Kiai Khasbullah dan Musuhnya
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
KIAI Khasbullah Salim almarhum memang orang luar biasa. Orang Sedan (Rembang) yang kemudian tinggal di Jombang ini senang dengan keterusterangan sikap dan ucapan. Lugas dalam berbicara, teguh dalam sikap, berani melawan yang dianggapnya tidak benar. Sering kali hanya pakai “celana kiai” (celana dalam “midi” sampai sedikit di bawah lutut, biasanya dibuat dari kain belacu) sonder kaus dalam, kiai yang satu ini menganggap penegakan hukum agama sebagai inti perjuangan hidupnya. Keseluruhan hidupnya diabadikan kepada mengajar orang banyak di kampungnya akan banyak aspek kehidupan individual dan masyarakat yang belum sesuai dengan perintah Islam.
Pendekatannya langsung ke pokok persoalan. Tidak selesai dengan adu argumentasi, kalau perlu adu jotosan. Mula-mula mendirikan ranting NU di Desa Denanyar harus berkelahi fisik, karena diejek terus-menerus oleh “orang abangan” di tempat itu. Tidak heranlah sewaktu ia pindah ke Desa Rejosari (delapan kilometer ke barat daya), segera ia terlibat dengan kasus baru yang dihadapinya. Di desa yang bersebelahan, Gadingmangu, muncul gerakan baru bernama Darul Hadith. Di bawah pimpinan “Amirulmukminin” Abu Hasan Ubaidah, gerakan itu kini memiliki nama lain, yaitu Islam Jemaah, yang sempat membuat heboh beberapa waktu yang lalu.
Di tahun-tahun lima puluhan belum ada Majelis Ulama Indonesia. Jadi, Kiai Khasbullah harus berjuang sendirian melawan “bahaya dari timur” desanya itu. Sesuai dengan kelugasan seorang agamawan yang berpegang teguh pada keyakinan agama yang dianggapnya benar, ia segera mengajukan tangan berdebat.
Diceritakannya kepada penulis bahwa perdebatan berjalan dua kali di muka umum dalam rapat terbuka di atas mimbar. Pertama kali Kiai Khasbullah mengajukan syarat publik yang datang yang akan menjadi juri. Dimintanya para pengikutnya untuk memenuhi tempat perdebatan. Sewaktu adu argumentasi sudah mencapai puncaknya, dan Kiai Khasbullah tidak berhasil mematahkan argumentasi lawan, ia langsung berteriak “Siapa yang benar?” dan publik langsung membenarkan ia. “Satu nol untuk pihak saya,” katanya.
Kali kedua, pihak Darul Hadith tidak mau dengan syarat begitu itu. Kembali adu argumentasi berlangsung secara bertele-tele, saling menyalahkan. “Setelah capek saya berdebat dan dia kelihatan tidak akan menyerah, langsung saya pukul dia. Saya menang lagi, dua nol untuk golongan saya,” ucap kiai kita ini dengan polosnya.
Sudah tentu perkembangan gerakan Ubaidah itu tidak terhenti hanya dengan score dua-nol itu. Homogenitas paguyubannya dan kohesi masyarakatnya membuat Darul Hadith semakin kokoh di Gadingmangu.
Bagaimana halnya dengan Kiai Khasbullah? Beliau mengatakan kepada penulis beberapa waktu sebelum wafatnya beberapa tahun yang lalu: “Biar saja. Gurunya Ubaidah dulu, almarhum Kiai Zaid Semelo, pernah bilang kalau kenakalan Ubaidah tidak usah digubris. Nanti, kan, hilang sendiri kenakalan itu kalau dia mati. Ini omongannya wali, Iho! Lagi pula sudah ada saling pengertian saya dengan pengikutnya di Gadingmangu. Tidak kita apa-apakan, asal mereka tidak tablig ke desa lain di sekitarnya serta tidak membeli tanah di desa saya ini. Biar saja, becik ketitik ala ketara.”
Ternyata, kiai yang sepintas lalu tampak kasar sikapnya ini, karena kelugasannya dalam berbicara dan bersikap, menyimpan kearifannya sendiri. Pertentangan pendapat tidak semuanya dapat diselesaikan dan, lebih-lebih lagi, tidak akan terselesaikan dengan melarang begini atau begitu. Adakalanya toleransi lebih memberikan hasil sebagai upaya menahan perluasan pengaruh lawan.
Dalam bahasa politik luar negerinya mendiang Dulles, sikap menahan perluasan pengaruh ini diistilahkan sebagai containment policy. Cuma saja, Dulles tidak toleran kepada pihak lawan. main kepung saja dengan pakta-pakta pertahanan, karena ia tidak searif Kiai Khasbullah.
Mungkin Majelis Ulama Indonesia, yang pernah mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk melarang Islam Jama’ah, dapat belajar banyak dari “strategi perjuangan” model Kiai Khasbullah ini. Setidak-tidaknya, toleransi kepada gerakan-gerakan “sempalan” (splinter groups) dalam Islam harus diperhitungkan sebagai salah satu jalan terbaik untuk mendewasakan sikap hidup umat secara keseluruhan.
Bukankah kasihan umat yang harus melihat musuh di setiap pojok jalan dan seluruh penjuru angin?