Kemiskinan, Kaum Muslimin, dan Parpol

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Penulis didatangi rombongan ini di kantornya pada suatu siang. Singkatan nama mereka adalah R, S, H dan F. R menjadi kontraktor dan supplier sebuah perusahaan negara yang besar, si S semula bekerja di sebuah perusahaan swasta dan sekarang menjadi supplier bagi pemerintah daerah di sebuah propinsi. H dan F juga pengusaha yang aktif, tapi penulis tidak bertanya tentang jenis kegiatan mereka. Dua hal penting yang penulis lihat dalam kiprah mereka adalah: mereka pimpinan daerah sebuah parpol, dan dengan demikian menjadi “anak buah” penulis; dan mereka mempunyai SPK (Surat Perintah Kerja) dari Pemerintah Daerah tempat mereka tinggal, untuk menjadi supplier agrobisnis bagi rakyat di tempat mereka tinggal atau pelaksana bisnis.

Yang menarik perhatian penulis, adalah cara berpikir mereka. Di satu sisi, mereka tidak mengandalkan diri pada cara–cara politik lama seperti pembagian kaos oblong dan sejenisnya, dalam meraih perolehan suara melalui pemilu akan datang; dan di pihak lain, mereka langsung menghubungkan masalah politik dengan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, mereka melihat politik sebagai sebuah proses, dan tidak mendasarkan kegiatan politik atas cara-cara usang, melainkan dengan pendekatan menghilangkan kemiskinan.

Dalam bahasa klise, yang mereka perbuat bukanlah memberikan ikan kepada rakyat, melainkan memberikan kail pada mereka untuk mencari ikan sendiri. Ini berarti, tingkat kesejahteraan rakyat, ditentukan oleh masyarakat sendiri, bukan orang lain. Pendekatan baru ini, katakanlah sebuah pendekatan struktural dalam menangani masalah kemiskinan bersifat memberdayakan masyarakat, dan tidak bertumpu pada santunan kepada mereka. Pendekatan seperti inilah yang jarang terlihat dalam pendekatan politik pada masyarakat yang terbiasa dengan janji kosong untuk memberantas kemiskinan, dan hanya menerima santunan materi dan himbauan moral belaka dalam kampanye pemilihan umum.

*****

Sebuah tindakan mengubah kehidupan masyarakat terjadi ketika rakyat Amerika Serikat memilih Presiden Jackson dalam abad ke-19 Masehi. Mereka memilih pemimpin yang mengerti benar mana yang menjadi hak rakyat, dan mana yang menjadi hak perorangan para kapitalis/bangkir /industrialis. Mereka, di mata Jackson adalah orang-orang yang harus melakukan kegiatan ekonomi dalam arti membangun dan membesarkan perusahaan di berbagai bidang tetapi tingkat kesejahteraan rakyat, adalah tanggung jawab presiden dan kongres yang dipilih untuk periode tertentu oleh rakyat. Ini berarti, keduanya tidak boleh dicampur aduk dan pemisahan ini harus tercermin dalam kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan finansial/keuangan.

Ia melihat Bank Sentral Amerika Serikat di samping menjadi alat pemupukan modal negara, juga menyangkut pengelolaan uang pajak penduduk negeri; dan karena itu pengelolaannya ada pada mereka. Maka American Federal Reserved System sebagai Bank Sentral negara tersebut, haruslah diisi dengan pimpinan yang ditunjuk rakyat melalui presiden dan kongres sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ini adalah langkah pertama ke arah Folks Kapitalism (kapitalisme rakyat), yang berbeda dari kapitalisme klasik dari John Stuart Mill. Akibat sikapnya ini, Jackson harus berhadapan dengan para kapitalis/bankir/industrialis yang beranggapan, pemerintah sama sekali tidak boleh campur tangan dalam Bank Sentral.

