Letak Umat Islam dalam Arus Masyarakat Indonesia
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kalau kita berbicara masalah umat, tidak bisa lepas dari bangsa dan negara kita secara keseluruhan. Ini yang harus diingat. Karena, sering kali kalau berbicara masalah umat Islam kita lupa bahwa umat Islam mengalami proses sendiri secara utuh. Karena itu, lebih dahulu kita harus melihat posisinya.
Harus kita perhatikan bahwa kaum muslimin saat ini mengalami atau sedang berada pada posisi yang ambivalen. Berwawasan atau berkeadaan ganda. Di satu pihak, kaum muslimin dalam keadaan terbelakang. Relatif lemah jika dibandingkan dengan kelompok lain dalam masyarakat kita. Terutama belum mempunyai peluang atau tidak mempunyai kemampuan memanfaatkan peluang dalam persaingan dengan pihak-pihak lain.
Boleh dikata situasi minus kalau yang dimaksud umat Islam ini hanyalah yang taat beribadah. Tetapi kalau yang dimaksud umat Islam itu adalah semua orang yang beragama Islam di Indonesia-sawaun kanuu muta’abbidina au ghainhim, tentu lain lagi. Kalau memang dilihat dari sudut itu tentu kaum muslimin kuat. Presiden beragama Islam, wakil presiden, para menteri, para panglima, pegawai pemerintah semuanya mayoritas kaum muslimin. Kaum muslimin yang demikian luas itu tentu tidak bisa dikatakan lemah. Namun, kalau kaum muslimin atau umat Islam kita batasi hanya mereka yang aktif pada gerakan-gerakan keislaman-islamic movement atau al harakah al islamiyah akan terasa bahwa kita terbelakang.
Akibat dari rasa keterbelakangan ini, muncul tuntutan yang bermacam-macam pada diri kita. Artinya, kita merasa tertinggal. Oleh karena itu, harus maju. Kita merasa tidak diberi kesempatan, karena itu, harus memperoleh kesempatan. Kita merasa tidak terwakili dalam media massa Islam yang kuat dan sebagainya. Rasa ketertinggalan ini menimbulkan tuntutan-tuntutan yang menyangkut semua bidang kehidupan.
Namun, sebenarnya di pihak lain, kaum muslimin tidak saja minus. Ada juga plusnya. Yaitu sebenarnya kaum muslimin sekarang berada pada posisi tawar-menawar yang sangat kuat dengan siapa pun di negeri kita. Kalau kita batasi pengertian umat ini pada gerakan-gerakan Islam.
Kita lihat saja yang namanya ICMI itu. Orang yang tadinya ladinalahu, sekarang bisa begitu rupa berislam-islam. Kira-kira begitu. Para rektor, para menteri, birokrat-birokrat, dan lain-lain yang dulunya tidak berani memakai identitas Islam, sekarang berebut menjadi pemimpin Islam. Berebut dengan kita-kita yang sudah mapan. Lalu, ada pemimpin Islam baru. Yang lama masih intens, berfungsi penuh. Hal ini di bawah, kelihatan betul. Apalagi NU, bupati-bupati, para dandim bukan main mengistimewakan. Yang baru (ICMI) jelas diberi prioritas juga. Dengan demikian, kekuatan lama dan kekuatan baru sekarang berpacu, kalau tidak boleh dikatakan berkelahi. Berpacu dalam suatu proses menguatnya kaum muslimin. Jadi ini plus, bukan minus. Itu tampak menonjol sekali.
Mengapa bisa terjadi proses ini? Sebenarnya, ada dua perkembangan yang saling bertentangan selama Orde Baru (Orba). Hubungan antara Islam dengan negara (pemerintah). Negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah. Di satu pihak pemerintah berdasarkan doktrin-doktrin yang ada, telah melakukan upaya, pengikisan aliran (dealiranisan). Boleh juga dikatakan deideologisasi. Kita ingat tahun 1950-an atau 1960-an, betapa masyarakat kita ini terbelah-belah dalam sekian aliran. Aliran komunis, nasionalis, Islam, sosialis, murbais. Bermacam-macam aliran ada di negeri kita.
Yang Islam juga demikian. Ada reformis, tradisionalis, dan masih banyak macam pembagian. Bahkan sudah sampai sektor. Tradisional diwakili oleh dua: tarikat dan nontarikat. Sampai ada partai tarikat.
Ini menimbulkan kemelut. Akhirnya, terjadi pemberontakan demi pemberontakan. Untuk memenangkan aliran masing-masing. Tetapi akhirnya disudahi dengan kesepakatan. Tidak pakai aliran-aliran, yang penting Pancasila. Semua paham aliran dikikis habis. Termasuk Islam. Ada proses depolitisasi Islam, ada deideologisasi Islam.
Islam berkembang tidak sebagai aliran politik, tidak sebagai ideologi, tetapi sebagai agama, agama yang murni, mujarradu an as–siyasah. An as–siyasah artinya an syakli siasi dari bentuk-bentuk politik tertentu. Dengan kata lain, tidak boleh ada partai politik yang mewakili Islam lagi. Ini dengan konsekuen dilaksanakan oleh Orba.
