Kebebasan Pers dan Pembangunan Ekonomi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pers Indonesia telah mengenyam kebebasan dalam berbagai derajat dan tahapan selama sejarahnya. Di masa penjajahan, kebebasan pers itu dibatasi oleh pemerintahan kolonial Belanda pada larangan berbicara tentang kemerdekaan dan semangat kebangsaan. Pers membicarakan dan memperdebatkan nasionalisme, bentuk negara yang ideal untuk Indonesia, bahkan mengenai dasar-dasar negara yang diperlukan bangsa Indonesia. Tapi pembicaraan dan pembahasan tidak diperbolehkan mengarah kepada konkretisasi substansinya, yaitu gagasan sebuah negara republik yang merdeka dari kungkungan penjajah. Segala macam hambatan dan peraturan ditubuhkan, untuk memberlakukan cegahan dan larangan tersebut.
Walau demikian, perdebatan sangat luas yang melibatkan “gagasan teoretik” tentang negara modern telah mampu mengantarkan munculnya semangat kebebasan yang tinggi, dan cita-cita luhur kemerdekaan bangsa dari penjajahan. Apa yang semula berupa perdebatan teoretik, historis, dan filosofis, akhirnya mempunyai dampak politis yang konkret. Berandai-andai dan berteori ternyata bukanlah sesuatu yang tidak mempunyai nilai, melainkan memberikan jalur pengembangan kesadaran akan pentingannya kemerdekaan, dan perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan. Dengan kata lain, pers berfungsi transformatif dalam jangka panjang, bila ia diarahkan untuk itu.
Hakikat transformatif dari pers, seperti yang dibentangkan ini, merupakan sesuatu yang sejak semula telah dipahami dengan baik oleh para pemimpin bangsa kita di masa lampau. Karena itulah, para pemimpin seperti Bung Karno, Moh. Natsir, Syahir, Bung Hatta, Tan Malaka dan Moh. Yamin mempergunakan pers sebagai wahana pengembangan paham mereka masing-masing. Kesungguhan sikap untuk menemukan kebenaran akhir yang berlaku bagi semua, melalui perdebatan terbuka merupakan sikap bijak yang diperlihatkan para pemimpin bangsa itu, yang mengembangkan peran timbal balik antara warga masyarakat dan pemimpin mereka.
Hal yang sama juga berlangsung dalam konteks perdebatan tentang pembaharuan agama, kebangkitan budaya dan struktur ekonomi. Terjadi proses simbiotik antara pers sebagai pembawa perubahan, dan upaya perubahan yang mendorong kemajuan pers, dalam lingkaran yang tidak terputus.
Fungsi transformatif pers Indonesia sebagaimana di gambarakan ini menunjukkan, antara keinginan perubahan dan kebebasan pers terjadi proses interaksi yang sangat tinggi, yang akan menimbulkan sinergi seluruh kekuatan bangsa untuk mencapai cita-cita keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh warga masyarakat. Tampak, sinergi kekuatan demikian besar, terkadang jauh melebihi batas-batas kebebasan yang dimiliki pers itu sendiri.
Kebalikannya juga dicontohkan oleh perkembangan pers di masa demokrasi parlementer setelah Proklamasi Kemerdekaan, dan di tahun-tahun 1950-an. Kebebasan pers secara penuh waktu itu ternyata hanya menghasilkan skisma ideologis yang sangat mendasar antara berbagai aliran pemikiran besar di dunia yang sampai kemari. Antara nasionalisme, sosialisme, dan Islam sebagai paham ideologis terjadi perdebatan berkepanjangan, yang akhirnya justru melumpuhkan demokrasi parlementer itu sendiri. Vakum kekuasaan yang diakibatkan oleh kemacetan dialog ideologis itu berakhir pada pemerintahan otoriter. Demokrasi Terpimpin yang dibawakan Bung Karno. Dalam sistem politik Demokrasi Terpimpin itu, kebebasan pers mengalami penyempitan wilayah secara sangat drastis. Berbagai peraturan dan undang-undang diberlakukan, untuk membatasi ruang gerak pers dalam mengajukan kritik kepada pemerintah maupun perdebatan ideologi antara warga masyarakat.