Pendapat Jackson itu sebenarnya adalah pendekatan struktural, artinya, hanya dengan perubahan struktur menuju pemberdayaan warga masyarakat yang dapat mengurus diri sendiri barulah masyarakat itu sendiri akan terbebas dari kemiskinan. Jika hal ini yang akan dicapai melalui pemilu, dengan sendirinya perubahan itu akan menuju pada hilangnya kemiskinan. Karena terjadi perubahan struktur masyarakat, kalau tadinya rakyat hanya menunggu santunan pemerintah atau pihak-pihak tertentu saja, maka dengan cara pemberian kail ini masyarakat akan mampu memecahkan masalah-masalah ekonomi mereka sendiri. Di sinilah terletak hubungan antara sebuah sistem ekonomi ideal dengan sistem ekonomi yang ada.

Kemampuan rakyat mengubah nasib mereka sendiri dengan bantuan parpol dan sistem politik yang ada merupakan masalah pokok yang dihadapi oleh pemilu yang demokratis dan melayani kepentingan rakyat. Yang dihasilkan adalah para anggota perwakilan rakyat, seperti Dewan Perwakilan Rakyat yang benar-benar bertanggung jawab atas keselamatan negeri dalam arti yang luas, yang berfungsi baik, dengan wewenang-wewenang yang jelas. Dengan cara itulah pembagian wewenang antara pihak-pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif terjaga dalam keseimbangan yang nyata, karena semua berkewajiban melayani masyarakat dan masing-masing tidak mementingkan pelayanan dari masyarakat kepada dirinya.

****

Bagi kaum muslimin hal ini benar-benar merupakan kebutuhan mutlak. Kitab suci al-Qur’ân menyatakan: “Dibuatkan bagi kaum muslimim kehinaan dan kemiskinan” (dhuribat a’laihim al dzillatu wa al-maskanah) (QS al-Baqarah [2]:61), berarti Islam menolak kemiskinan sebagai sesuatu yang langgeng dan tetap, Islam menganggap kedua hal berubah-ubah menurut struktur masyarakat. Dengan demikian, terserah kepada manusia jualah untuk menghapuskan atau melestarikan kemiskinan itu. Tuhan atau nasib tidak terkait dengan hal itu, sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Termasuk di dalamnya struktur masyarakat yang menghapuskan atau melestarikan kemiskinan itu sendiri. Walaupun banyak sekali pemahaman kaum muslimin yang menganggap masalah kemiskinan sebagai kepastian dari Allah, karena itu harus diganti dengan pemahaman lain dari pemahaman itu. Allah akan melestarikan kemiskinan apabila manusia sebagai warga masyarakat tidak mengadakan perubahan melalui sistem politik yang dianutnya sendiri. Jelaslah dengan demikian, manusia menentukan nasib mereka sendiri, dan jika hal itu benar namun tidak dijalankan mereka lalu mempersalahkan Allah.

Dalam hal ini kitab suci al-Qur’ân menyatakan, “Tidaklah kau lihat orang yang menipu agama? Yaitu mereka yang membiarkan anak-anak yatim (terlantar) dan tidak perduli atas makanan orang miskin?“ (Aro’aita al-ladzî yukadzdzibu bi al-dîn fadzâlikâ al-ladzî yadu’ulyatîm wa lâ yakhuddu ‘alâ tha’âmi al-miskîn) (QS al-Maun[107]:1-3) menunjukkan dengan jelas kepada kita adanya orang-orang yang justru memanipulir kesengsaraan anak yatim dan makanan orang miskin demi kepentingan mereka sendiri. Karena manipulasi seperti itu dianggap sebagai perbuatan menipu agama, dengan sendirinya perbaikan harus dilakukan oleh manusia yang sadar untuk sistem politik yang membela kepentingan rakyat. Kesimpulan seperti itulah yang dicapai oleh kelompok muda yang menjadi pimpinan sebuah partai politik di suatu daerah itu, dan inilah yang membahagiakan hati penulis. Perbuatan nyata yang harus menjadi dasar bagi perkembangan sebuah parpol, dan bukannya retorika belaka.