Menyelesaikan Krisis Mengubah Keadaan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada pertengahan Desember tahun 2002 ini, penulis bertemu sutradara Garin Nugroho di Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Sambil menunggu pesawat terbang yang akan membawa kami ke Jakarta, Garin Nugroho dan penulis terlibat dalam pembicaraan mengenai cara mengatasi krisis multidimensi yang kita hadapi saat ini. Sebagai seorang yang melakukan referensi terus menerus atas kitab suci al-Qur’ân, penulis mengemukakan analogi dari para kiai. Mereka berpendapat krisis multidimensi yang kita hadapi saat ini adalah seperti krisis Mesir di zaman Nabi Yusuf dahulu. Krisis itu memakan waktu tujuh tahun, menurut kitab suci tersebut. Kalau ini kita analogikan kepada keadaan sekarang, maka era tujuh tahun itu akan berakhir pada tahun 2003 (1997 hingga 2003). Memang, sekarang kalangan atas mulai dapat mengatasi krisis ekonomi, terbukti dari penuhnya jalan dengan kendaraan dan lapangan terbang, tetapi kalangan bawah masih saja mengeluh dan kesusahan karena memang mereka masih dilanda krisis.
Keluhan utama adalah menurunnya daya beli secara drastis, sedangkan harga-harga beberapa jenis barang kebutuhan sehari-hari justru melonjak. Dengan demikian, masih menjadi pertanyaan apakah dalam waktu cepat krisis multidimensi itu dapat dipecahkan, katakanlah pertengahan tahun 2003. Dalam hal ini, sangat menarik pembicaraan penulis dengan Kiai Nukman Thahir dari Ampel, Surabaya. Ia menyatakan, kalau kitab suci al-Qur’ân dibaca dengan mendalam, di sana disebutkan bahwa krisis Nabi Yusuf berlangsung tujuh tahun, namun untuk mengatasi krisis tersebut diperlukan juga waktu tujuh tahun lamanya. Penulis menjawab apa yang ia terima dari para kiai adalah waktu berlangsungnya krisis itu tujuh tahun lamanya, tidak pernah mereka mengatakan diperlukan waktu tertentu untuk menyelesaikan krisis. Karenanya, penulis mengungkapkan bahwa penyelesaian krisis itu sendiri, terjadi secara formal dimulai dalam waktu bersamaan/simultan dengan berakhirnya krisis itu. Karenanya, penyelesaian krisis tidak merupakan entitas yang berdiri sendiri terlepas dari krisis yang dialami.
Percakapan penulis dengan Garin Nugroho itulah yang menjadi petunjuk kongkrit penyelesaian masalah secara simultan itu. Mula-mula Garin Nugroho mengatakan dua hal sangat penting, satu pihak, ada perbedaan/kesenjangan antara para teoritisi hukum dan pembuat undang-undang (DPR dan MPR). Para ahli teori hukum itu mengemukakan hukum-hukum baru dalam bentuk undang-undang maupun lainnya dari berbagai sumber Eropa Kontinental yang kita kenal. Tetapi pelaksana berbagai macam peraturan itu, pada umumnya dididik di lingkungan hukum Anglo-Saxon yang berlaku di Amerika Serikat. Tidak usah heran, jika terjadi kesenjangan antara kedua sistem hukum Anglo-Saxon dan Eropa Kontinental itu. Adalah tugas kita, menurut Garin Nugroho, untuk “mendamaikan” antara keduanya, inilah yang harus diperbuat untuk menyelesaikan krisis.
****
Dalam percakapan itu, penulis mengemukakan bahwa secara kongkrit apa yang dinamai Garin Nugroho dengan “mendamaikan” itu, haruslah tercermin dalam empat buah sistem politik baru. Katakanlah konsepsi mengenai empat buah sistem baru yang diperlukan, untuk kongkritisasi gagasan “mendamaikan” dari Garin itu. Di sini, penulis akan mencoba mengemukakan beberapa konsep seperti di bawah ini.
Tentu saja, konsepsi-konsepsi yang dikemukakan itu adalah bukan bentuk final dari apa yang penulis pikirkan, karena justru masih memerlukan perbaikan-perbaikan serius, dan belum dapat digunakan sebagai konsepsi formal. Konsep empat sistem ini, masih harus diperjuangkan untuk masa kehidupan kita yang akan datang. Hanya dengan cara demikianlah, bangsa kita dapat mengatasi krisis multidimensional itu dengan cepat.
