Koperasi Sudah Beranjak dari Utopia?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
BUNG Hatta seorang idealis tulen. Jauh semasa ia masih inlander, mahasiswa negara jajahan yang belajar di “negeri induk” Nederland itu sudah bermimpi tentang kemerdekaan. Perjuangan kemerdekaan adalah panggilan hidupnya, tanpa memperhitungkan suatu kali akan “tertinggal kereta api” oleh teman-temannya yang hanya memikirkan karir pribadi. Juga menjadi seorang pemimpin demokrasi, ketika masyarakat membiarkan konstitusi diinjak-injak teman sejawatnya sesama proklamator, Bung Karno. Bahkan, lebih jauh, bersedia mengundurkan diri dari jabatan nomor dua di republik ini sebagai wakil presiden ketika ia melihat demokrasi disalahi secara mendasar. Mengidealisasikan kemerdekaan di kala kaum penjajah sedang berada di puncak kekuasaan dan menolak menerima tindakan menginjak-injak demokrasi hanya mungkin diperbuat seorang idealis tulen. Namun, kedua tindakan di atas ternyata masih jauh lebih sehat dan masuk akal ketimbang impian idealistisnya yang satu lagi: membangun ekonomi yang bersendikan koperasi di bumi nusantara Atau, menggunakan ungkapan zaman sekarang, menjadikan koperasi saka guru perekonomian nasional.
Orang lain yang tidak memahami sepenuhnya implikasi impian tersebut bersorak-sorai mendukungnya sambil tetap saja tidak tahu apa yang harus dilakukan. Para ekonom yang mengerti implikasi, semua memicingkan mata dan mengernyitkan dahi. Mustahil, sama sekali tidak berdasar kenyataan. Namun, impian seorang koproklamator tidak bisa dikesampingkan begitu saja, apalagi terang-terangan dilawan. Apalagi ia berhasil mengumpulkan dukungan konkret, hingga undang-undang dasar negeri mengakui tumpuan harapannya sebagai salah satu sektor utama perekonomian nasional. Tidak bisa dilawan, koperasi harus diterima sebagai kenyataan konstitusional di samping sektor usaha swasta dan sektor umum (perusahaan negara).
Tetapi, para ahli memang pandai melawan. Cukup dengan strategi sederhana saja: biarkan rumusan UUD 1945 itu tetap ditulis di atas kertas tanpa pelaksanaan berarti. Jangan terlalu serius ditangani, cukup sikap seperti itu, sisanya serahkan saja pada “mekanisme perekonomian”. Bangsa yang belum siap berkoperasi, toh tidak akan mampu mengembangkannya di hadapan perusahaan negara. Itu dulu, di zaman Orde Lama.
Sekarang, lain lagi. Biarkan saja mati di hadapan persaingan sektor swasta yang ditopang masuknya modal asing melalui perusahaan patungan dan perusahaan multinasional. Mati tenang, mati wajar, karena proses “seleksi alamiah”. Untuk pemanis, biarkan saja sekian persen anggaran negara “dihadiahkan” kepada sektor koperasi. Biar terus-menerus mencoba pelbagai proyek rintisan. Lama-kelamaan akan bosan sendiri. Malah, lebih baik lagi, karena tenaga-tenaga perintis di sektor itu akan berpindah ke sektor-sektor lain, sudah tertempa oleh pengalaman pahit dan menjadi tenaga yang tahan uji. Bibit unggul untuk sektor usaha swasta. Dalam bahasa klasik, koperasi akan mengalami “perkembangan yang terhenti” (arrested development).
Ternyata, perkembangannya menjadi lain. Kini omzet koperasi sudah terbilang triliunan rupiah. Itu pun ketika yang mengurusi masih sebuah direktorat jenderal yang dipindahkan kian ke mari dari satu ke lain departemen. Dan diawasi sambil diarahkan secara konsepsional oleh lembaga aneh bernama menteri muda. Sekarang sudah menjadi departemen penuh, dengan menteri betul-betul penuh. Tuntutan keseimbangan dan pemerataan akan muncul dari departemen ini. Setidak-tidaknya, rencana pengembangan akan berskala besar guna memungkinkan sektor koperasi memperoleh bagian lebih besar lagi dari “kue pembangunan nasional”, untuk meminjam istilah sebuah mafia ekonomi.
Di sinilah sebenarnya masalah paling besar baru muncul bagi koperasi. Mampukah ia merebut tempat yang sama besar dengan sektor-sektor lain? Bisakah ia melepaskan diri dari “tahap rintisan” dan tahap “perkembangan dini” yang dijalaninya? Idealisme kemerdekaan Bung Hatta kini telah tercapai. Idealismenya tentang demokrasi akan tercapai suatu ketika nanti. Bagaimana dengan impiannya tentang koperasi yang menyebabkannya memperoleh gelar Bapak Koperasi? Mampukah koperasi beranjak dari kedudukan utopia belaka?
Kalau mampu, itu berarti penghentian kecenderungan manusia Indonesia untuk semakin menampakkan sifat binatang ekonomis. Kalau gagal, berarti hancurnya sebuah impian luhur dan terbenturnya kita pada kenyataan tidak adanya jalan lain dari menjadi binatang tadi.