Muhammadiyah Dan Nahdhatul Ulama:  Reorientasi Wawasan Sosial-Politik

Sumber Foto: https://www.liputan6.com/islami/read/5198473/perbedaan-dan-persamaan-nu-dengan-muhammadiyah-yang-perlu-diketahui

K.H. Abdurrahman Wahid

Melihat perjalanan NU selama 32 tahun resmi menjadi organisasi politik-belum termasuk masa dari tahun 1944-1952, baik sebagai anggota MIAI maupun sebagai anggota partai Masyumi–kita dapat mengatakan bahwa setengah dari hidup NU adalah berpolitik formal. Bila melihat kenyataan ini maka wajar-wajar saja kalau impulse-impulse politik tetap ada di lingkungan NU, tidak pernah mati dan malah mekar. Pemekaran impulse itu sendiri karena perkembangan politik yang memang mengharuskannya.

Kita melihat bahwa salah satu tugas yang dipilih oleh Orde Baru adalah melakukan “dealiranisasi kehidupan politik. Politik dalam hal ini dibuat pragmatik: berpancasila, titik! Tidak boleh ada embel-embel “Pancasila yang mana?” Sehingga tidak boleh ada partai Islam, partai sosialis atau partai nasionalis, apalagi partai-partai golongan minoritas seperti Kristen. Semua dikikis habis, sehingga tinggal satu politik yang sudah disterilkan dari ideologi selain Pancasila, yaitu dengan mengangkat Pancasila dari sekadar konsensus politik menjadi ideologi negara. Dan semua ideologi yang dulunya hidup yang sudah disterilkan dari ideologi selain Pancasila, dihapuskan secara perlahan-lahan.

Namun pada saat yang sama Orde Baru membutuhkan legitimitas bagi program pembangunannya. Karena itu diperlukan pemberian legitimasi dari semua kekuatan yang ada Dengan kata lain pemimpin-pemimpin Islam, organisasi-organisasi Islam juga diminta untuk memberikan legitimasi. Dulu, bentuk pemberian legitimasi tersebut sangat sederhana, seperti menghalalkan KB. Kemudian dilanjutkan dengan pemapanan doktrin-doktrin semacam Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, dari sudut pandang Islam. Akhir-akhir ini, bentuk legitimasi itu semakin jauh lagi. Dengan lahirnya ICMI maka banyak aspek yang dimintakan legitimitas, dan dibuatkan legitimasi dari kalangan Islam.

Dengan kata lain, kekuatan Islam kembali muncul sebagai kekuatan politik. Kalau tadinya Islam adalah ideologi formal, suatu pandangan politik, sekarang Islam menjadi kekuatan politik, bukan lembaga politik Islam dalam bentuk kelembagaan politiknya sudah disalurkan kepada PPP, PDI dan Golkar, juga Utusan Daerah. Secara riil politik, kekuatan Islam diperlukan sebagai kekuatan politik. Inilah posisi politik Islam yang ada saat ini.

Dengan demikian, orang Islam sebenarnya juga tidak bisa menghindar dari politik. Kalau menghindar sama saja dengan tidak mengerti perkembangan keadaan, karena set-up Orde Baru memang sudah demikian.

Perkembangan peranan politik dari gerakan Islam, termasuk NU dan Muhammadiyah, harus diletakkan dalam konteks kekuatan politik, bukan sebagai aliran politik atau lembaga politik. Kalau persoalan itu sudah bisa didudukkan maka barulah kemudian bisa dipikirkan tentang bagaimana agar antara kekuatan politik dengan lembaga politik dapat diadakan proses saling mengambil dan saling mendukung atau juga saling menolak. Misalnya kasus sedikit curiga atau kurang tanggapnya gerakan-gerakan Islam terhadap kebutuhan PDI. Corak keislaman PDI dianggap tidak jelas. Masih lebih jelas Golkar karena di sana aspirasi keislaman ditampung. Namun demikian penampungan aspirasi Islam di Golkar sesungguhnya adalah dalam suatu kandang yang tidak begitu besar. Nasib Islam di Golkar seperti nasib wanita di kabinet, diberi menteri UPW satu, selesai. Peranan wanita hanya sepanjang yang dirumuskan UPW.

Dengan demikian kita melihat bahwa bidang yang besar dipersempit dengan adanya penanganan oleh Golkar terhadap kekuatan politik Islam dalam hubungan yang sekadar saling memanfaatkan. Kalau akan Pemilu maka Muhammadiyah, NU, Persis, dan lain-lain dibantu dalam segala hal oleh Golkar, atau setidaknya dijanjikan untuk dibantu. Jadi ada tukar menukar atas dasar asas resiprokalitas. Inilah yang terjadi selama ini.

