Kiai Dolar Berdakwah
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
GERAK-GERIKNYA memang mirip wanita. Serba luwes, termasuk caranya berbicara dan tertawa yang tampak seakan-akan manja. Belum lagi kegemarannya memukulkan tangan pada lengan orang lain yang diajaknya berbicara untuk menekankan suatu ungkapan yang juga sangat luwes, “Ah, masa begitu, Mas!”
Gaya kewanitaan itu lebih-lebih terlihat dalam ketelitiannya memilih barang dan kepandaiannya untuk tawar-menawar dalam hal apa pun, dengan menunjukkan hal-hal kecil sebagai points untuk tawarannya sendiri.
Dan, terakhir, kepandaiannya memasak yang sudah legendaris. Sewaktu ia menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar di Kairo, ia adalah sandaran kaum ibu Kedutaan Besar Rl dalam keperluan masak-memasak dan hidangan untuk resepsi dan sebagainya. Pantaslah kalau ia sering diselorohi dengan panggilan “tante”.
Penampilan seperti itu ternyata bukan datang dari seorang eks pria yang kemudian menjadi wanita “penuh” dengan cara berganti kelamin, seperti Vivian Rubianti beberapa tahun yang lalu. Ia muncul dari seorang kiai yang memiliki ilmu agama yang cukup dalam dan lama sekali hidup di lingkungan pesantren.
Sejak masa kanak-kanak, ia sudah bergumul dengan kitab-kitab kuno keagamaan, yang sejak awal masa pertumbuhannya sudah terikat dengan norma-norma keagamaan dengan nilainya yang menetap. Sebagai murid Kiai Idris selama bertahun-tahun di Tebuireng semasa usia belasan tahun, ia telah terlatih dalam ilmu-ilmu keagamaan tradisional, bahkan sebelum ia berangkat meneruskan pendidikan dalam hukum agama (syariat) Islam di Timur Tengah.
Sepenuhnya identitas kekiaiannya memiliki kredibilitas penuh, didukung oleh peranannya sebagai salah seorang mubaligh di ibu kota dewasa ini. Lebih terkenal dengan gelar ustadz, karena penampilannya yang membawakan vitalitas orang muda (walaupun sedikit banyak sudah di-“rasuki” gaya jadi orang tua), ia merupakan sasaran kajian yang menarik untuk diperhatikan.
Bukan karena gaya kewanitaannya itu, bukan karena vitalitas usia muda yang diperlihatkannya, dan bukan karena ia kini sudah mulai mengarah pada sikap menjadi orang tua.
Yang membuat kiai ini menarik adalah pandangan dunia yang dikembangkannya, yang sepenuhnya berlandaskan keyakinan pada kebenaran ajaran-ajaran agama yang dihayatinya sejak kecil. Pandangan dunia yang sering diharapkan akan memunculkan ke-“khusyuk”-an (asetisme) hidup yang jauh dari perhatian kepada masalah-masalah duniawi.
Diharapkan dari seorang kiai hasil didikan Kiai Idris Tebuireng, dan kemudian dididik di Al-Azhar, untuk lebih tertarik kepada masalah-masalah ukhrawi saja.
Paling jauh hanya akan menyinggung masalah perlunya kembali kepada akhlak perorangan yang berlandaskan ajaran agama, tak akan menyimpang dari acara lama “amar ma’ruf nahi munkar” yang biasa dikumandangkan oleh para mubalig dalam uraian-uraian mereka. Atau, kalau tidak begitu, akan mengambil sikap agresif, menyerang tanda-tanda kerusakan moral, terutama di kalangan muda, sebagai bukti dari kerusakan akibat kehidupan modern yang sedang merayap ke bumi Indonesia juga.
Ternyata, bukan itu yang muncul dari Kiai Masyhuri Syahid. Ia justru memberikan perhatian sangat besar kepada soal-soal duniawi, terutama perdagangan. Maklum, ia dulu juga senang berdagang di kalangan masyarakat Indonesia di Kairo.
Ia senang dengan isu-isu kemasyarakatan, karena ia terlibat dalam berbagai usaha sosial. Di samping menjadi sekretaris Yayasan Ikatan Alumni Timur Tengah di Jakarta, ia juga aktif dalam sebuah lembaga penganjur transmigrasi dan sebuah organisasi antar-pedagang kecil. Bahkan, ia memotori serangkaian penataran teknis elementer di bidang pengetahuan usaha bagi para anggota ikatannya, pedagang kecil dari berbagai sudut Jakarta, bekerja sama dengan PPN (Pusat Produktivitas Nasional). Sorban yang tersampir di bahunya tidak menghalanginya untuk melakukan transaksi dagang dengan siapa pun.
Tidak heranlah kalau muncul juga mutiara keagamaan, tidak sedikit yang menggambarkan kecenderungan dan pandangan hidupnya itu. Seperti penafsiran “kontemporer”-nya atas ayat Alquran “jika kalian mendapatkan teguran (baik). balaslah dengan tegur sapa yang lebih baik” (wa idza huyyitum bitahiyyatin fa hayyu bi ahsana minha).
Tahiyyah, menurut Kiai Masyhuri, bukan hanya berbentuk tegur sapa secara vokal atau oral belaka. Ia memiliki arti lebih jauh, hingga mencapai semua perbuatan yang menunjukkan penghargaan dan kepercayaan kepada kita. Kalau orang membeli barang yang kita produksikan, itu berarti tahiyyah, tegur sapa dalam arti yang paling dalam. Nah, kita wajib menjawabnya dengan tahiyyah lebih baik, tegur sapa non-oral lebih baik: peningkatan kualitas barang yang kita tawarkan kepada pembeli.
Ini adalah esensi perbuatan membalas tahiyyah yang baik dengan tahiyyah lebih baik. “Ayat ini menurut saya adalah ayat advertensi,” demikian KiaiMasyhuri dalam salah satu acara tablighnya.
Herankah kita kalau ada penamaan untuk kiai yang satu ini, dengan pesan agamanya yang begitu kontemporer, sebagai “kiai dolar”?