Menyambut Terbitnya Koran Baru
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
TULISAN ini didiktekan guna menyambut kelahiran sebuah harian baru di Jakarta. Dahulu koran tersebut bernama AKSI sekarang bernama PROAKSI. Sebelumnya ia lahir dalam format tabloid, kemudian berubah menjadi harian umum, dan sekarang berkembang menjadi harian yang berada di tangan pembaca. Namun, perubahannya bukan hanya menyangkut nama belaka, melainkan juga semangat dan isinya. Kalau dahulunya AKSI tidak memiliki arah yang jelas, yang membedakannya dari harian-harian lain, sekarang PROAKSI justru diarahkan kepada keanekaragaman (pluralitas) budaya. Artinya, ia tidak hanya ‘bebas nilai’ dalam pemberitaan sehari-hari, melainkan juga memberikan ‘warna tetap’ bagi kehidupan masyarakat kita yang senantiasa berkembang. Tantangan-tantangan masa depan tentu berubah, tergantung dari perkembangan keadaan yang kita jalani sebagai bangsa, apalagi dengan keragaman budaya yang kita miliki dalam berbagai bentuk dewasa ini.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi, adalah masalah modernisasi. Kita seolah-olah di hadapkan kepada dua buah perkembangan sekaligus. Di satu pihak, kita dihadapkan kepada tantangan melakukan rasionalisasi dan pengorganisasian yang canggih. Hal itu tercermin dalam istilah yang sangat tinggi sedang populer digunakan oleh khalayak: manajemen atau tata laksana. Tanpa mengikuti prinsip-prinsip manajemen saat ini, maka pengorganisasian hal-hal yang kita lakukan akan berserakan tidak menentu. Hal itu juga terkait dengan kegagalan mencapai maksud yang diharapkan. Contoh konkretnya adalah pengelolaan-pengelolaan sumber alam negeri ini yang menjadi simpang siur yang mengakibatkan hancurnya segala sesuatu yang kita buat. Jika itu terjadi, apa yang direncanakan akan menjadi angan-angan belaka. Karenanya, modernisasi di sini berarti teknik-teknik mutakhir.
Sebaliknya, kita juga tidak menghendaki bermacam tradisi yang kita miliki hancur berantakan di hadapan penggunaan teknik-teknik mutakhir itu. Kita dapat ambil contoh, betapa ada lembaga yang mutakhir tidak menjamin hasil yang lebih baik, jika tradisi melakukan hal yang benar kita tidak miliki. Kita memiliki Mahkamah Agung yang diorganisir dengan baik dan dilengkapi dengan peralatan mutakhir seperti komputer. Namun, karena kita tidak memiliki tradisi kedaulatan hukum, maka peralatan kita pun di segala tingkatan dikuasai oleh sebuah mafia yang berbentuk aneka ragam. Dan, kebenaran menjadi tergantung kepada dua hal: kekuasaan uang dan kekuasaan jabatan. Kita juga mempunyai birokrasi yang berjalan baik hanya kalau ada orang yang baik. Sistem perwakilan rakyat seperti itu juga. Bahkan, sistem kesehatan nasional kita juga demikian.
Hal itu tampak nyata sekali dalam dua bidang kehidupan, yaitu pendidikan nasional dan urusan haji. Pendidikan nasional kita hanya tergantung kepada pengadaan buku dan alat-alat pendidikan yang serba kacau, dan tenaga-tenaga pengajar yang tidak lagi memperhatikan mutu pengajaran. Juga karena harus mengejar kecukupan pendapatan, akibat gaji yang sangat rendah sebagai guru/dosen. Para guru/dosen tidak lagi menambah pengetahuan dengan meningkatkan kecakapan, akhirnya hanya mengajar secara serampangan belaka. Dengan demikian mereka tidak lagi mengikuti perkembangan pengetahuan mutakhir dan peningkatan kecakapan terus menerus. Demikian pula urusan haji, tidak lagi terjadi ibadah bagi para pelaksananya melainkan menjadi transaksi komersial yang berupa industri ‘pariwisata agama’.
Semua itu hanya dapat berkembang dengan baik tiap bidangnya, jika ada keselarasan dan keseimbangan antara tradisi dan kelembagaan yang saling mendukung. Justru inilah yang tidak ada sekarang. Semuanya menjadi porak-poranda. Seperti kata pepatah: ‘Guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Para pemimpin lupa diri dan rakyat lupa apa yang menjadi kewajibannya. Inilah sebenarnya ‘pola umum kehidupan yang kita jalani sebagai bangsa saat ini. Kita menyibukkan diri dengan berbagai lambang modernitas, seperti baju safari dan kendaraan dinas. Alangkah tragisnya kehidupan kita sebagai bangsa saat ini, karena disibukkan oleh masalah-masalah seperti kekuatan sipil dan kekuatan militer. Menurut pendapat penulis, pluralitas kehidupan yang kita kejar tidak membedakan watak sipil dari kekuatan militer melainkan yang harus dijauhi adalah militerisme, baik yang dilakukan kaum sipil maupun kalangan militer.