Pertama-tama melalui monoloyalitas-kesetiaan tunggal KORPRI hanya kepada partai pemerintah. Dalam hal ini kepada Golkar. Akibatnya, porak poranda kekuatan politik Islam. Termasuk waktu itu NU sebagai kekuatan politik formal. Partai Nahdlatul Ulama. Ini tahun 1971.
Disusul tahun 1973, oleh proses penyederhanaan partai-partai. Jumlah partai Islam sekian banyak akhirnya diringkas menjadi satu: Partai Persatuan Pembangunan. Namanya persatuan, tetapi isinya persatean. Saling tusuk-menusuk.
Kemudian tahun 1973 sampai kira-kira 1984, terjadi tahap baru. Yaitu penanggalan ideologi Islam dari setiap lembaga, termasuk NU menyatakan diri keluar dari politik. Artinya, secara organisatoris tidak terkait lagi dengan kekuatan politik mana pun termasuk PPP yang semula didirikannya. Muhammadiyah lebih dahulu ketika kalah di Parmusi, langsung dia menyatakan diri lepas dari politik.
Disusul tahun 1984, penetapan Pancasila sebagai asas satu-satunya bagi organisasi politik. Dicanangkan mula-mula oleh Presiden pada tahun 1983. Kemudian dilanjutkan dengan penerimaan asas Pancasila ini oleh semua organisasi yang dipelopori oleh Nahdlatul Ulama, tahun 1983. Yaitu Munas Situbondo diperkuat oleh Muktamar pada tahun 1984.
Ini adalah tahap ketiga dari proses dealiranisasi politik atau deideologisasi Islam. Boleh dikata juga depolitisasi Islam. Artinya, Islam tidak lagi menjadi kekuatan politik.
Secara formal hal itu dilakukan oleh PPP dalam Muktamar 1985. Di sana PPP tidak lagi menjadi partai Islam. Tidak tahu sekarang bagaimana posisinya setelah Muktamar 1990 lalu. Islam diletakkan sebagai apa. Apa program, apa yang lain saya tidak tahu. Tetapi yang jelas apa pun yang dibuat PPP ia sudah tidak lagi berbicara atas nama Islam sebagai ideologi. Kalau toh dia bisa lakukan hal itu–pengislaman bisa melalui program saja bukan lagi dari dasarnya atau ideologi.
Proses deideologisasi ini tadinya diandaikan atau diperkirakan akan mengakibatkan susutnya kekuatan politik Islam. Sebagai kekuatan politik bukan sebagai wadah politik. Dianggap kekuatan politik Islam juga akan surut sebagaimana halnya kekuatan politik kaum nasionalis kaum lain-lain juga surut. PKI malah habis. Ideologi atau aliran kaum politik besar tahun 1950 atau 1960-an diharapkan dengan penataan politik itu akan surut. Termasuk kekuatan politik Islam.
Diandaikan Islam akan terserap ke dalam sejumlah kekuatan yang sudah ada, yaitu PPP, Golkar, dan PDI. Kemudian organisasi-organisasi Islam tidak akan lagi bisa mewakili kepentingan Islam sebagai kekuatan politik. Namun dalam kenyataan, keadaan sebaliknya yang terjadi. Dalam kenyataan kekuatan politik Islam malah semakin membesar. Apakah itu Muhammadiyah, apakah itu Nahdlatul Ulama, ataukah itu kelompok-kelompok Islam di dalam Golkar. Misalnya, MDI, GUPPI, Satkar Ulama, dan lain-lain.
Juga kekuatan Islam di PPP, sampai hari ini hanya orang Islam isinya. Yang belum tampak kuat dan akan kuat pula akhirnya di dalam PDI. Kemudian di dalam ABRI muncul bukan sebagai kekuatan politik, melainkan kecenderungan memahami kepentingan golongan Islam. Di dalam ABRI juga semakin kuat. Dan di dalam birokrasi pemerintahan, hal itu tercermin di dalam munculnya kaum birokrat Islam yang membentuk kekuatannya sendiri. Terakhir melalui ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Itu semua kekuatan politik yang informal. Tidak formal berbentuk wadah politik Islam. Tetapi bagaimanapun juga mempunyai kekuatan untuk memperjuangkan kepentingan Islam di dalam lingkungan pemerintah. Semua itu lahir, kita lihat justru dalam masa Orde Baru, setelah tahun 1970-an. Kekuatan formal politik Islam terpatahkan, justru program-program Islam dilahirkan Orde Baru.
Kita lihat UU Peradilan Agama, UU sistem Pendidikan Nasional, yang justru menguntungkan pendidikan agama. Kita lihat juga hal-hal yang tidak diundangkan mesti dilaksanakan semacam kegiatan dari Yayasan Amal Bhaku Muslim Pancasila dan lain-lain. Bahkan ibadah haji Pak Harto itu menjadi kekuatan plusnya umat Islam.