Tetapi, apakah kekuatan politik Islam berhenti sampai di sini dalam arti hanya berhubungan dengan kekuatan politik yang ada dan sekedar sebagai kuda tunggangan atau kadang-kadang menjadi kusir? Yang terakhir ini pun tidak begitu jelas. Kadang-kadang Islam menjadi kusir, seperti pada kasus RUU-PA, kadang-kadang Golkar menjadi kusir dan gerakan Islam adalah kudanya. Nah, hubungan yang tidak mempunyai kerangka yang jelas ini sifatnya insidentil, tanpa konsep. Yang dianggap konsep dalam hal ini ialah wadah makro yang bernama Negara Republik Indonesia dengan ideologi Pancasila.

Dengan demikian berbicara tentang peranan politik adalah berbicara tentang dua jenis hubungan, yaitu hubungan antara peranan (gerakan) Islam dengan lembaga politik yang ada. Dan selanjutnya melalui lembaga politik yang ada ini, hubungan dilanjutkan dengan sistem pemerintahan.

Tetapi ternyata tidak selalu demikian, karena terjadi juga jalan pintas. ICMI misalnya, langsung mengadakan approach, lobi dan lain-lain dengan pemerintah, yang sebenarnya adalah pengambilalihan peranan lembaga politik. Terjadi proses tumpang tindih, karena secara formal ICMI bukanlah lembaga politik sehingga semestinya dia menyalurkan secara formal pandangannya dalam kehidupan bernegara kepada lembaga-lembaga politik yang ada, bukan dengan memasukkan sebanyak mungkin orang-orangnya ke dalam lembaga politik.

Jadi dewasa ini telah terjadi proses di mana peranan politik dari sebuah kekuatan politik Islam tidak lagi melalui lembaga politik. Mungkin kadangkala NU dan Muhammadiyah juga demikian, hanya ukuran dan levelnya saja yang mungkin berbeda Sebagai kekuatan politik NU dan Muhammadiyah mempunyai kekuatan tawar-menawar. Walaupun hanya ormas, gerakan-gerakan Islam memiliki posisi tawar-menawar yang biasanya digunakan sesuai level masing-masing. Tawar-menawar itu mungkin tidak berhubungan dengan personalia pemerintahan, tetapi lebih kepada program-program. Dalam hal ini pemerintah didukung dengan syarat memberikan program-program pembangunan kepada umat Islam, yang diwakili oleh golongan-golongan Islam yang ada Dengan kata lain, hubungan tersebut adalah hubungan saling memanfaatkan yang juga merupakan pola hubungan yang umum berlaku.

Dalam hal ICMI, karena dia merupakan kumpulan “makhluk-makhluk berkualitas”, tentu komunikasinya sepadan pula dengan yang ada dalam pemerintahan Kalau Muhammadiyah, karena merupakan kumpulan orang-orang pracangan (toko eceran), dan NU terdiri dari para petani maka tidak bisa berkomunikası seperti yang dilakukan oleh orang-orang ICMI, karena itu daya tawar-menawarnya pun menjadi kurang. Tawar-menawar adalah masalah komunikasi belaka, termasuk di dalammya masalah menggertak dan sebagainya. Muhammadiyah, karena terdiri dari para guru, maka tidak bisa menggertak. NU dari dulu juga tidak bisa menggertak. NU hanya bisa menggeram, mau membentak tidak jelas apa yang harus dibentakkan karena hanya berupa uneg-uneg yang muter, tidak keluar-keluar. Yang keluar dari NU seperti auman dari singa ompong.

Setelah kita melihat situasi umat Islam yang demikian maka persoalan selanjutnya adalah apa penilaian kita terhadap situasi tersebut Jalan pikiran kita memang rancu Kita memiliki kekuatan politik, posisi bargaining yang kuat, sasaran yang cukup jelas yaitu baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur Rancunya adalah bahwa umat mencampuradukkan antara sasaran dengan masalah kelembagaan. Kita merasa bahwa kita harus menguasai lembaga politik, sistem pemerintahan, jalur-jalur pendapat umum dan mekanisme mobilisasi massa. Padahal penguasaan terhadap beberapa hal tersebut dalam satu tangan adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena kehidupan politik berdasarkan asas saling mengimbangi. Siapa saja yang menguasai semua hal tersebut maka dia akan menjadi saingan pemegang kekuasaan, tidak bisa lain. Dengan kata lain, kalau gerakan Islam sampai berperan atau mampu menguasai semua hal tersebut maka akan dianggap sebagai ancaman oleh pihak-pihak yang tidak ikut di dalam gerakan Islam itu sendiri. Dan kalau itu terjadi maka tidak perlu heran bila mulai dari ABRI sampai dengan perkumpulan tukang cukur yang menjadi minoritas, berkepentingan untuk bersatu menghadapi gerakan Islam.

