Lebaran tanpa Takbiran
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
SUATU hal yang langka selama hampir 50 tahun Indonesia merdeka telah terjadi selama tiga tahun berturut-turut terjadi dua Idul Fitri. Pekan lalu, Nahdlatul Ulama (NU) berbeda dengan pemerintah dalam menetapkan jatuhnya 1 Syawal alias Idul Fitri itu.
Yang menggembirakan adalah kenyataan bahwa suasana tidak diracuni oleh perbedaan hari berakhirnya puasa. Di DKI Jakarta, mereka yang menghentikan puasa pada hari Minggu, 13 Maret, tidak menyusulinya dengan bersalat Id pada hari yang sama. Banyak di antara mereka melaksanakan Salat Id pada hari Senin, 14 Maret 1994. Setidaknya, ini merupakan sikap tenggang rasa untuk menghormati mereka yang meyakini bahwa pada hari itu adalah akhir puasa Ramadan.
Kondisi ini dalam kitab kuning, kitab yang membahas fiqh atau hukum Islam, dikenal sebagai keadaan istikmal. Bagi orang-orang NU, dalam keadaan seperti ini Salat Id lalu menjadi tata krama sosial, bukan lagi ibadah yang berstatus sunah muakadah menurut kitab kuning. Karena sifatnya sebagai tata krama sosial itu, tidak kurang pula orang NU yang sengaja tidak bersalat Id tahun ini, termasuk penulis. Sebabnya, langkanya masjid yang menyelenggarakan salat Id pada hari itu. Maka ibadah yang sangat diseyogiakan (sunah muakadah) itu, lalu, ditinggalkan. Memang tak apa-apa, Salat Id tidak wajib hukumnya.
Keadaan di DKI Jakarta berbeda dengan yang terjadi di pantai utara Pulau Jawa, dari Indramayu hingga Banyuwangi. Juga di daerah-daerah lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di daerah-daerah tersebut sekitar 65% masjid melaksanakan Salat Id pada hari Minggu, 13 Maret. Sudah tentu lengkap dengan takbirannya, walaupun tanpa takbiran keliling seperti tahun-tahun lalu. Ini pun menunjukkan adanya sikap menghargai mereka yang masih akan berpuasa pada hari tersebut.
Di Jakarta, dengan sendirinya pada Sabtu malam Minggu itu tidak terdengar takbiran sama sekali. Sekali-sekali kelompok mayoritas Islam di Betawi harus berperilaku seperti kelompok minoritas. Harus tahu diri dan membatasi keinginan ke hadapan aparat pemerintahan. Apalagi pada aparat di tingkat kelurahan yang suka memperlakukan pihak yang dianggap salah secara brutal.
Mudah-mudahan situasi seperti itu tidak berimbas negatif bagi Golkar dalam Pemilu 1997 nanti. Imbas negatif yang datang dari perlawanan terhadap tekanan berlebihan di bidang agama.
Berbedanya NU dan pemerintah dalam menetapkan berakhirnya puasa Ramadan dan jatuhnya Idul Fitri juga merupakan sebuah kenyataan empiris yang sangat menarik bagai kajian antropologi. Ini bukan hanya karena berhadapannya dua kultur: “kultur atas” dan “kultur bawah”. Juga bukan hanya sekadar perubahan nilai saja, seperti pola “konversi interen” (inner conversion) dari telaah Geertz atas budaya Hindu di Bali. Yang lebih menarik adalah melihat bagaimana berhadapannya kultur atas-kultur bawah dan konversi interen itu berlangsung dalam suasana perbenturan kultural yang tidak sepenuhnya terjadi, karena adanya manajemen konflik politik yang canggih. Baik kecanggihan di pihak pemerintah, maupun di pihak NU sendiri.
Di satu pihak terlihat dengan nyata keinginan pemerintah untuk menghargai cara penetapan 1 Syawal dan berakhirnya puasa Ramadan dengan menggunakan rukyatul hilal (penglihatan bulan). Terlepas dari masih terputusnya jalur hubungan antara kantor Pengadilan Agama di daerah tingkat II (kabupaten atau kota madya) ke pusat syaraf Departemen Agama, sikap dasar menghargai rakyatul hilal itu sendiri sudah menghindarkan terjadinya perbenturan penuh antara NU dan pemerintah. Hal itulah yang terasa sulit dicapai dalam empat tahun terakhir masa “pemerintahan” Munawir Sjadzali di Departemen Agama.
Faktor ini sangatlah penting untuk dipertimbangkan karena sekitar 80% pimpinan NU di daerah dan tingkat pusat masih berpegang pada rukyah. Pendapat pimpinan NU, seperti H.A. Chalid Mawardi, yang tahun ini menyatakan ikut “Lebaran pemerintah” tidak memiliki gema apa-apa di kalangan warga NU. Di samping tidak relevan dengan pandangan umum di NU, juga karena ia tidak memiliki kompetensi membahas masalah agama seperti itu.
Di pihak lain, sikap pimpinan NU menyertakan sejumlah ulamanya dalam berbagai kegiatan penetapan hari raya Idul Fitri, mencerminkan kemauan memahami pendapat orang lain. Para ulama NU itu diikutsertakan dalam berbagai tim Departemen Agama di daerah-daerah yang melakukan rukyatul hilal.
Tidak terjadinya perbenturan penuh antara dua sistem nilai yang berbeda, dengan sendirinya memungkinkan terjadinya proses penyesuaian budaya yang dapat saja berbentuk akulturasi maupun inkulturasi pada kedua belah pihak Bahkan, orang-orang NU cukup banyak yang bersalat Id pada hari Senin, 14 Maret, dengan alasan bertata krama sosial. Ini menunjukkan besarnya kesetiaan melakukan penyesuaian budaya (culture adjustment) di kalangan warga NU yang berada di Jakarta atau kota-kota besar lain.
Sebaliknya, kesediaan Departemen Agama untuk mempertimbangkan menggunakan rukyatul hilal secara sungguh juga merupakan sebuah penyesuaian budaya yang tidak kecil artinya.
Sangat menarik untuk ditelusuri lebih jauh, tentang penyesuaian budaya ini.