Jadi, sebenarnya ada perkembangan menaiknya kekuatan politik informal–kekuatan politik yang tidak resmi dari golongan Islam.
Satu pihak kita terbelakang, di pihak lain kita sangat maju. Ini akhirnya menimbulkan keadaan yang sebenarnya rumit karena kompleksitasnya. Yang sayang kita tidak menyadarinya sebagai sesuatu yang sangat simpel, sangat sederhana. Akibatnya, lalu keadaan menjadi sering tidak terkendali. Di satu pihak kita sangat sadar akan kekuatan kita. Sadar akan kekuatan politik kita. Kita menuntut bermacam-macam hal, kadang-kadang dengan nada marah, dengan nada menekan dengan nada menakut-nakuti.
Saya pergi ke rumah Pak Zainuddin MZ. Ada peresmian Masjid Fajrul Islam di tempat beliau. Ada Pak Manaratul Hidayah pidato, “Supaya pabrik-pabrik minuman keras ditutup”, coba kan mengerikan itu. Mengerikan untuk orang lain, menyenangkan untuk kita.
Ini contoh. Kita hanya cari hal-hal yang menguntungkan dan menyenangkan. Tanpa memperhitungkan bagaimana efeknya bagi orang lain. Dan itu terjadi terus-menerus setiap hari, di setiap tempat. Dengan berang kita ribut, bagi yang tidak cocok dengan ajaran Islam langsung kita tentang terbuka menggebu-gebu di depan masyarakat.
Kalau yang menyangkut ajaran, bisa kita mengerti. Karena bagaimanapun ajaran menyangkut halal-haram. Kita sadar itu bagus. Tetapi kadang-kadang hal yang tidak menyangkut halal-haram pun kita perlakukan dalam bentuk-bentuk yang mutlak. Umpamanya proses masyarakat. Ini tidak menyangkut halal-haram. Tetapi menyangkut peluang dan kepentingan orang Islam, di luar garis-garis hukum agama.
Di situ pun dengan berang, dengan semangat kita menyuarakan kepentingan kita. Menuding-nuding orang lain, menghajar orang lain, kita bikin segala macam label-label dan nama-nama. Dengan mudah kita menuding orang sekuler, zionis, dan sejenisnya. Dan kalau tidak puas itu lalu teman sendiri menjadi sasaran. Sama-sama gerakan Islam dituding ngalor–ngidul (ke sana kemari, red.). Hal yang masih menjadi sengketa di antara kita, kita pastikan. Orang yang berpendirian lain dengan kita, kita hajar, kita gebuki di muka umum. Muncul kecenderungan-kecenderungan kelompok kecil. Kecenderungan sektarian–mengutamakan golongan sendiri menghancurkan reputasi golongan lain. Ini yang terjadi. Dan dengan demikian sebenarnya kekuatan politik Islam itu bukan menjadi semakin besar. Tidak dimanfaatkan dengan efektif, tetapi hanya berkelahi satu sama lain.
Ini yang kita catat. Saya tidak mau mengatakan salah atau benar. Catat saja adanya begitu. Kekuatan Islam yang demikian besar yang seharusnya dipakai untuk membina umat, tetapi kita pakai untuk menghajar orang lain, mukul orang lain.
Pada tahun 70-an ABRI yang kita pukuli. Sampai hari ini masih. Kemarin saya mendengar salah satu pembicara di tempat Pak Zainuddin itu. Ia menyindir dengan mengatakan, “Baru jadi lurah saja sudah berani nginteli mubalig.” Masih saja kita mempunyai musuh yang intel-lah, yang ABRI-lah, yang ini yang itu semua musuh kita. Kita mengembangkan mentalitas membentengi diri kita. Kita di dalam benteng, orang di luar musuh kita semua. Ini kenyataan yang terjadi. Saya tidak mengatakan baik atau buruk.
Dalam keadaan demikian, terus terang saja kita tidak bisa membangun. Bagaimana membangun, campur orang lain saja tidak berani. Campur Golkar kita kikuk, dengan PPP kita sudah ngeri, dengan PDI apalagi tidak kenal.
Ada seorang kiai ukuran kecil sekop kabupaten mengatakan kepada saya, “Saya dicalonkan PDI.” Saya katakan, Anda di mana maunya? “Saya punya angleh (kecenderungan) ke politik.” Ya terserah saja, tetapi jangan jadi pengurus harian NU, kalau begitu. Karena itu aturan mainnya. Dia lalu menanggalkan kepengurusan NU, menjadi calon PDI. Apa yang terjadi? Segera dia diboikot oleh umat NU seluruhnya. Lha apa tidak dipikir bahwa di PDI perlu orang Islam, PPP perlu orang Islam, Golkar perlu orang Islam, ABRI perlu orang Islam di dalamnya.
Secara bergurau Mbah Muslim Klaten tanya kepada saya, ada anak kiai dilamar tentara, khafidzatul Qur’an lagi bagaimana ini. Saya bilang, tentaranya baik kiai? Baik. Sekarang jadi apa? Kapten. Umurnya berapa? 34 tahun. Ibadahnya? Bagus. Akhlaknya? Bagus. Terima saja. Kenapa tidak. Lha itu kan tentara.