Karena tidak mau mengingat hal tersebut maka kita semua berada dalam keadaan yang selalu frustrasi. Dalam hal ini ada dua macam frustrasi. Pertama, frustrasi yang tersembunyi, yang keluarnya dalam ben-tuk “Tidak usah macam-macam pun kita berperan baik, kok.” Tetapi mereka lupa bahwa orang Islam tidak ikut mendefinisikan masalah yang ditangani. Agenda datang dari luar, bukan dari kalangan Islam. Kita tinggal “amin” lalu kerjakan. Dengan demikian kita bukan lagi ormas tetapi organisasi kuli. Kedua, kita merasa gagal total, tidak pernah berhasil dan musuh begitu hebat. Maka kemudian dicari sasaran lain sebagai kambing hitam yaitu kalau tidak ABRI, ya orang Kristen. Dalam hati kecil kita merasa bahwa semua pihak menghalangi orang Islam, yang pada giliran selanjutnya menimbulkan frustrasi.

Padahal kalau kita melihat persoalan dengan jernih maka peran-peran itu bisa dibagi dengan baik, dalam arti, mana yang kita serahkan kepada siapa. Dalam hal inilah terletak tawar-menawar yang sesungguhnya, bukan dalam program dan penguasaan lembaga atau pemerintahan, tapi dalam bargaining fungsi-fungsi. Aspek-aspek itu harus dibagi secara jelas, mana yang diserahkan kepada orang Islam dan mana pula yang harus diserahkan kepada orang lain. Kalau ada gentleman agreement, dalam hal ini maka menurut saya tidak akan ada banyak problem.

Kebalauan pikiran kita muncul karena wilayah tawar-menawar yang harus kita garap itu menjadi lebih rumit karena problem-problem intern kita sendiri seperti kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan bahkan juga perpindahan agama. Dalam waktu 25 tahun ini kita kehilangan 6 persen dari kaum muslimin karena pindah agama. Banyaknya problem itu langsung kita kaitkan dengan peranan politik orang Islam, maka tentu saja membuat kita kacau-balau.

Oleh karena itu, saya melihat bahwa dalam melakukan reorientasi wawasan sosial politik kita terlebih dahulu harus: Pertama, mengadakan kaji ulang terhadap situasi kita sendiri dalam rangka mencari kejernihan untuk mengetahui mana yang diberi prioritas dan mana saja yang dikesampingkan terlebih dahulu. Kedua, kita harus menetapkan fungsi-fungsi mana yang harus ditekankan dan fungsi-fungsi mana yang dapat kita kompromikan. Kalau hal ini dapat dilaksanakan maka peranan politik orang Islam akan berkembang sesuai dengan kekuatan politiknya. Dan kalau demikian maka tidak akan terjadi frustrasi yang berlebih-lebihan yang melanda kehidupan kita.

Seandainya itu semua bisa dilakukan maka fungsi-fungsi apa sebenarnya yang patut kita berikan prioritas dan mana yang tidak? Ada beberapa fungsi yang tidak bisa kita korbankan, baik karena akidah maupun karena program kita–program merupakan pelaksanaan akidah-yaitu merumuskan arah pembangunan. Pembangunan bangsa harus memperoleh rumusan-rumusan yang jelas arahnya agar tidak menyimpang dari sasaran yang telah ditetapkan oleh Islam. Islam tentu tidak menginginkan suatu masyarakat industrial di mana moralitas berantakan Islam tidak menginginkan suatu model pembangunan yang eksploitatif karena bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri Islam juga tidak menginginkan adanya suatu struktur pemerintahan di mana keadilan tidak bisa ditegakkan. Oleh karena itu kita harus menjelaskan apa yang kita maui. Nah dalam penetapan sasaran-sasaran pembangunan dan pengolahan konsep pembangunan itulah kita harus menjelaskan apa yang kita inginkan.