Ternyata, besarnya kebebasan pers tidak selalu membawa hasil baik, tanpa diimbangi kemampuan menggunakan kebebasan itu sendiri secara konstruktif. Penggunaan kebebasan secara konstruktif pada dasarnya adalah pemilahan mana masalah-masalah esensial yang harus ditangani secara terus-menerus, dengan mengenyampingkan hal-hal lain di luar itu. Masalah-masalah esensial yang harus diteruskan pembahasannya oleh pers Indonesia dapat dilihat dari dua sudut pandang: masalah-masalah esensial bagi kehidupan bangsa, dan masalah-masalah esensial bagi kehidupan pers sendiri.
Adanya dua jenis masalah esensial ini mengandaikan kepada kita adanya kemampuan menyelaraskan kepentingan bangsa, dan kepentingan pers sebagai bidang profesi. Kepentingan bangsa dalam beberapa keadaan khusus memang memungkinkan pengekangan atas kebebasan pers secara mutlak, seperti dalam keadaan perang, dan keadaan bahaya lainnya.
Namun, adalah juga kebutuhan bangsa untuk senantiasa memberikan hak kepada pers untuk melakukan pengawasan masyarakat (kontrol sosial) atas perilaku para pemegang kekuasaan pemerintahan. Hanya dengan kontrol sosial yang efektif, terutama melalui pers, kedaulatan rakyat, dan tegaknya hukum dapat dijaga pada kadar yang optimal. Karenanya, penjagaan atas kebebasan pers merupakan bagian dari hidup suatu bangsa, jika diinginkan negara hidup dalam keseimbangan fungsi dengan para warganya. Pengingkaran atas kebutuhan ini akan berarti penurunan kualitas hidup bangsa secara keseluruhan dalam jangka panjang.
Sebaliknya, kebebasan pers membawa keharusan membenahi kehidupan internal dunia pers sendiri. Penekanan kepada kebebasan hanya sebagai hak, dan bukan sebagai kewajiban, hanya akan mendorong salah penggunaan kebebasan itu sendiri, seperti terjadi pada kasus pertengkaran tabloid-tabloid dengan keluarga kerajaan Inggris dewasa ini. Karenanya, pelaksanaan kebebasan pers harus disertai tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga kepentingan nasional bangsa, tanpa mengendurkan kewajiban pers untuk melakukan kontrol sosial. Artikulasi pandangan saling berbeda, dan pemikiran yang sangat beragam, haruslah dilakukan sedemikian rupa, sehingga tidak mengganggu kepentingan nasional bangsa kita secara keseluruhan.
Salah satu cara artikulasi itu adalah dengan selalu menampilkan perbedaan-perbedaan itu dalam konteks saling mengisi, dan bukannya saling berhadapan. Dengan ungkapan lain, kecenderungan untuk mencari-cari perbedaan, hanya untuk sekadar berbeda, harus digantikan dengan pendekatan mencari titik temu antara pendapat-pendapat yang saling berbeda itu. Dengan demikian, pers Indonesia akan mampu mengembangkan budaya konsensus yang tidak mematikan perbedaan pendapat yang ada, melainkan mencari titik-titik kebersamaan kita semua sebagai bangsa.
Pendekatan kepada kebebasan pers dalam bentuk seperti ini justru akan memperkaya kehidupan kita dengan variasi pandangan yang sangat majjemuk. Namun dengan garis-garis utama kesepakatan kita bersama. Tercapainya kondisi kebebasan pers seperti ini, tentu akan mendorong proses pengambilan keputusan di bidang politik untuk berkembang lebih dewasa lagi. Dalam suatu kondisi kehidupan pers yang berwatak konstruktif bagi kehidupan bangsa, tekanan atas proses pengambilan keputusan politik menjadi akan sangat berbeda.
Perbedaan-perbedaan tajam tentang kebijaksanaan politik tentu akan lebih mudah diselesaikan, bila persjustru menampilkan titik-titik persamaan yang terdapat antara berbagai pihak. Dengan kata lain, pers akan berfungsi sebagai alat mencari kesepakatan-kesepakatan politik guna memudahkan proses pengambilan keputusan formal. Dalam hal ini pers dapat berfungsi sebagai jembatan antara berbegai pandangan yang muncul, dan turut membentuk kesepakatan yang akhirnya akan dicapai, paling tidak, pers akan membuat masyarakat mampu melakukan pilihan-pilihan sulit yang harus diambil.
