakan ekstra itu tidak mencerminkan perasaan sebenarnya dari umat Islam. Buktinya? Kecuali perusakan kantor Monitor oleh sekelompok kecil pemuda Islam, umat tidak tersulut oleh kebakaran itu sama sekali. Tembakan peluru pernyataan-Monitor tidak datang dari kalangan luas, walaupun mayoritas umat merasakan kemarahan juga. Termasuk penulis sendiri, yang menganggap kemarahan oleh ketidakpatutan angket itu sebaiknya jangan dilarutkan dalam emosi, melainkan dalam kesabaran dan kemampuan menahan diri.
Seorang kiai diminta dukungannya oleh seorang calon lurah di desanya. Ia bertanya, apa motifnya dalam mencalonkan diri itu. Dijawab sang calon, untuk membela Islam. Sang kiai menjawab, bahwa Islam tidak perlu dibela. Seperti AL Qur’an, Islam akan dibela sendiri oleh Allah. Rasa-rasanya begitu juga Nabi Muhammad saw. Beliau tidak akan turun derajat hanya karena angket Monitor.
Bahkan penulis kagum kepada tokoh ini, karena beliau ternyata masih punya “fans” di kalangan pembaca tabloid hiburan tersebut. Semua orang tahu jenis pembaca tabloid murah sensasi tersebut, sensasi untuk merangsang selera murahan. Hebat, bahwa beliau juga “hidup” di kalangan mereka, bagaimana kalau angket dilakukan di kalangan jemaah masjid?
Reaksi umat Islam terhadap kasus gila yang dibawakan Arswendo melalui angket Monitor itu ternyata membawa akibat parah. Akibat sangat berat, yang akan mewarnai banyak hal dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Rasa takut akan keberingasan kaum muslimin mau tidak mau lalu timbul, terutama di kalangan minoritas agama dan etnis di negeri kita selanjutnya. Mau tidak mau, hal itu akan mempengaruhi hubungan antarumat beragama di masa datang.
Begitu pula kemajuan yang dicapai pers kita dalam memperjuangkan keterbukaan politik, juga terpukul sangat berat oleh pencabutan SIUPP Monitor. Ajakan Menko Polkam Sudomo agar pencabutan SIUPP ditiadakan, sekaligus lenyap bagaikan air yang dituangkan ke atas pasir. Kebebasan pers yang didambakan, dengan pihak pers sendiri yang menilai penerapan anak kalimat “bertanggung jawab”, menjadi semakin jauh dari jangkauan para pelakunya.
Dan perjuangan menegakkan demokrasi dalam arti sebenarnya, kembali menghadapi jalan buntu. Belum lagi impian akan tuntasnya kedaulatan hukum. Tetapi kerugian utama justru diderita oleh Islam sendiri, akibat ulah umatnya. Islam adalah agama perdamaian (dinus salam), yang muncul kini adalah citranya sebagai agama kekerasan. Islam adalah agama perbaikan (dinul silah), yang mencuat adalah tindakan perusakan oleh aksi sepihak dengan main hakim sendiri. Islam adalah agama kasih sayang (dinul mahabbah wal mawaddah), yang tampil adalah wajah kebencian yang mengerikan.
Umat sendirilah yang harus memberbaiki citranya semula, agar tampil secara meyakinkan sebagai agama pembawa kesejahteraan (dinur rahmah). Bagaimana halnya dengan Islam sebagai agama kebebasan (dinul hurriyah), yang kini hadir lewat pencabutan SIUPP Monitor sebagai agama pemasungan kebebasan berbicara? Tanyakan saja kepada pimpinan umat dan pemerintah.
Penulis tidak tahu lagi, mana yang harus ditangisinya. Kerusakan citra Islamkah sebagai agama keadilan, ataukah kematian demokrasi untuk kesekian kalinya di negeri kita?