Kita jangan seperti sekarang ini, hanya berbicara tentang sekian universitas yang dibantu pemerintah, sekian asrama haji, rumah sakit haji, dan lain-lain yang tidak jelas kerangkanya. Hal ini justru membuat kita bertambah frustrasi. Begitu banyak hard ware yang kita terima tetapi begitu sedikit soft ware yang bisa kita kembangkan. Hard ware tidak ada artinya tanpa soft ware Apa artinya itu semua sebagai infrastruktur fisik kalau kita tidak tahu mau dibawa ke mana?

Saat ini saja terjadi krisis di sekolah-sekolah kita yaitu ke mana anak-anak kita akan kita arahkan. Dalam hal ini pembicaraan kita simpang-siur, yang pada dasarnya diakibatkan oleh ketidakjelasan penekanan kita antara berbicara secara konseptual tentang pembangunan atau berbicara secara retorikal tentang konsep pembangunan tersebut. Kalau kita mau berbicara secara konseptual maka kita harus mulai block-building, membuat unit-unit pecahan yang harus kita pecahkan satu demi satu secara simultan, sehingga secara keseluruhan membentuk apa-apa yang kita inginkan. Dalam masalah seperti ini kita kalah jauh dengan teman-teman kita dari Malaysia.

Orang Islam harus merebut peran dalam aspek pengonsepan pembangunan. Dalam hal ini, tentu saja, tidak berarti kita sendiri, tetapi tetap bersama-sama dengan yang lain Dengan kata lain kalau toh ada peluang untuk bargaining politik di mana kekuatan politik kita diperlukan maka kita bisa mengatakan “Oke deh pak, kita saling mendukung tapi mohon ini tempat kami.” Kalau saat ini, konsep kita larut! Konyolnya lagi, ketika konsep kita ajukan lalu dijawab: “Kita hanya menggunakan referensi Pancasila”, maka kita mundur. Seakan-akan konsep kita tidak Pancasilais.

Hal ini terjadi karena kesalahan kita sendiri. Kita merumuskan apa yang kita inginkan itu secara retorikal dan dalam bungkus keagamaan yang begitu pekat sehingga tidak bisa difahami orang secara universal. Dihormati ketika penyampai berbicara dengan Al-Qur’an dan Hadits, semua mengangguk-angguk kagum. Tetapi setelah itu tidak dipakai lagi karena memang tidak dimengerti.

Jadi, menurut saya, kalau saat ini umat Islam menginginkan peranan politik maka hendaknya peranan itu. Pertama, adalah peranan politik yang bersifat konsepsional. Kedua, diperlukan pengembangan kepemimpinan Islam yang mumpuni terhadap kebutuhan tersebut. Kepemimpinan kita saat ini masih berantakan, konsepnya masih asal jadi, baik NU maupun Muhammadiyah. Kepemimpinan intern umat harus diproyeksikan kepada kepemimpinan bangsa. Hal ini bukan berarti ketua NU harus jadi pejabat atau harus berada dalam lembaga pemerintahan. Yang diperlukan adalah kepemimpinan umat yang stand of the part with the others, pemimpin umat yang bisa berbicara dengan para jenderal, para perumus kebijaksanaan pembangunan secara setara. Kalaupun sekarang ini yang demikian itu ada, maka sifatnya baru individual, bukan merupakan kepemimpinan umat secara lembaga. Saya merasakan betul hal ini. Kalau ada undangan maka lebih banyak untuk saya pribadi dan si pengundang tidak mau menggantikannya dengan undangan untuk PB NU. Jadi saya diundang, sedang PB NU tidak. Padahal dalam kalangan kita banyak orang-orang pintar. Muhammadiyah pun saya kira dalam hubungannya dengan orang-orang luar juga merasakan problem yang sama

Dua hal tersebutlah yang harus dikembangkan oleh umat Islam. Hal yang lain sebetulnya datang dari dua hal itu. Kalau tidak demikian maka hanya sungsang sumbel. Hanya karena memiliki program bagus, punya pesantren besar di NU atau rektor Universitas Muhammadiyah yang besar, lalu punya peranan di organisasi. Persoalannya apakah seseorang tersebut mempunyai wawasan yang cukup untuk secara makro melihat masalah? Kadang-kadang hal itu belum jelas.


DIALOG

Tanggapan Peserta:

1. Abdurrahman Suryomiharjo

Dewasa ini nampaknya kesadaran kita sebagai warga bangsa Indonesia semakin lama semakin menaik. Ada semacam tuntutan, baik kepada diri sendiri maupun kepada dunia di luar kita, untuk lebih banyak diberi keleluasaan berkembang. Kita menuntut kepada diri sendiri untuk mengembangkan diri sendiri dan kita menuntut kepada dunia luar yang memaksa kita agar paksaan itu dicabut.