Itu sesuai dengan keinginan saya. Dia kan Kapten, umur 34, Pak Kiai. Umur 50 dia Brigjen paling tidak. Kenapa ditolak Pak Kiai? Ya saya tidak sadar masalah itu. Kalau bisa semua lulusan pesantren putri kawin sama tentara. Biar tentaranya salat semua. Lha kiainya nanti kawin sama siapa? Kawin sama Cina biar kaya. Ini cara guyonnya.
Intinya, kita perlu orang di mana-mana. Kenapa kita persempit lingkungan kita hanya Islam formal yang kita akui. Di luar ini kita anggap musuh. Kita anggap orang luar. Tidak mengerti urusannya Islam. Sikap ini yang terus terang saja saya kurang setuju. Bahkan yang di pemerintahan dibawa juga.
Cukup banyak yang di ICMI bahwa ICMI itu wakilnya Islam. Yang tidak masuk itu musuhnya Islam. Bahwa satu-satunya agenda Islam yang paling benar di pemerintah itu hanya ICMI. Kalau begitu akan berhadapan dengan ABRI dong. ABRI punya program Islam melalui Pusbintal yang tidak ada kaitannya dengan ICMI, sama-sama di pemerintahan. Atau dengan NU yang di luar pemerintahan.
Dengan demikian, kita lalu sekarang mengkotak-kotakkan diri. Yang tidak resmi jadi golongan Islam kita anggap bukan golongan Islam. Kalau memang demikian terjadi, kekuatan Islam ini akan habis energinya, hanya membentengi dan memagari diri sendiri. Tidak bisa membangun yang besar.
Karena itu, marilah kita memahami masalah ini dengan sungguh-sungguh bahwa kaum muslimin ini justru sebagai mayoritas harus inklusif. Siapa pun yang merasa dirinya Islam adalah warga dari umat Islam. Ini satu. Kita emong mereka, kita didik mereka, mu’asyarah-lah dengan mereka secara terbuka, apa adanya. Kalau sana belum memahami Islam memang belum paham, ya pahamkan.
Sebenarnya, secara pilihan masing-masing sudah ada. Pak Kiai Haji Masyhuri Syahid M.A. (Wakil Ketua PP LDNU, red.), ini kerjanya mengurusi orang-orang gedongan yang Islamnya baru mulai. Dilayani sungguh-sungguh. Tetapi, di luar dia disindir, “Itu kiainya orang-orang nggak ngerti Islam.” Nah kan susah. Memang saya punya pekerjaan sendiri kok. Pekerjaan saya meyakinkan orang di luar yang ada di sini semua. Sebab, saya ingin ngurusi orang Islam yang ada di sini semua. kaki lima, istilah saya. Orang yang tidak pernah ke masjid, kecuali hari raya. Tidak pernah bayar zakat. Boro–boro bayar zakat, mandi junub saja tidak pernah kok. Jadi, kalau mereka tidak diurusi, lalu siapa yang ngurus?
Orang macam Pramudya Ananta Toer, mau kawin bingung mencari kiai. Penghulunya ketakutan. “Pak, saya menyerah saja deh. Carikan orang lain saja yang mengawinkan dan memberi nasihat,” katanya.
Pramudya Ananta Toer adalah tokoh PKI. Tetapi, dia ingin mengawinkan anaknya secara Islam. Ingin masuk dan nantinya ingin mati sebagai orang Islam tentunya. Saya datang dan saya nikahkan. Semuanya ribuuut…”PKI kok diurusin…!?”, ini susah kan?
Pada suatu ketika saya berbincang-bincang dengan Dr. Nurcholish Madjid. Sebagai intelektual muslim, kurang apa–pembicaraannya? Dia menceritakan keluhan Sucipto Wirosarjono. Kurang apa? La tokoh di ICMI. Sebagai penulis, selalu menyanjung-nyanjung Islam. Ia mengeluh tentang Romo Mangunwijaya, Pastur Katolik.
Kata Cak Nur –di depan kawan-kawan sekitar 15 orang cendekiawan muslim–Romo Mangun ini tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, malah merintangi orang yang memperjuangkan kepentingan rakyat.
Saya tanya, “Lho kok bisa begitu Cak Nur?” Saya berkepentingan bertanya, karena Romo Mangun, adalah anggotap Forum Demokrasi Jadi, rakyat saya. Kalau dia memang merintangi perjuangan rakyat, kan harus saya jewer.
“Ya, dalam kasus Kedung Ombo,” katanya. Saya semakin tertarik.
Mas Cipto ini disuruh Pak Habibie bicara dengan rakyat masalah Kedung Ombo. Maunya apa, kompensasi apa yang mereka inginkan, ganti rugi apa tambahannya, di samping yang sudah ada. Lalu, mendapat dari rakyat “daftar”: beras, ini itu, macam-macamlah. Oleh Pak Habibie dibawa ke Pak Harto. Disetujui kecuali dua hal. Yang satu ganti rugi uang, karena memang sudah aturan negara begitu.
