Kedewasaan dan Bencana Alam
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Radio swasta Jakarta News FM pada tanggal 25 Januari 2005 malam hari menyiarkan laporan tentang banjir di kawasan Kampung Melayu. Dalam siaran itu, penyiarnya menyebutkan sikap seorang warga kawasan itu, entah penduduk biasa atau seorang pejabat pemerintah di tingkat kelurahan, yang menyatakan pentingnya mempersiapkan agar para pengungsi dapat ditampung sebaik-baiknya, kalau perlu di bangunan Perguruan Katholik Santa Maria.
Dari laporan itu tampak jelas, betapa penduduk dan aparat pemerintah di kawasan tersebut berpikir tentang caranya “mengatur” agar korban (baik jiwa atau harta benda) dapat diperkecil menjadi sedikit mungkin. Mereka bersikap demikian menurut sang penyiar, karena alasan-alasan perikemanusiaan.
Dalam diskusi perspektif progresif yang diselenggarakan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dikemukakan, bahwa salah satu hal penting yang bersifat universal adalah perikemanusiaan. Seperti juga sang penyiar dari laporan pandangan mata banjir tersebut, yang mengatakan bahwa motif yang mendorong usulan membuat persiapan bagi akibat banjir di kawasan itu, adalah alasan perikemanusiaan.
Upaya memberikan pertolongan kepada penduduk kawasan itu karena alasan perikemanusiaan itu, menjadikan apa yang diperbuat oleh semua pihak untuk memperkecil korban banjir itu, menjadi sangat menarik bagi penulis. Tidak seperti bencana alam gempa bumi dan banjir tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang selalu diutarakan/dinyatakan didorong oleh belas kasihan mereka yang memberikan sumbangan, baik dalam maupun luar negeri.
Motif berupa rasa belas kasihan memang bersumber pada alasan-alasan perikemanusiaan, namun antara kedua motif itu terdapat perbedaan yang cukup besar. Jika dorongan itu bersifat rasa belas kasihan, maka pertolongan yang diberikan tidak mendorong para korban untuk mengatasi akibat-akibat bencana alam itu sendiri.
Timbullah rasa geram di pihak para korban, yang akhirnya dinyatakan dalam berbagai cara. Ada yang geram kepada pemerintah daerah, yang memang kacau balau tanpa persiapan. Atau kepada persiapan tidak memadai yang dilakukan oleh para penyelenggara negara yang tidak siap sama sekali, dan mengalami kemacetan total.
Bahkan, mereka juga tidak kuat ‘menghadapi’ ulah orang-orang yang tinggal di luar NAD yang melakukan tindakan-tindakan yang jelas-jelas merupakan korupsi bantuan berupa uang maupun barang. Karenanya, para korban akhirnya hanya melampiaskan rasa amarah mereka, dan mengikuti sikap “pasrah kepada nasib”.
Dengan demikian, inisiatif untuk mengatasi cobaan dan memperkecil korban, tidak datang dari mereka sendiri, melainkan dari orang-orang yang tinggal di luar NAD. Sikap mereka lalu mencerminkan rasa geram, bercampur dengan pengamatan para korban akan manipulasi yang terjadi atas bantuan demi bantuan yang datang dari mana-mana.
Dalam percakapan penulis dengan masyarkat Aceh, kedua hal itulah yang terjadi. Bandingkan sikap tersebut dengan sikap para korban banjir yang tinggal dikawasan Kampung Melayu itu. Mereka tidak apatis dan geram, melainkan mereka mengambil inisiatif lalu menolong diri sendiri dalam menghadapi banjir tersebut. Inisiatif mereka ambil dengan hampir-hampir tidak menyertakan kegeraman atau kemarahan terhadap siapa pun.
Alangkah jauh berbeda reaksi kedua jenis korban tersebut. Reaksi orang-orang di kawasan Kampung Melayu itu terhadap musibah yang mereka alami, menunjukkan kedewasaan sikap hidup mereka dalam menghadapi segala macam tantangan yang menghadang, dan justru mencoba mengatasi tantangan-tantangan tersebut dengan tenaga sendiri.
Minimal, mereka menerima bantuan-bantuan untuk mengatasi musibah yang mereka hadapi, tetapi tidak meminta atau bahkan menganggap bantuan orang itu sebagai sesuatu yang wajib diberikan kepada mereka. Namun kalau ada yang membantu keadaan akan meringankan diri mereka dalam menghadapi musibah yang menimpa.
Tetapi jika tidak ada bantuan pun, mereka akan mencoba mengatasi musibah, dengan hidup seadanya dan tidak menyesali siapa pun. Ini yang merupakan tanda kedewasaan pandangan hidup mereka. Alangkah menggembirakan sikap seperti itu masih banyak terdapat di kalangan bangsa kita.