Dalam suatu diskusi saya pernah mengatakan bahwa kalau dilihat dari wawasan politik Islam sebetulnya tidak ada harapan bagi umat Islam. Bahkan Abdurraman Wahid pada kesempatan itu menambahkan bahwa bukan hanya tidak ada harapan, tetapi tidak boleh ada harapan. Kata boleh dalam kalimat itu membuat saya lebih terkejut lagi. Saya melihat dari kondisi internal tidak ada harapan, dan Abdurrahman Wahid, yang berkecimpung di luar lebih banyak dari saya, lobi ke sana kemari, mengatakan tidak boleh ada harapan.

Nah, sekarang ini nampaknya kita sedang memecahkan masalah antara tidak ada dan tidak boleh ada tersebut.

Kalau saya membuka catatan-catatan lama tahun 1912 dan 1926, maka saya melihat bahwa memang yang dibicarakan pada hari ini adalah sesuatu yang sangat lain. Para pemikir yang muncul dan berbicara juga sangat berbeda.

Salah satu masalah pokok dalam pendidikan adalah bukan bagaimana seharusnya kita mendidik tetapi juga adalah siapa yang harus menjadi pendidik. Muhammadiyah dulu memiliki Kweek School Met de Qor’an, NU dengan caranya sendiri juga mengembangkan suatu metode pendidikan. Sekarang ini saya belum melihat siapa yang harus mendidik anak didik. Potensi yang paling kuat dari kedua organisasi ini adalah bahwa ada pendidik-pendidik, ada yang dididik dan kaderisasi juga sebetulnya datang dari pendidikan ini. Jadi ada penguatan dari dalam. Kemudian karena kita hidup bernegara maka tentu saja ada pembatasan-pembatasan dengan berbagai undang-undang.

Tetapi spirit untuk membangun dan mengubah saya kira sekarang ini ada pada tahap yang menentukan. Karena itu saya hadir di sini untuk melihat bagaimana cara berpikir Muhammadiyah dan NU saat ini.

Kalau keadaan NU dan Muhammadiyah seperti digambarkan oleh pemakalah-pemakalah, maka saya kira, ada satu point yang harus ditentukan yaitu bagaimana cara mengatasi keadaan seperti saat ini. Kedua organisasi ini sebetulnya cukup kuat.

Pernah juga disinggung tentang aktivis organisasi yang bekerja di dua tempat, berbeda dengan generasi pendahulu yang bekerja full time untuk organisasi. Masalah Ini juga harus dipecahkan.

Sehubungan dengan social reconstruction sebagai tujuan dakwah seperti disebutkan Amien Rais, saya kira Billah telah dengan jitu menye-butkan suatu historical reconstruction dari pengalaman umat Islam (dalam rangka social reconstruction tersebut).

2. Dr. Jamaluddin Kantau

Ada cerita seseorang yang sakit. Dia sesungguhnya sakit tetapi kepada keluarganya dan kepada orang lain dia mengaku tidak sakit. Ketika dikasih obat oleh orang lain ditolaknya. Akhirnya penyakit yang ada padanya bertambah parah dan dia mati.

Kalau cerita di atas saya transfer kepada pendidikan atau orsospol, khususnya di Sulawesi Tengah atau mungkin juga di daerah lain, mungkin mereka terkena penyakit paranoia. Mereka mengatakan bahwa organisasi-organisasi mereka kuat, hebat, beranggota banyak, tetapi kalau ditanyakan berapa jumlah pasti anggota, mereka tidak bisa menjawab. Saya pikir ini suatu kenyataan yang perlu direnungkan. Berapa sebenarnya anggota riil dari organisasi-organisasi tersebut harus diketahui agar perencanaan program mengenai sasaran. Dalam hal ini kita perlu mencontoh ABRI yang tahu persis berapa jenderal, kopral, sersan dan apa-apa yang mereka kerjakan. Kalau hal ini kita sadari maka barulah kita menjadi suatu organisasi yang berkualitas. Kita tidak akan bisa berkualitas kalau untuk mengakui sakit diri saja tidak mampu.

