Kekurangan Informasi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pertemuan itu diadakan di sebuah kuil/gereja milik sebuah agama baru di Jepang, pecahan dari agama Buddha. Dari pihak penulis, hadir Konsul Jenderal Republik Indonesia (Konjen Rl) untuk daerah Kansai, Hupudio Supaidi. Dari pihak Jepang datang berpuluh-puluh agamawan dari berbagai agama, termasuk tokoh-tokoh Kristen Protestan-Katolik serta seorang peserta wanita dari Partai Komunis Jepang. Ia juga termasuk seorang legislator lokal yang menjadi anggota dewan kota (town consellor) dari Sakai, yang berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa. Sakai adalah kota satelit di Osaka, Jepang, yang sekarang sedang berusaha menjadi sebuah provinsi/prefectures sendiri, lepas dari Osaka.
Dalam pertemuan itu, penulis juga ditemani oleh Mr. Hitoshi Kato, seorang politisi lokal yang mengundang penulis ke Sakai dan sang keponakan Hisanori Kato, seorang ahli tentang negara kita dan dapat berbahasa Indonesia. Ia bekerja di Manila dan kembali ke Sakai hanya untuk menemani penulis. Hitoshi Kato datang ke Indonesia pada bulan Juli lalu, dan mencoba melakukan kerjasama dengan Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Nasional (Unas) di Jakarta dengan Universitas Hagoromo yang memiliki mahasiswa 2000 orang, padahal baru didirikan beberapa bulan yang lalu di Sakai. Ia mempunyai persepsi yang ‘salah’ tentang Islam dan kaum muslimin, sebagai kaum penjarah dan teroris, akibat pemberitaan media massa di Jepang tentang peledakan bom di Bali. la menyadari, ratusan ribu warga daerah Kansai, di mana Osaka dan Sakai terletak, memandang Bali sebagai tujuan pariwisata yang harus didatangi berkali-kali.
Ternyata, kesan mereka itu salah sama sekali, begitu ia sampai di Jakarta, ia bertemu dengan orang-orang yang ramah, dan banyak di antaranya yang dapat dijadikan kawan. Ia bertemu penulis, dan meminta keterangan tentang Islam dan kaum muslimin. Tentu saja, penulis menyatakan tindakan para teroris itu —kalau benar dilakukan oleh gerakan Islam- adalah sebuah penyimpangan kecil dari gerakan Islam sendiri, yang terutama banyak dikuasai oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Jadi tidak benar, anggapan bahwa mayoritas kaum muslimin di negeri ini menyetujui peledakan bom di Bali yang dilakukan oleh gerakan Islam. Karena tindakan itu akan dianggap diskriminatif oleh pemeluk-pemeluk agama Hindu, yang justru karena penduduk Bali mayoritas beragama Hindu. Jelas gerakan Islam tidak menyetujuinya, dan ini jelas bertentangan dengan agama Islam yang memberikan perlindungan dan menjamin keselamatan terhadap kaum minoritas.
Perubahan pandangan itu, membuat Hitoshi Kato menganggap perlu mengundang penulis ke Sakai. la ingin agar penulis menjelaskan sendiri kepada penduduk Jepang di Sakai, bahwa apa yang digambarkan tentang Islam oleh media massa Jepang selama ini adalah sesuatu yang salah, bertentangan dengan kenyataan sebenarnya. Tentu saja, penulis menyambut baik ajakan itu, dan menyediakan waktu untuk itu pada minggu pertama bulan November 2002. Berbagai acara digelar, termasuk kunjungan kepada Walikota Sakai dan pertemuan di Tokyo dengan Ambassador Noburo Matsunaga dan Pendeta Niwano, keduanya teman penulis yang akrab sejak beberapa tahun yang lalu. Sayang sekali, penulis tidak bertemu dengan Daisaku Ikeda pendiri gerakan Buddhis Soka Gakkai, yang memiliki sebuah Universitas —tempat penulis menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang humaniora pada bulan April yang lalu.