Penulis yakin, dengan kedewasaan seperti itu kita akan mampu menjadi bangsa yang kuat dan negara besar. Di sinilah diperlukan kemampuan melihat hal itu, sebagai syarat untuk menyakini kemampuan bangsa kita sendiri. Dalam ceramah-ceramahnya di muka umum, penulis sering meminta perhatian hadirin akan pentingnya arti pemeliharaan kelestarian alam kita. Kita janganlah mudah menebang pohon karena akan membuat akar-akar pohon menjadi mati, dan dengan demikian bumi tidak dapat menyerap air.
Ini akan mengakibatkan “banjir bandang” yang akan membuat musim hujan air meluap, tetapi dalam musim kemarau kawasan bersangkutan akan menjadi kering. Yang rugi tentu para penduduk sendiri.
Mereka yang menganggap “harus” dibantu untuk mengatasi musibah yang terjadi, membuat mereka lalu marah dan geram, seperti ditunjukkan oleh sikap “bersandar kepada bantuan” para korban gempa bumi dan gelombang tsunami, yang dialami para penduduk Propinsi NAD. Sementara itu, di antara mereka juga banyak yang berpandangan saling berbeda sehingga sangat sulit bagi kita untuk melakukan generalisasi sikap hidup mereka itu. Tapi jelas, bagian terbesar dari penduduk propinsi tersebut memang bersikap seperti itu.
Bahkan penulis sering diberitahu, bahwa para korban itu sangat banyak yang bersikap sombong. Inilah yang mungkin menjadi dasar bagi anggapan sejumlah kawan-kawan LSM, bahwa penduduk NAD bersikap etnosentris/mengutamakan kelompok etnis sendiri. Tentu saja penulis mengharapkan tidak demikian, tapi ia berpendirian seperti halnya “relawan luar” di NAD, bahwa bagaimanapun juga kita harus menolong para penghuni propinsi tersebut.
Sebaliknya, mereka yang bersikap hidup tidak menggantungkan diri pada bantuan luar, tetapi kalau dibantu akan diterima, seperti yang dicontohkan dalam kasus orang yang kebanjiran di kawasan Kampung Melayu, adalah yang menjadi pokok kemandirian seseorang. Seolah-olah mereka tahu akan sebuah ketentuan dalam Fiqh (hukum Islam), yang berbunyi: “Diperkenankan menerima wakaf orang tidak bertuhan” (Yajuuzu waqf al-kafirin).
Dalam pengertian kitab suci Al-Qur’an, orang kafir ini adalah yang tidak bertuhan, sedangkan dalam pengertian fiqh mereka adalah semua orang yang tidak beragama Islam. Para pembaca dapat saja menggunakan pengertian mana yang dipilih, karena penulis tidak pernah menganggap mereka sebagai kafir, karena tidak ada alasan untuk “memenangkan” fiqh dalam hal ini. Penulis selalu menganggap orang Yahudi dan Kristen sebagai ahl al-kitab pemilik kitab suci.
Kegunaan kita mengetahui mengenai hal ini adalah untuk kebutuhan melakukan diferensiasi (pembedaan) sikap yang berguna dalam kehidupan sehari-hari dan kebiasaan hidup bersama. Tetapi dalam keadaan darurat seperti terjadinya gempa bumi dan gelombang pasang tsunami seperti yang terjadi di Propinsi NAD, tentu kita akan bertindak lain. Atas dasar kemanusiaan kita tidak boleh membeda-bedakan orang dan kawasan.
Karena itulah, dengan mengetahui perbedaan seperti yang disebutkan di atas, penulis tetap bersikap sama terhadap kedua propinsi tersebut. Inilah sikap hidup yang sehat, dalam menghadapi keadaan yang saling berbeda antara kedua kawasan itu. Dengan ‘bermodalkan’ pengetahuan seperti di atas, kita lalu dapat mengembangkan solidaritas/rasa sepenanggungan antara kedua kawasan tersebut. Pengetahuan ini penting, untuk memungkinkan kita melakukan tindakan-tindakan tepat antara keadaan darurat dan “keadaan biasa”.
Penulis tidak tahu, adakah reaksi terhadap perkembangan keadaan dapat dibatasi hanya pada kedua sikap hidup di atas. Ini karena kurangnya pengetahuan penulis akan sikap-sikap hidup manusia di banyak daerah. Tetapi dengan mengemukakan kedua hal di atas dalam tulisan ini, penulis sedikit banyak telah “menyumbangi sesuatu” kepada khalayak ramai. Hal semacam inilah yang akan memperkaya sisi-sisi rohani yang kita miliki.
Penentuan keadaan dan pembentukan sikap hidup sesuatu bangsa, dalam masa-masa/periode awal demokrasi, sangat memerlukan pengetahuan seperti itu. Dari kekayaan rohani itu, barulah kita dapat mengembangkan sebuah bangsa yang kuat dan negara yang besar. Itu saja maksud penulis dengan mengemukakan hal itu dalam tulisan ini, sebagai bagian dari proses melestarikan dan membuang, yang biasa terjadi dalam sejarah manusia, bukan?