3. M. Ramll

Meskipun diskusi ini tentang Muhammadiyah dan NU saya memulai tanggapan saya dengan fokus tentang Abdurrahman Wahid sendiri

Pertama, dari keterangan tentang dua model frustrasi yang dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid tadi, apakah Forum Demokrasi-nya Abdurrahman Wahid itu juga merupakan model ketiga dari bentuk frustrasi tersebut? Ini saya tanyakan karena kita sering tidak bisa membedakan antara sosok pribadi dengan kepemimpinan di organisasi. Nampaknya Abdurrahman Wahid membikin sesuatu, katakanlah oposisi politik, yang meskipun kecil-kecilan, banyak bertentangan dengan pemikir-pemikir Islam lainnya.

Kedua, di sisi lain saya melihat pemikiran Munawir Syadzali justru merupakan rangkaian dari pemikiran Nurcholish Madjid yang pada tahun 1970-an mengatakan “Islam Yes, Partai Islam No”, yang ternyata hasilnya menggembirakan dan banyak keuntungannya untuk saat ini.

Ketiga, apakah nantinya kalau kita menggalakkan kekuatan politik NU dan Muhammadiyah maka Abdurrahman Wahid akan surut dari Forum Demokrasi karena di sana tidak membayangkan politik keislaman?

Keempat, apa benar ketika orang ramai-ramai mengajukan calon presiden si A dan si B, tetapi Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa yang paling afdhal menjadi presiden adalah Sudharmono dan LB Murdani? Hal ini perlu diangkat karena sering menimbulkan salah tanggap, dan ada yang menyangka Abdurrahman Wahid mencalonkan mereka berdua. Pernyataan-pernyataan politik seperti ini apakah tidak merugikan kepentingan politik umat Islam?

4. Abdullah

Pertama, ada suatu kendala yang sangat mendasar bagi upaya pengembangan atau upaya melakukan sinergi gerak antara NU dan Muhammadiyah yaitu trauma sejarah, baik yang berangkat dari latar belakang kelahiran Muhammadiyah dan NU ataupun trauma sejarah yang berangkat dari perjalanan Muhammadiyah dan NU dalam dataran sosial-politik. Mungkin kita sudah memahami persoalan-persoalan yang sudah menyerempet bahaya bagi persatuan umat Islam tersebut. Tetapi pada dasarnya yang sangat mengkhawatirkan itu justru terjadi pada lapisan akar rumput, yaitu umat yang paling bawah, akibat kemiskinan intelektual dan ekonomi.

Oleh karena itu, persoalan sebenarnya adalah bagaimana upaya menghapus trauma sejarah yang mayoritas berjangkit pada lapisan bawah itu? Kalau pada lapisan atas nampaknya trauma itu sudah tidak ada. Persoalan tersebut sangat psikologis sehingga sulit dihilangkan dalam waktu dekat.

Kedua, saya sangat tertarik dengan upaya menjalankan peran politik umat Islam yang belum melembaga sebagai suatu partai, masih berupa kekuatan-kekuatan tersembunyi, silent power Jadi berupa bayang-bayang politik yang sebenarnya tetap potensial. Saya minta tanggapan tentang bagaimana prospek terjadinya pelembagaan partai Islam, walau tidak dengan nama Islam, yang memiliki kekuatan politik dan kekuatan-kekuatan lainnya secara terlembaga dan formal.

5. Khairul F. Nawawi

Perjuangan politik Islam secara formal-institusional telah dimulai sejak republik ini berdiri, bahkan di masa-masa sebelumnya, yaitu pada sidang-sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945. Dalam sidang-sidang tersebut yang paling menjadi inti persoalan adalah apakah negara yang akan diproklamasikan kemerdekaannya itu berdasarkan paham agama (Islam) atau paham sekuler.

Persoalan ini dalam perjalanan republik kemudian muncul secara transparan di pentas politik melalui perangkat-perangkat demokrasi formal, misalnya partai politik (dan organisasi-organisasi underbownya), Majelis Konstituante dan seterusnya. Akan tetapi usaha-usaha dari kelompok Islam ini tidak pernah berhasil, bahkan mereka lebih banyak berada jauh di luar pusat-pusat pengambil keputusan, sampai pada akhirnya Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas partai politik dan ormas pada tahun 1984. Dengan kata lain tidak ada lagi partai Islam di negeri ini.

Sekarang, kelompok Islam ini tampil di panggung politik (bahkan mendekati tampuk kekuasaan) dengan tidak memakai baju partai politik, juga tanpa jargon-jargon “politik Islam”. Melalui gerakan kultural kalangan Islam memasuki setiap medan yang memungkinkan ia bergerak leluasa (tanpa tuduhan ekstrim kanan dan sebagainya). Kebanyakan mereka memasuki jalur birokrasi pemerintahan.