Empat sistem baru yang penulis kemukakan kepada Garin Nugroho; meliputi sistem politik (pemerintahan), perbaikan sistem ekonomi dengan mengemukakan sebuah orientasi baru, sistem pendidikan nasional dan sistematika atau hukum, yang semuanya harus serba baru. Mengapa baru? karena sistem lama tidak dapat dipakai lagi, tanpa akibat-akibat serius bagi kita. Yang didahulukan adalah sistem politik (pemerintahan) yang baru. Kedua badan legislatif yang baru, DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) haruslah menjadi perwakilan bikameral. Mereka bertugas menetapkan undang-undang serta menyetujui pengangkatan eksekutif dengan pemungutan suara. Sedangkan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dipilih langsung oleh rakyat, karena kalau diserahkan pada DPR dan DPRD saja hanya akan memperbesar korupsi saja.
Di samping itu juga dibentuk MPR, yang hanya bersidang enam bulan saja, dalam lima tahun. Mereka bertugas menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang harus dilaksanakan seluruh komponen pemerintahan. Keanggotaanya, terdiri dari para anggota DPR, DPD, dan dari golongan fungsional, guna menguntungkan kelompok-kelompok minoritas ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, yang dicapai melalui prosedur musyawarah untuk mufakat, bukannya melalui pemungutan suara. Dengan demikian, kalangan minoritas turut serta memutuskan jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini diperlukan, agar semua pihak merasa memiliki negara ini, dan dengan demikian menghindarkan separatisme yang mulai bermunculan di sana-sini. Justru inilah yang merupakan tugas demokrasi, bukannya liberalisasi total.
****
Orientasi baru dalam sistem perekonomian kita, dicapai dengan melakukan pilihan berat antara dua hal, yaitu moratorium (penundaan sementara) cicilan tanggungan luar negeri kita, dan pembebasan para konglomerat hitam yang nakal dari tuntutan perdata, jika membayar kembali 95% kredit yang dia terima dari bank-bank pemerintah (tetapi tuntutan pidana tetap dilakukan oleh petugas-petugas hukum). Uang yang didapat dari kedua langkah ini, menurut perkiraan sekitar US$ 230 milyar, dan digunakan terutama untuk: Pertama, memberikan kredit ringan, kira-kira 5% setahun, bagi UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dengan pengawasan yang ketat. Kedua, peningkatan pendapatan PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan militer, kira-kira sepuluh kali lipat dalam masa tiga tahun. Langkah ini guna mencegah KKN dan menegakkan kedaulatan hukum. Melalui cara ini pula, dapat memperbesar jumlah wajib pajak, menjadi 20 juta orang dalam lima tahun dan melipatgandakan kemampuan daya beli masyarakat. Sudah tentu dikombinasikan dengan hal-hal, seperti perbaikan undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada, serta penataan kembali BI (Bank Indonesia) dan MA (Mahkamah Agung).
Melalui langkah-langkah ini, diharapkan dengan cepat sebuah pemerintahan yang baru akan segera mengatasi krisis multi-dimensional ini. Hal penting lainnya, kemampuan pemerintah dalam mengatasi krisis juga sangat bergantung pada kemampuan bekerja sama dengan negeri-negeri lain. Sudah tentu, ini harus dibarengi oleh dua buah perbaikan sistematik lain. Perbaikan pertama, adalah pada perbaikan sistem pendidikan kita, yang hampir tidak memperhatikan penanaman nilai daripada hafalan. Karena tekanan yang sangat kecil kepada praktek kehidupan, dengan sendirinya hafalan mendapatkan perhatian yang luar biasa, dan pemahaman nilai-nilai menjadi terbengkalai.
Keadaan ini mengharuskan dibuatnya sistem pendidikan baru yang lebih ditekankan kepada sistem nilai dan struktur masyarakat yang ada, sehingga pendidikan masyarakat dasar (community-based education) dapat dilaksanakan. Dikombinasikan dengan perbaikan sistematik pada kerangka etika/moralitas/akhlak yang telah ada dalam kehidupan bangsa, maka perbaikan sistem hukum, akan menjadi dasar bagi pengampunan umum/rekonsiliasi atas kesalahan-kesalahan masa lampau, kecuali mereka yang bersalah dan dapat dibuktikan secara hukum oleh kekuasaan kehakiman dengan sistem pengadilan kita. Tentu saja, ini juga meliputi mereka yang sekarang disebut sebagai kaum ekstremis/fundamentalis dalam gerakan Islam, selama kejahatan yang mereka perbuat tidak dapat dibuktikan secara hukum. Sudah tentu ini berlawanan dengan kehendak orang lain yang ingin menghukum segala macam “kesalahan”. Namun, kita harus bertindak secara hukum, bukan karena pertimbangan-pertimbangan lain.