Begitu pula dengan pers. Dalam hal ini, kegiatan pers seolah-olah hanya bersifat ‘mencatat perkembangan masyarakat tanpa turut mengarahkan pola-pola pengembangannya. Bahkan ada kecenderungan sebagian besar pers itu sudah dibeli oleh mereka yang bertarung memperebutkan kekuasaan. Informasi yang disampaikan kepada para pembaca/pendengar/pemirsa, lalu condong berat sebelah. Namun, kekonyolan seperti ini justru dianggap ‘biasa’ dan bukanlah penyimpangan yang harus dibetulkan di masa depan. Seolah-olah ia bukanlah ‘penyakit kehidupan’ yang harus disembuhkan dengan segera, melainkan merupakan hal biasa yang diterima secara wajar oleh siapapun. Padahal, kita justru ramai-ramai berbicara tentang ‘penyakit masyarakat yang sedang melanda kehidupan bersama sebagai bangsa yang ‘merdeka’. Alangkah ironisnya, pers yang dihinggapi penyakit itu, juga berbuat yang sama.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan lima kali pelanggaran terhadap empat buah undang-undang, dalam kasus ‘larangan’ agar penulis tidak dapat menjadi calon presiden. Pelanggaran-pelanggaran KPU atas lima buah klausul dari empat buah undang-undang tersebut, sebenarnya harus ‘diganjar’ dengan hukuman penjara maksimal 25 tahun. Tapi, kita lihat bagaimana arogan dan congkaknya KPU. KPU bebas mendaulat diri sebagai ‘penafsir’ undang-undang dasar kita yang ada, karena melempemnya MA dan Mahkamah Konstitusi yang kita.
Kita berbicara tentang perkembangan kehidupan menuju demokrasi, tanpa mengingat bahwa ada standar minimum yang harus dipenuhi, yaitu kedaulatan hukum yang dijalankan dengan benar, bukan karena kekuasaan yang dimiliki maupun kekayaan yang diraih. Ujung dari ‘demokratisasi’ serba tanggung seperti ini adalah lahirnya sistem politik yang kelihatannya demokratis, tetapi mungkinkah munculnya seorang Adolf Hitler di negeri ini, seperti ia muncul di masa lampau di Republik Weimar di Jerman.
Dalam keadaan seperti ini, diperlukan adanya medium pers yang bertanggung jawab terhadap kehidupan bangsa kita di masa depan. Berbagai kritik pembahasan dan refleksi harus terus dilakukan, untuk mencapai dua tujuan sekaligus: menjaga agar kehidupan bangsa ini tidak lebih memburuk dan memperkenalkan sebuah era baru yang lebih obyektif kepada bangsa kita. Kebutuhan kita akan hal itu semakin lama semakin terasa, baik di kalangan media cetak, media elektronika, maupun media lisan Terlebih-lebih, jika diinginkan berbagai upaya untuk melakukan reformasi secara bersungguh-sungguh dilalui dengan benar dan dijaga dengan ketat. Ini berarti, harus dibuka seluas-luasnya horizon pemikiran dan cakrawala pandangan kita. Sebuah tugas mulia, yang menanti pelaksanaan bertanggung jawab dari pers itu sendiri.
Banyak contoh yang telah terjadi. Sebuah koran di ibukota, yang dahulu dikenal sebagai hariannya kaum intelektual, ternyata berakhir menjadi corong calon presiden belaka. Ini terjadi, karena harian itu sangat dipengaruhi oleh ketakutan akan munculnya kekuatan militer dalam kehidupan politik kita. Padahal, yang sebenarnya harus ditakuti oleh harian itu adalah munculnya militerisme, yaitu bahwa kaum militer tahu segala-galanya dan karena itu ‘berhak mengambil keputusan sendirian saja. Kalau kita bersikap takut kepada kakuatan militer dan bukannya takut kepada militerisme, maka kita takut akan perkembangan sejarah dan ini adalah sikap jiwa yang bertentangan dengan intelektualitas yang kita miliki sebagai bangsa. Kaum militer kita bukanlah seperti kaum militer di beberapa negara lain, karena kita tidak boleh melakukan generalisasi seperti itu.
Dalam hal ini, PROAKSI memang diharapkan akan mampu melakukan hal itu, tanpa ada beban moral apapun. Kita harus mengikuti proses mengambil dan membuang dalam proses menegakkan demokrasi yang mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?