Fenomena terakhir ini kelihatannya kurang disukai oleh Abdurrahman Wahid. Mungkin bisa menjelaskan alasannya.

Jawaban Pemakalah dan Pembanding: K.H. Abdurrahman Wahid

Kalau disarikan sebenarnya hanya ada tiga masalah yang muncul–Abdurrahman Suryomiharjo hanya ingin melihat kita, dan yang dari Palu itu hanya frustrasi intern, jadi tidak perlu dibicarakan.

Pertama, apakah benar pendekatan memanfaatkan birokrasi untuk kepentingan Islam, yang sebagai konsekuensinya orang Islam harus masuk sebanyak-banyaknya ke dalam jajaran birokrasi, secara fundamental memberikan peranan politik kepada Islam? Menurut saya, tidak. Karena agenda, struktur dan mekanisme politik dikuasai oleh orang-orang yang tidak menggunakan acuan Islam, walaupun mereka Muslim.

Sebagai contoh, kalau Anda menganggap bahwa untuk membendung Islam, Daoed Yoesoef berupaya mengebiri kemampuan anak-anak kita agar anak-anak Muslim tidak bisa maju, maka Daoed Yoesoef lah yang Islamnya demikian, kalau pengandaian itu benar. Saya sendiri masih meragukan logika tersebut karena sekolah Kristen mayoritas siswanya juga anak-anak Islam. Lalu apa untungnya orang Kristen membuat cara-cara seperti itu? Mengebiri anak-anak Islam yang di sekolah negeri, padahal di negeri juga banyak anak-anak Kristennya? Saya tidak percaya dengan hal demikian karena merupakan “teori konspirasi” yang tidak mungkin. Saya melihat bahwa mungkin saja terjadi keputusan-keputusan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang membuat anak-anak kita tidak bisa maju, tetapi tidak dalam konteks konspirasi. Mencari konspirasi ke mana-mana itu sebenarnya adalah salah satu dari kembang frustrasi politik.

Apa yang dilakukan Munawir Syadzali adalah sama sekali berbeda dengan apa yang dikumandangkan oleh Nurcholish Madjid. Nurcholish, seperti juga saya, tidak concern sama sekali dengan apakah birokrasi akan menjalankan syari’at Islam atau tidak. Sedangkan Munawir mau mengadakan islamisasi birokrasi secara merambat, sentimeter demi sentimeter. Bagi saya itu tidak penting. Birokrasi itu sendiri berhadapan dengan hukum-hukum yang tidak bisa dielakkan, termasuk hukum-hukum birokrasi itu sendiri. Karena itu usaha tersebut akan mengalami jalan buntu. Kalau menteri-menteri sebagai kepalanya dicopot, dan anak buahnya diganti, maka habis sudah. Mundur lagi dari nol.

Jadi masalah pokoknya adalah tidak ada kekuatan inherent dalam diri umat Islam untuk mengatur dirinya secara politis.

Saya katakan yang demikian itu sebagai suatu frustrasi karena merupakan langkah dari kelompok besar yang tidak bisa menyatakan dirinya secara benar, apa adanya, tidak ada kekuatan intrinsic dalam dirinya sehingga dia menjadi kekuatan yang frustrasi. Cobalah kita bandingkan dengan Tamansiswa. Sebagai kekuatan pendidikan yang mempunyai nilai-nilai intrinsic/inherent di dalam dirinya, yang mempunyai world view (sikap hidup) yang jelas, sistem pendidikannya, termasuk kurikulumnya di zaman kolonial ditentukan sendiri. Tetapi dengan terjadinya penggusuran peran oleh birokrasi yaitu dengan bentuk penegerian semua konsep maka Tamansiswa hanya bisa frustrasi. Ikut saja dalam sistem sambil teriak begini begitu karena maksud yang tidak kesampaian.

Dengan demikian walaupun banyak kemajuan yang telah dicapai, ada mushalla di gedung-gedung pemerintahan –dan ini kita akui– tidak berarti orang Islam bisa melakukan agenda politik yang mereka inginkan. Kenyataannya adalah bahwa birokrasi itu sendiri dibentuk orang lain. Untuk mengukur hal ini kita bisa melihat apakah orang-orang yang dijagokan akan menjadi perwakilan dari golongan-golongan Islam dalam birokrasi nantinya bisa masuk atau tidak.