Ternyata hasil yang dibawa Mas Cipto itu oleh rakyat ditolak. Kenapa ditolak, padahal dulu yang minta adalah rakyat? Karena hasutan Mangunwijaya.
Nah, itu menunjukkan ia tidak ingin menyelesaikan masalah. Ia ingin mencari popularitas saja. Masalahnya diperpanjang supaya dia populer. Saya bilang, “Cak Nur, saya dalam hal ini mempunyai pendirian tidak sama.” Sebab, saya tahu persis siapa itu Romo Mangun. Dia berpikirnya bukan kok tidak mau menyelesaikan. Masalah Kedung Ombo adalah masalah dua konsep pembangunan dari atas yang tidak mengikutsertakan rakyat mengambil keputusan masalah tanah-tanah mereka. Mau dibikin waduk sehingga tergenang. Rakyatnya tidak ganti rugi. Tidak manusiawi lagi ganti ruginya. Sementara Romo Mangun mengajukan konsep dari bawah. Inginnya supaya rakyat diajak bicara.
Nah, ini tidak diselesaikan secara pertemuan dua konsep ini di mana titik temunya. Tetapi diselesaikan dengan tambah beras sekian kilo, pakaian sekian buah, rumah sekian biji. Menurut pandangan Romo Mangun, itu bukan penyelesaian. Penyelesaiannya harus konsepsional, bukan berupa barang. Mungkin barang tidak perlu ditambah. Tetapi lain kali bangunannya harus begini, begini. Jadi, jangan keburu menuding orang.
Contoh ini saya gunakan untuk menunjukkan bahwa kita dengan tergesa-gesa menuduh orang lain merintangi usaha kita, padahal kita tidak menyadari bahwa yang kita buat secara konsepsional tidak mengatasi masalah. Kita puas karena ini pakai merek Islam, ICMI, atau NU atau Muhammadiyah, kita anggap itu mesti benarannya, lalu orang lain harus ikut. Kalau tidak, kita maki-maki. Ini fakta.
Kalau memang demikian, maka kita akan tetap begini saja. Sementara orang lain akan maju. Karena mereka membuat segala sesuatu berdasarkan konsep-konsep yang dipikirkan secara teliti. Yang diperiksa ulang, yang dikaji kembali. Kalau udak cocok disesuaikan, disempurnakan. Mereka tidak mendewakan konsep seperti kita. Mereka melihat kenyataan konsep ini dalam kaitannya dengan kehidupan nyata, harus diubah bagaimana.
Karena itulah, posisi kita selalu inferior orang luar, bantu Indonesia dipilih-pilih….
Saya tidak melihat begitu. Karena kita tidak mampu saja mengikuti pola kerja orang luar. Buktinya begitu, sekali kita mampu, contohnya: Program yang dibuat oleh Pak Rozi Munir di NU, mampu mengikuti pola dari luar. Pola latihannya, pola konseptualisasinya, pola pengawasannya, pola manajemen, segera uang itu masuk. Orang luar menghargai kita.
Ini ada program dengan INIS (Indonesian Nedherland Islamic Studies) dari Universitas Leiden. Kita akan memperoleh sekitar Rp2,5 miliar mungkin beberapa waktu lagi. Tetapi sedikit tertunda karena pemerintah Belanda menangguhkan bantuan karena peristiwa Timor Timur.
Kemarin kita coba bekerja dengan pihak Jepang. Pihak Jepang mengharuskan begini, begini. Kita bikin. Ternyata ada juga yang dapat. LKK yang dapat, yang bisa menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan teknis dari sana. Jadi, saya tergantung pada kemampuan kita untuk merumuskan hal-hal yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan, sesuai dengan pihak-pihak yang menjadi mitra bekerja kita.
Kita belum pernah melakukan hal itu, langsung saja tembak. Karena kebetulan di sana Kristen, lalu yang dapat bantuan Kristen, lalu dituduh ini Kristerisasi. Bukan demikian masalahnya. Saya tahu persis bahwa yang membantu-membantu dari Kristen itu, Kristennya Cuma Kristen bohongan. Tidak pernah ke Gereja, akhlaknya sudah tidak karuan dan sudah tidak percaya kepada Tuhan. Mereka membantu karena memang gerakan Kristen itu lebih rapi dan pandai menggunakan peluang dalam bentuk itu tadi, konsep-konsepnya bisa disesuaikan. Sementara kita tidak mampu. Sedangkan yang mampu, bisa memperoleh. Contohnya NOVIP.
NOVIP, dulu membantu yayasan Rumah Sakit Islam Jakarta pada tahun 1970-an. NOVIP juga yang membantu berdirinya Pesantren Darul Falah di Ciapeak Bogor. NOVIP juga yang membantu beberapa yang lain-lain dari golongan Islam. Tetapi siapa yang memanfaatkan? Orang seperti Almarhum Shaleh Widodo. Orang semacam Lukman Harun, orang semacam Dr. Soegiat yang bisa mengikuti pola kerja mereka. Lalu, kita yang tidak pernah dapat dari NU marah-marah. “Kristenisasi. Kristen melulu yang dibantu!”
