Lari
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Di suatu pagi, beberapa hari menjelang Lebaran yang lain, penulis turun di Cengkareng dari perjalanan ke Jombang dan Blitar melalui Surabaya. Dalam kepulangan ke Ciganjur dari airport itu, penulis mendapati jalan tol menuju Cawang via Tanjung Priok penuh dengan mobil dan kendaraan-kendaraan lain. Jelas, itu adalah antrean kendaraan yang akan menuju ke Bekasi dan Bogor dari daerah jantung kota Jakarta. Karenanya, terpaksa mobil penulis banting setir ke arah kanan, melalui tol Simpruk. Ternyata memang benar, jalan sangat lengang, hingga pintu tol di Semanggi, tempat penulis berbelok ke kanan menuju Jalan Soedirman.
Sebaliknya dari arah Cawang terdapat antrean mobil yang sangat panjang dan lalu lintas yang sangat padat, menuju tol Tangerang. Berarti dengan demikian, sekian banyak orang yang berkendaraan pribadi maupun umum itu meninggalkan Jakarta ke arah timur dan ke barat dalam jumlah yang sangat besar. Bukankah ini aneh, mengingat puasa baru berjalan lima belas hari dan Lebaran masih dua minggu lagi baru datang?
Langsung saja pertanyaan ini terjawab, sesampainya di rumah karena ada pesan per telepon. Melalui pesan itu, seseorang menyampaikan pada penulis bahwa hari raya Imlek tahun ini sedikit terganggu, dengan adanya kampanye berbisik agar hari besar itu diajukan sebulan. Seperti diketahui, Imlek tahun ini jatuh pada bulan Februari 1999, tetapi oleh kampanye itu dimaksudkan agar bertepatan dengan pertengahan Januari pada tahun yang sama.
Dengan kampanye berbisik itu diharapkan agar orang-orang Cina berlebaran seperti di RRC, tetapi pada waktu penulis melakukan checking, di sana Imlek juga jatuh pada pertengahan Februari. Jadi, seperti halnya yang terjadi di Singapura, Saigon, Manila, dan Hong Kong.
Tujuan kampanye berbisik itu adalah agar orang-orang Cina bersiap diri berhari raya, beberapa hari sebelum hari raya ldul Fitri. Seperti diingat, tahun ini hari raya tersebut jatuh pada tanggal 19 Januari 1999. Apa maksud dari kampanye berbisik itu? Mudah saja untuk diterka, yaitu agar orang Cina dan kaum muslimin memborong barang dari pasar dan toko-toko dalam waktu yang hampir bersamaan. Dengan demikian, diharapkan harga barang akan naik dengan tajam dan perekonomian menjadi lebih labil. Dan, dengan demikian pula pengentasannya dari krisis yang melanda kehidupan kita akan menjadi lebih sulit.
Jadi, tujuannya sudah sangat jelas dan perhatian orang seperti penulis juga menjadi terbangun oleh kenyataan bahwa ada upaya destabilisasi perekonomian kita pada saat-saat menjelang akhir tahun anggaran kita.
Bukankah dengan demikian, upaya mengatasi krisis yang terjadi menjadi lebih sulit untuk dilaksanakan, dan dengan begitu membuat lebih tertunda lagi upaya ke arah perbaikan. Dengan kata lain, terjadi suatu hal yang sangat penting, yaitu terjadinya keadaan chaos atas perekonomian kita dan sulitnya dilakukan perbaikan seperti halnya yang dimaksudkan sekarang.
Lantas, apa hubungannya dengan antrean mobil dan kendaraan umum lain yang menuju ke arah barat dan timur dan Jakarta? Jawabnya juga mudah, yaitu banyaknya orang yang mau lari dari Jakarta. Bukan hanya orang-orang yang mau berlebaran saja yang melakukan mudik, karena mereka itu tentunya baru berangkat pada hari minggu. Antrean pada saat dini itu, menggambarkan kenyataan lain yang secara sosiologis dinamakan pelarian.
Pelarian itu, dilakukan oleh orang-orang yang menghindari hari raya Imlek yang dipercepat itu. Bukankah para pemilik dan para penumpang kendaraan itu tidak mau merayakan hari raya Imlek dipercepat? Karena itu, mereka melarikan diri dengan memenuhi hotel-hotel yang berada di luar kota dan memnggalkan rumah mereka di Jakarta, tanpa merayakan hari raya Imlek yang dipercepat. Hal itu dapat dimengerti, karena sulit bagi orang untuk merayakan Imlek tahun ini, hingga mengetahui langkah apa yang harus diambil. Kalau kampanye berbisik itu tidak diikuti, dikhawatirkan ia berasal dari pemerintah dan akan mempengaruhi posisi mereka yang sudah sangat sulit itu.
Tetapi kalau didengarkan, jangan-jangan orang Islam marah karena kegiatan berhari raya di Jakarta yang menjadi pusat perekonomian nasional kita akan terpengaruh. Kalau harga-harga naik dengan tajam, di saat menjelang Lebaran, dikhawatirkan reaksi golongan Islam akan sangat besar, karena itu yang terbaik adalah melarikan diri.
Sikap kolektif seperti ini, memang tidak direncanakan dari semula. la merupakan respons dari meluasnya kampanye tersebut. Dengan kata lain, gangguan pada kehidupan normal masyarakat dapat berakibat luas di segala bidang, seperti dicontohkan oleh kasus ini. Memang, kita bisa melihat adanya kepanikan yang terjadi dari ungkapan banyak orang tentang hal ini. Dengan kata lain, pelarian di atas hanyalah sebuah bentuk dari sekian macam respons yang diambil dari sekian golongan Cina terhadap krisis yang menimpa kita sebagai bangsa saat ini.
Melalui kasus ini, kita dapat melihat berbagai kemungkinan, di satu pihak kita bisa melihat adanya disintegrasi bangsa ini di bidang perekonomian. Dikombinasikan dengan tuntutan agar dilakukan federasi saat ini, maka gagasan kebangsaan akan mengalami pukulan yang sangat berat. Hingga, lebih mudah pula upaya memecah belah bangsa ini melalui kampanye berbisik tadi. Tetapi, langkah melarikan diri dari Jakarta dapat pula bersifat positif. Dan, kalau kita baca orang Cina ber-Imlek pada bulan ini, bukankah ini semakin meneguhkan aspek-aspek budaya selama ini, yaitu ketundukan pada nilai-nilai bersama yang selama ini kita anut?
Menarik juga untuk mengamati kasus pelarian di atas, bukan?