Kemajuan Ekonomi dan Kebebasan Pers
Sering dipertanyakan, dapatkah dicapai kemajuan ekonomi dengan laju pertumbuhan yang cepat dengan membiarkan pers tetap bebas? Pertanyaan tersebut sebenarnya adalah bentuk lain dari pertanyaan: dapat atau tidaknya hak-hak asasi manusia dipertahankan dalam laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Seolah dalam mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kebebasan dan hak-hak asasi manusia haruslah dikorbankan. Dan sebaliknya, penjagaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan pers akan mengurangi lajunya pertumbuhan ekonomi. Jawaban atas kedua pertanyaan ini, pada dasarnya tidak ada korelasi langsung antara pertumbuhan ekonomi dan kebebasan pers. Pertumbuhan ekonomi Jepang, Hongkong, dan Jerman mencapai momentum tinggi tanpa sedikit pun mengurangi kebebasan pers.
Umumnya yang terjadi adalah ketidakmampuan sistem politik yang ada untuk menciptakan disiplin nasional yang diperlukan bagi laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kebebasan pers membuat perbedaan-perbedaan pandangan serta keragaman pemikiran bermuara pada sistem politik yang pluralistik, yang sulit “diatur” untuk berperilaku mencapai keputusan-keputusan di bidang ekonomi yang rasional, dan menghasilkan efisiensi.
Dengan demikian, proses pertumbuhan ekonomi sangat diganggu oleh lamanya proses tawar-menawar politik yang terjadi. Jika dapat dilakukan proses pengambilan keputusan politik yang lebih rasional dan efisien, kebebasan pers justru akan memberikan dimensi lain yang diperlukan oleh pertumbuhan ekonomi itu sendiri: ketetapan orientasi pertumbuhan dan kedalaman penggarapan pertumbuhannya. Tanpa ada masukan yang cukup untuk menjaga ketepatan orientasi, dan mencapai kedalaman penggarapan, maka pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan biaya sosial (social cost) yang sangat tinggi.
Masalah utama pembangunan ekonomi, dengan demikian, terletak pada kemampuan mencari keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, dan harga sosial yang harus dibayar. Biaya sosial yang terlalu tinggi pada akhirnya akan menciptakan kesenjangan sosial yang sangat besar, yang akan mementahkan hasil-hasil yang dicapai dalam jangka panjang. Contoh menurunnya pertumbuhan ekonomi Pakistan setelah pemusatan sumber ekonomi di tangan dua puluh dua keluarga saja di tahun-tahun 1960-1970-an sangat menarik untuk ditilik di sini.
Ketimpangan sosial yang dihasilkan pertumbuhan ekonomi itu, ternyata membawa pukulan balik, berupa penolakan atas rencana pembangunan yang ditawarkan pemerintah. Masyarakat tidak bersedia berpartisipasi secara konstruktif dalam pembangunan, dan laju ekonomi kehilangan momentumnya de- ngan cepat. Baru setelah sepuluh tahun pergolakan politik yang berkepanjangan, Pakistan dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan dalam dua tahun terakhir ini. Dari kenyataan ini saja, sudah jelas bagi kita, justru kebebasan pers mempunyai korelasi tidak langsung dengan penjagaan pertumbuhan ekonomi.
Menjadi jelas pula, bagi pertumbuhan ekonomi pun, kebebasan pers tetap diperhitungkan, dan bukan sebaliknya. Sebagaimana dikemukakan tadi, pers yang bebas memiliki otonomi penuh akan mampu mengartikulasikan keragaman pendapat masyarakat, dan mampu menciptakan rasa memiliki masyarakat atas jalannya pembangunan. Unsur partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah sesuatu yang esensial bagi kehidupan sebuah bangsa. Karenanya, harus ada kearifan bagi bangsa kita untuk memberikan otonomi yang lebih besar kepada pers nasional kita, serta memberikan ruang gerak lebih banyak kepadanya.
Sebaliknya, pekerja pers kita juga harus mampu memahami, kontrol sosial dan perdebatan tentang jalannya pembangunan ekonomi haruslah dijaga sedemikian rupa, sehingga tidak menganggu pertumbuhan ekonomi kita. Laju pertumbuhan penduduk kita yang cukup besar, yaitu sekitar 2% tiap tahun, mengharuskan kita mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari pertambahan penduduk itu sendiri.
Demikian pula, pemupukan modal dan pengelolaan sumber-sumber ekonomi lainnya memerlukan laju pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Dapat dengan demikian disimpulkan, kita tidak hanya memerlukan kebebasan pers, melainkan kita juga membutuhkan laju pertumbuhan ekonomi sesuai dengan perkembangan. Antara keduanya tidak perlu dipertentangkan, melainkan harus dikerahkan kreativitas kita sekuat-kuatnya untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kebebasan pers.