Kalau bisa, insya Allah bangsa begituan pasti bisa memperoleh. Ini tidak menyangkal adanya Kristenisasi, sebab saya tahu persis memang ada. Tetapi bukan semua hal itu lalu bisa kita Kristenisasikan. Tidak semua.
Sama saja dengan Saudi membantu sini, Irak membantu sini, Iran membantu sini, Mesir atau Libya membantu sini, bukan semua ada kaitannya dengan Islam. Tetapi kepentingan mereka masing-masing. Sehingga tidak bisa dibilang itu islamisasi. Ada yang karena kepentingan politik.
Contohnya:
Saudi memberi bantuan kepada sejumlah lembaga untuk menggempur Syi’ah. Dicetak buku demikian banyak dari seorang Syekh Mesir yang isinya ngerjain Syi’ah habis-habisan. Itu sebenarnya tidak ada urusannya dengan Islam. Saudi sebagai kerajaan itu ditantang oleh Iran sebagai republik. Nah, karena kepentingan politiknya, Saudi membayar orang untuk membuat buku yang marah-marah kepada Syi’ah.
Sebetulnya, hal itu tidak ada urusan dengan Islam sebagai agama. Karena Islam seharusnya menerima kedua-duanya Versi Saudi diterima, versi Iran juga diterima. Kalau kita ingin Islam itu kuat. Kan begitu. Perkara Iran itu pahamnya Syi’ah, ya terserah urusan mereka. Lanaa a’maluna walakum a’malukum. Itu pedoman memerangi Iran, karena dia Syi’ah. Sementara kita membiarkan Rusia tetap komunis atau RRC tetap komunis.
Oleh karena itu, kita harus betul-betul mengerti bahwa memang ada perbedaan-perbedaan di antara kita sendiri. Dan itu tidak bisa diselesaikan dengan saling menyerang. Irak menyerang Saudi, Saudi menyerang Irak. Kenapa kita harus ikut-ikutan? Sekarang perang mulut antara Irak dengan Saudi setelah perang senjata. Itu semua bagi kita “gila” kalau ikut-ikutan.
Nah, apakah aktivitas mereka bisa kita anggap sebagai aktivitas Islamisasi? Kan tidak! Sama saja orang Kristen juga begitu. Ada yang berkelahi satu sama lain. Ada yang pertimbangannya bukan karena agama Kristen, melainkan mencari pengaruh. Nah, di sini tidak awas kan? Hanya karena kita melampiaskan dan tidak mampu memanfaatkan dana-dana dan bantuan mereka, lalu kita main cap saja.
Inilah situasi dari umat sekarang ini. Di satu pihak kita kuat, di pihak lain kita terbelakang. Lalu, muncullah rasa ingin mewujudkan kekuatan untuk mengatasi keterbelakangan, tetapi caranya tidak mampu. Lalu, caranya meributkan hal-hal yang sebenarnya tidak mendasar sama sekali. Di dalamnya bercampur berbagai macam hal: di antaranya mental benteng. Membentengi diri itu lebih diutamakan daripada kita keluar ikut berkiprah.
Ini yang sedang terjadi sekarang. Tidak ada aturan main yang jelas dan tidak ada sopan santun yang jelas. Kita dipukuli habis-habisan. Nah, dalam keadaan seperti ini NU seharusnya bagaimana? Ini persoalannya.
Nahdlatul Ulama sebagai kekuatan Islam yang terbesar bukan hanya di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Tidak ada yang sekuat Nahdlatul Ulama sebenarnya. Puluhan juta anggota NU ini, di negeri lain sangat dihormati.
Sebagai kekuatan yang demikian besar, seharusnya NU mampu menjadi pengayom bagi semua. Bukan hanya kaum muslimin di Indonesia, melainkan seluruh bangsa Indonesia. NU harus bisa menempatkan diri di atas semua golongan di Indonesia.
Menjadi yang paling besar, menjadi pelindung itu tidak gampang. Dia harus sabar. Yang dilindungi itu ada yang sangat nakal dan nakal sekali. Lalu, apa karena dia nakal kemudian kita hajar setiap hari, kan tidak. Kita ubah supaya dia tidak nakal lagi.
Dengan kemampuan persuasinya, dengan kemampuan meyakinkan orang, dengan cara berpikir yang sudah terbukti selama beberapa puluh tahun jadi Rahmatan lil Indonisiyyin, seperti Resolusi Jihad, Waliyyul Amri Dorurin bissyaukah, kemudian Khittah, kemudian asas Pancasila, ini semua NU pegang peranan penting.