Dalam rangkaian pertemuan-pertemuan di Sakai itu -yang, juga diliput oleh koran Mainichi Shimbun (yang memiliki edisi Jepang dan Inggris), penulis menjelaskan hakekat Islam sebagai agama perdamaian, yang disalahmengerti oleh sebagian kecil kaum muslimin sendiri, dengan tindakan-tindakan penuh kekerasan yang mereka lakukan. Menurut penulis, hal ini mereka lakukan karena dua hal. Di satu sisi, mereka hanya mementingkan institusi (kelembagaan) dalam Islam, yang sekarang tengah terancam di mana-mana dalam masyarakat yang berteknologi maju. Mereka lupa, bahwa Islam juga membawakan kultur/budaya kesantrian, yang justru sekarang semakin berkembang sebagai pertahanan kaum muslimin dalam menghadapi “serangan teknologi maju” itu. Di sisi kedua, mereka yang melakukan terorisme itu tidak pernah mendalami Islam sebagai bidang kajian, karena itu mereka tidak mengenal kultur/ budaya santri itu. Sebagai akibatnya, lalu mereka langsung mengambil dari sumber-sumber tertulis Islam (al-adillah al-naqliyyah), tanpa mengetahui deretan penafsiran yang sudah berjalan berabad-abad, untuk memahami kitab suci al-Qur’ân dan Hadis Nabi Muhammad Saw melalui perubahan-perubahan penafsirannya. Inilah yang membuat mengapa Islam memahami toleransi dan menerima pluralitas, yang berujung pada penerimaan mayoritas muslim di negeri ini akan Pancasila dan penolakan mereka atas negara Islam melalui penghapusan Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam keterangannya, penulis menyatakan bahwa di Indonesia masih terdapat kelompok-kelompok kecil dalam gerakan Islam yang masih menginginkan adanya negara Islam. Namun, mereka selalu dikalahkan dalam setiap upaya formal dalam melakukan hal itu. Penulis tambahkan, ia memiliki keyakinan bahwa upaya-upaya tersebut tidak akan pernah mencapai hasil karena tradisi kesantrian tersebut justru semakin berkembang, kini dan di masa depan, dalam bentuk kultural dan bukan dalam bentuk politik. Ini rupanya ditangkap oleh mereka yang bertemu dengan penulis dan, mudah-mudahan, membuat mereka merasa aman dengan Islam.
*****
Sisi lain yang juga disinggung penulis, adalah kekhususan Islam —khususnya, di kawasan Asia Tenggara, yang mengembangkan pendidikan pesantren dengan nama bermacam-macam, seperti pondok di Malaysia-Thailand-Kamboja serta Madrasah di Filipina Selatan. Lembaga tersebut membuat prioritasnya sendiri, yang berbeda dari prioritas pendidikan yang di negara kita dikenal sebagai pendidikan umum. Pendidikan umum itu tidak memberikan tempat penting kepada etika/akhlak, dan sama sekali tidak menghiraukan pendidikan agama. Hal itu berakibat hilangnya pertimbangan moral dari pendidikan dan hanya mementingkan penguasaan ketrampilan dan pengetahuan belaka.
Sebenarnya, kalau ditinjau secara mendalam, sikap “garang” yang ditunjukkan berbagai gerakan-gerakan Islam yang kecil, dan sikap menggunakan kekerasan yang diperlihatkan berbagai elemen teroris di negara kita, bersumber pada kurangnya pengetahuan akan Islam itu sendiri. Dengan mencuatnya manifestasi lahiriyah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi “Barat”, mereka lalu menjadi ketakutan akan kekalahan Islam dari peradaban yang berteknologi maju. Ini tentu saja salah, karena peradaban adalah milik manusia secara keseluruhan, hingga akan terjadi proses perpindahan pengetahuan dan teknologi “Barat” itu ke seluruh peradaban-peradaban lain, termasuk peradaban Islam. Proses pergulatan antara kultur/budaya Islam dengan pengetahuan dan teknologi “Barat” itu, tentu akan mengalami perubahan bentuk di lingkungan masyarakat muslim. Inilah yang tidak pernah ditangkap mereka, hingga mereka melakukan perlawanan yang acapkali berbentuk kekerasan dan tindakan teror.
Ini semua, juga pernah dikemukakan penulis dalam ceramah Maulid Nabi Saw di halaman kantor harian umum Memorandum di Surabaya, beberapa waktu yang lalu. Bahwa, perubahan sosial yang terjadi di Mesir, misalnya, dibawakan atau justru didorong oleh perubahan bahasa dan sastra Arab yang menjadi bahasa dan sastra nasional. Tanpa perubahan bahasa dan sastra Arab sebagai bahasa nasional, perubahan sosial di negeri itu tidak mungkin terjadi. Inilah jasa Dr. Thaha Husein dan murid-muridnya. Sebaliknya, perubahan sosial juga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan bahasa dan sastra nasional, seperti dapat dilihat dalam perdebatan antara Sutan Takdir Alisyahbana dengan Sanusi Pane menjelang Perang Dunia II, walaupun tidak membawa perubahan apa-apa pada bahasa dan sastra Arab di Indonesia. Ia tetap menjadi bahasa dan sastra tradisional yang dibawakan dalam tembang/sya’ir Arab yang demikian banyak ditampilkan di Indonesia kini, dengan iringan musik campuran antara yang lama dan yang baru. Ini terjadi, karena bahasa dan sastra Arab di negeri ini dianggap sebagai “bahasa dan sastra Islam”, karena memang tidak menjadi bahasa nasional. Sebab, bahasa dan sastra nasional kita berasal dari bahasa Melayu, seperti kita ketahui selama ini. Proses yang sangat menarik, bukan?