Mereka Lalu Membuat Surau
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Secara berurutan, selama hampir sepuluh tahun, sejumlah mahasiswa kita yang belajar di kawasan Timur Tengah datang ke Eropa Barat. Ada yang telah tamat dan menyelesaikan studi di Al-Azhar, Universitas Islam Madinah, atau Universitas Baghdad, ada pula yang drop out. Semua itu selain mereka yang pulang ke tanah air atau yang tetap di Timur Tengah.
Akan tetapi, yang menarik adalah yang menetap di Negeri Belanda: Amsterdam, Rotterdam, Den Haag, dan beberapa kota kecil seperti Walwijk dan Doedrerech. Beberapa dari mereka adalah tamatan Timur Tengah, dengan kualifikasi keagamaan cukup tinggi. Sudah patut di-‘kiai’-kan di rantau orang, lebih-lebih karena ada yang pernah lama mengaji di pesantren.
Nasib membawa mereka ke negeri orang. Pulang merasa “belum waktunya”, tidak pulang serasa ada yang salah. Di negeri orang, status sosial jelas tidak menggembirakan: penghargaan profesional terhadap kebolehan mereka praktis tidak ada. Siapa akan menghargai sarjana Fakultas Ushuluddin yang bekerja di perusahaan asuransi? Apa arti seseorang sarjana muda Syari’ah bagi pabrik plastik?
Tidak ada promosi vertikal apa pun bagi mereka. Jika bisa diterima menjadi local staff di perwakilan kita sendiri; minimal masih bisa untuk kebolehan.
Didera oleh rutinitas pekerjaan tanpa perubahan selama bertahun-tahun, paling-paling hanya untuk mobilitas horizontal kalau pindah kerja, dengan cepat mereka lalu merasakan semacam keresahan: hidup dan kepribadian terancam oleh perkembangan di luar mereka, yang tidak dapat ditolak atau dikendalikan.
Identitas keindonesiaan saja tidak menolong banyak karena terpecah-pecahnya identitas itu oleh banyak jenisnya: pemunculan warga Maluku Selatan sebagai persoalan bangsa Belanda, berkeliarannya kaum kiri Melayu yang bermarkas di Leiden dan Amsterdam, serta lalangnya ‘kaum kaya baru’ (nouveaux riches) kita yang berhasil mengenyam nikmat pembangunan nasional melalui jabatan resmi atau usaha patungan dengan pihak luar negeri.
Oleh karena itu dapat dipahami jika kemudian identitas yang diambil adalah ‘perjuangan Islam’ –kata mentereng untuk kerja dakwah di kampung orang. Kiprah yang sesuai dengan banyak hal, terutama kebutuhan menemukan arti diri sendiri di tengah kehidupan masyarakat modern pasca-industri, tempat manusia makin lama makin terasing satu dari yang lain.
Kiprah mengembangkan agama di tanah orang berarti juga menyamakan langkah kehidupan dengan saudara-saudara sesama ‘aktivis’ di tanah kelahiran. Sebagai perpanjangan nasionalitas kuat yang mereka bawa dari tanah air dahulu, semangat keagamaan mereka tidak lain merupakan varian baru dari rasa ‘keindonesiaan’ yang sulit dicari itu –yang tentunya tidak kalah dari varian-varian lain: semangat kerakyatan ‘kaum kiri’ yang terlempar di Leiden dan Amsterdam, penonjolan kewiraswastaan yang diragukan para pengusaha yang singgah di negeri sedaun kelor itu, keangkeran para pejabat tinggi yang datang dengan bahan-bahan briefing dan negosiasi mereka, dan sikap masa bodoh para pejabat kedutaan besar kita sendiri.
Mereka pun segera mekar, melalui perkawinan dan juga datangnya orang-orang lain yang tidak pernah ke timur Tengah. Begitulah, kelompok yang terdiri dari belasan keluarga itu melepaskan diri dari rutinitas pekerjaan dan mencari arti diri masing-masing dalam kerja ‘menghidupkan agama’ secara sadar. Dimulai dari kebersamaan mencari identitas diri, kiprah mereka dengan cepat menemukan intensitasnya: semangat menampilkan Islam kepada bangsa Belanda.
Melalui organisasi yang mereka dirikan (Perhimpunan Pelajar Muslim Eropa), secara tekun dilakukan siaran agama melalui Radio Hilversum, penerbitan majalah sendiri (di Jerman Barat), dan terutama pembinaan keluarga mereka sebagai jema’at. Mungkin tidak berarti dalam ukuran nasional Belanda, tetapi pantaslah kalau mereka sendiri lalu mereka butuh akan sebuah pusat kegiatan.
Tidak ada yang membantu. Bahkan yang peduli. Segudang hambatan administratif harus dihadapi, mengingat sulitnya membuat sesuatu yang “tidak normal” di negeri yang sudah begitu keranjingan keteraturan. Dengan mencari secara tekun lokasi yang sesuai dengan kebutuhan, dan mengumpulkan dana sedikit demi sedikit dari sisa penghasilan yang “serba proletar”, akhirnya dapat dibeli sebuah bekas toko di sebuah ujung jalan ‘bilangan kampung’ di Kota Den Haag, dengan harga sembilan puluh ribu gulden.
Setiap warga kelompok kecil perantau itu memberikan sumbangan tenaganya, di samping dana. Ada yang mengerjakan pembuatan dinding, ada juga yang memasang pipa ledeng. Sementara yang lain bertukang, juga memasang instalasi listrik. Jam-jam yang begitu dihargai dengan upah sekian puluh gulden kalau bekerja di pabrik, diberikan cuma-cuma. Dengan begitu, tercapailah titik kulminasi yang melambangkan pola kehidupan mereka selama sepuluh tahun di rantau orang: membuat Mushola (bahasa kampungnya surau, alias langgar). Kiprah yang indah. Seindah semua kiprah rakyat kecil.