Coba kita ingat satu hal yang simpel saja. “Di negeri muslim mana wanita bisa menjadi hakim agama?” Waktu PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Kairo, membuat acara ceramah dari Alhamghfurlah DR. Abd. Halim Mahmud- ketika itu belum menjadi rektor Al-Azhar, beliau berbicara tentang Al-Ghazali. Sebelumnya ada pembacaan Al-qur’an. Yang membaca salah satu puteri kita. Begitu puteri ini mengalunkan ayat Al-qur’an, langsung Syekh Abdul Halim menutup kupingnya. Di sana itu masih seperti itu. Dia memang mementingkan halal-haram. Tetapi menurut saya ya tatorruf. Itu masih belum tentu haram. Ihtiatnya terlalu jauh. Sehingga tidak memberikan dorongan kepada orang untuk mengembangkan kreativitas.
Di negeri kita hakim agama, sejak awal sudah di-plot, akan ada. Pendidikan untuk puteri sejak tahun belasan sudah ada di negeri kita. Sekarang, masya Allah! Puter-puteri muslimah, Ya mula-mula memang menyakitkan. Pada pakai rok, tidak mau pakai tutup kepala, mula-mula begitu. Tapi sekarang tidak.
Saya hari Sabtu lalu (7/12) ceramah di IKIP, 1000 mahasiswa yang kira-kira mahasiswa puterinya 700-an. Dari situ kira-kira 4/5 memakai hijab “Ya Allah…, Cuma empat puluh tahun atau 50 tahun lagi sudah kayak apa rupanya. Sekarang saja sudah begitu.
Bulan puasa yang lalu saya diminta biara di Fakultas Ekonomi UI. Ya Allah, dosen-dosen muda yang wanita, semua berkerudung, buagus. Lha ini kan berkat usaha-usaha tidak kenal lelah dari orang-orang kayak Pak Masyhuri Syahid.
Kita tidak bisa bicara hanya kepada yang sudah jadi santri, yang bukan santri kan juga harus dilayani. Saya bahkan lebih jauh. Saya upayakan turut memperjuangkan demokrasi hak asasi manusia, perlindungan hukum. Sebab kita diperlukan oleh bangsa Indonesia. Tentu tidak usah dengan konfrontasi dengan ABRI. Sekarang coba, begitu terjadi peristiwa Dili. Timor Timur, langsung kelompok-kelompok garis keras Australia mengadakan konferensi. Dan mereka minta datang dari Indonesia, adalah saya. Kenapa? Karena mereka tahu kualitas saya: fair kepada semua pihak. Bukan ikut cara pemerintah, tapi juga tidak ikut mereka. Dan mereka bukan mencari orang yang ikut mereka atau yang menjelek-jelekkan pemerintah Indonesia, bukan!
Mereka ingin suara yang bertanggung jawab dan fair dan Indonesia. Suara yang bisa ngemong semua pihak. Dan karena memang niat saya baik, tidak ragu-ragu.
“Oke, saya datang. “Tanggal 11 Desember konferensinya. Tadi malam saya lapor Pak Suryadi dari BAIS. Pak, tanggal 07 malam saya berangkat ke Australia untuk konferensi ini. Apa jawab beliau? Baik, nanti sebelum berangkat Anda harus ketemu Pak Hartas (Kasospol ABRI) supaya dapat bekal, apa pemikiran dari pemerintah.
Artinya begini, kita jadi pengayom itu–kalau memang benar-benar jujur dan ikhlas–itu diterima semua pihak kok. Tidak harus berhadapan dengan ABRI, dengan pemerintah. Pendirian saya memang selalu berbeda dengan mereka. Sebab saya memang menginginkan suatu pemerintahan lain dengan yang ada sekarang. Berangsur-angsur menuju ke sana secara bertahap.
Tentu ini tidak lepas dari kritikan. Ya wajar-wajar saja. Kritikan bisa diterima sebagai masukan. Tetapi ketika saya ingin mengembangkan pola demokrasi dan sebagainya, tentu saya juga harus demokratis. Dalam arti kepada semua pihak yang dilindungi Undang-Undang, harus kita beri perlakuan yang sama. Termasuk ghoirul muslimin. Kaum nonmuslim, atau kaum nonpri, juga harus dua-duanya kita santuni dengan baik. Perkara bahwa kesalahan mereka harus dikoreksi, kita harus koreksi. Dan koreksi itu tidak gampang, pelan-pelan.
Orang lain enak bicara tentang konglomerat, malah marah kepada konglomerat, boleh saja. Tetapi bagaimana mengajak konglomerat membina rakyat kecil, itu ilmu yang luar biasa.
NU bisa melakukan hal itu. Sekarang terus terang saja. Orang-orang konglomerat melihat kepada NU yang bisa mereka jadikan partner untuk membina golongan kecil. Kenapa mereka tahu-tahu berubah begitu? Bukan tiba-tiba. Mereka juga menyadari kalau mereka terlalu kaya. Yang kecil terlalu miskin, dan jumlah yang miskin terlalu banyak. Suatu ketika akan terjadi kles, dan mereka akan habis.
Jangan dikira mereka tidak mengerti. Mereka mengerti. Dan mereka juga ketakutan. Lho sudah ketakutan, masih kita maki-maki. Apa tidak lebih ketakutan lagi? Dan kalau sadah begitu, Indonesia tidak aman, duit dibawa ke luar negeri. Kan lebih baik cara kita: Oky Bung, You harus ke bawah. Caranya begini. Ayo bersama saya!
Ya terus terang, ini tidak dimengerti orang. Malah dimaki-maki. Tapi Alhamdulillah, kohesi atau kesatuan NU itu begitu kuat. Walaupun ada yang tidak cocok, terus terang di bawah sambutannya cukup besar.
Inilah tugas NU. Ngemong semua pihak, untuk kita maju bersama-sama. Kita harus sanggup maju menjadi bapak semua orang. Kalau mau menjadi bapak semua orang, hentikan memaki-maki. Tidak bisa kita menjadi bapak orang-orang yang kita maki-maki. Hentikan sikap melawan dan memusuhi mereka. Jadilah orang yang dewasa. Dan orang dewasa harus kuat. Memang sering mengalami gangguan dari orang lain yang kadang-kadang justru jadi tanggungan kita. Itu menggoda kita. Semacam orang tua yang anaknya nakal. Ya bagaimanapun nakalnya kan anak. Ya harus diperbaiki. Bukan lalu dimusuhi.
Nah, kalau demikian posisi NU, di mana peran dan posisi lembaga dakwah? Ini menjadi sangat penting. Lembaga dakwah inilah yang menjadi ujung tombak Nahdlatul Ulama berbicara kepada masyarakat. Tolong pahami strategi NU yang integratif. Integratif itu maksudnya mencakup semua orang untuk dibenahi. Bukan hanya kita-kita sendiri, tetapi orang lain pun kita benahi. Yang inklusif, sanggup memayungi semua orang. Ini garis dari NU. Lembaga dakwah, merupakan ujung tombak NU.
Karena itu, cara kerja kita, cara berbicara kita, cara segala macam kita, harus diperbaiki. Harus disesuaikan dengan kebijakan yang inklusif seperti ini. Kemudian tentu, kalau sudah demikian kita tahu cara yang selama ini dipakai sudah tidak tepat lagi. Tekanan terlalu diberikan kepada dakwah “oral”, dakwah bilisanil maqol. Kita sudah membutuhkan dakwah billisanul hal.
Kegiatan-kegiatan konkret di bawah, kita marah-marah karena orang Kristen bagi-bagi sabun, beras, dan sikat gigi, lalu orang jadi Kristen. Kita lupa bahwa hal itu menghasilkan banyak pengikut, karenanya kita harus mampu berbuat seperti itu. Wakaf orang-orang kafir itu sah-sah saja. Apalagi cara kerjanya, bisa kita tiru kalau yang baik. Kenapa kita marah-marah sama orang? Lebih baik kita diam, tapi cara kerjanya kita pakai dan kita memperoleh hasil yang lebih baik. Itu mestinya.
Dengan kata lain, Nahdlatul Ulama sudah melakukan upaya. Melakukan transformasi/perpindahan masyarakat, dari masyarakat–anggap saja–jahiliyah fi kulli syaiin, illa fittauhid. Lainnya masih jahil. Anggap saja begitu. Nah dari begini menjadi masyarakat yang benar, yang Dzuu Ilmin, dengan tidak usah kita memojok-mojokkan siapa pun. Sikap bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara, insya Allah kita akan menjadi pimpinan bangsa dan negara kalau memang pantas jadi pemimpin, buktikan pantes jadi pemimpin.
Jadi, tempat Lembaga Dakwah jelas merupakan ujung tombak Nahdlatul Ulama berbicara kepada masyarakat dalam kerangka memayungi masyarakat seluruhnya, dalam kerangka mengubah masyarakat secara berangsur-angsur, menuju masyarakat yang sesuai dengan keinginan kita sebagai orang Islam. Itu pekerjaan yang tidak gampang, namun justru pekerjaan itu yang harus dilakukan.
Maaf! Siapa yang ingat Kartosuwiryo. Zaman dia mulai, orang melihat dia sebagai imam. Sekarang sudah tidak ada yang ingat dia. Sebab dia tidak membawa kemaslahatan, tapi malah membawa madhorrotan.
Nah, demikianlah saya rasa, ini tempatnya NU di dalam kiprah bangsa kita, membawakan kesejahteraan bagi mayoritas bangsa yang ada di pedesaan. Kalau ini bisa kita lakukan dengan baik, melalui pendidikan sudah jelas, melalui dakwah sudah jelas, melalui ekonomi sedang kita mulai, maka secara keseluruhan NU akan menjadi kelompok yang sangat besar yang dihormati orang. Waktu itu sudah tidak penting lagi NU itu mau jadi kekuatan politik formal atau tidak formal, orang akan perlu dengan NU. Sekarang saja sudah mulai perlu dengan NU.
Itulah saya rasa yang harus dipahami letak dari Lembaga Dakwah adalah ujung tombak yang harus mampu menerjemahkan tugas-tugas NU seperti itu di hadapan masyarakat. Yaitu melakukan transformasi perubahan-perubahan kemasyarakatan yang sangat besar demi kesejahteraan bangsa dan negara kita.