Kedua, mengapa ada sikap seperti sikap saya yang menyimpang dari “alur umum”. Jadi mereka menganggap diri sebagai alur umum dan saya yang menyimpang, bahkan juga dikatakan merusak, mendobrak, menghancurkan apa saja. Menurut saya kalau memang alur umum itu betul maka tentu dia mempunyai kekuatan. Kalau saya hanya mengatakan sektarianisme, lalu hancur, apa itu kuat? Kalau memang hancur, saya minta maaf deh.

Semestinya, dalam proses ini selalu ada peluang untuk meragukan segala sesuatu. Bahwa apa yang saya lakukan dianggap sebagai batu ujian misalnya, itu sesuatu yang enak. Tidak usah marah. Kenyataannya adalah bahwa ada dua mode yang dikemukakan. Saya memang sengaja mau menunjukkan bahwa di kalangan Islam pun ada yang ikut model inklusif, model umum, di mana perjuangan menegakkan demokrasi itu meliputi semua pihak, bukan hanya monopoli orang Islam. Oleh karena itu orang Islam tidak usah eksklusif dengan membikin demokrasi sendiri lalu beramai-ramai keluar dari demokrasi yang umum itu sendiri.

Dengan segala penghormatan saya kepada gerakan tersebut, saya melihat gerakan-gerakan mereka itu dengan mengelus dada. Mereka memegang terlalu banyak ilusi dan harapan-harapan yang dikandung yang kalau gagal maka ngenes. Karena dalam hal ini kita mengaitkan segala sesuatu dengan hal-hal kongkret yang terjadi pada jangka pendek sehingga kita tidak bisa melakukan suatu pemikiran yang jernih mengenai prioritas dan konsep politik yang akan kita kembangkan dalam jangka panjang.

Saya ingin mengajak umat Islam, justru sebaliknya, berbicara tentang politik dalam konteks nation state kita yang memang pluralistik. Karena itu wawasan politik kita harus pula pluralistik, dan orang Islam dalam hal ini harus sebagai pembentuk wawasan politik yang pluralistik itu. Semakin besar kita berperan dalam hal ini, semakin besar pula peranan yang akan kita dapatkan. Orang-orang minoritas di negeri ini secara konsepsional sangat menentukan, karena mereka telah berbicara tentang hal-hal yang demikian. Kita ini hanya emosi melulu dan mereka berpikir terus. Persoalannya bagaimana kita harus berpikir secara sistematik, ilmiah, obyektif, sehinga mencapai, setidaknya, jarak antara kita dengan masalah kita. Tetapi jangan pula kita menjadi masalah.

Saya ingin orang Islam ikut dalam main stream politik bangsa kita, bukan main stream sistem pemerintahan kita. Main stream pemerintahan kita adalah main stream yang menganut konsep pembangunan dari atas yang tidak memberi tempat kepada peranan masyarakat secara cukup, kecuali sekadar memberikan legitimitas. Saya ingin muncul suatu masyarakat, yang menurut istilah Arief Budiman, civil society. Suatu masyarakat yang mampu mempertahankan dirinya terhadap penetrasi dari pemerintah.

Dalam hal ini memang ada domain yang tidak boleh dilanggar Kalau kita mengambil agenda Islam maka hal ini kabur. Islam memang tidak mengenal pembedaan antara pemerintah dengan individu karena teori politik Islam sampai saat ini tidak berkembang Teori yang ada saat ini hanya merupakan pengulangan belaka dari zaman Khulafaurrasyidin dan lain-lain. Bagi orang NU misalnya, hanya al ahkamus sulthaniyah nya Mawardi. Paling tinggi Ibnu Taimiyah, seperti yang diperlihatkan Nurcholish Madjid Jadi semua adalah pengulangan, tidak ada pengembangan dari hal-hal baru. Dalam hal ini selama ini kita masih konsumtil.

Oleh karena itu saya mengajak kita untuk mencari kawasan-kawasan pemikiran politik yang baru. Dan saya menganggap apa yang dilakukan oleh teman-teman itu sektarian adalah dalam pengertian ini. Memang apa yang mereka lakukan itu tidak buruk tetapi kalau hanya itu maka berarti kita hanya berjalan di tempat. Kita tidak maju-maju, hanya merebut pemerintahan, tidak lebih dari itu.

Demikian juga halnya yang terjadi dengan marxisme Mereka saat ini berhenti. Apa-apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh marxisme, seperti Luckas, menunjukkan kebobrokan marxisme karena ketidakbisaan mengembangkan pemikiran. Marxisme hanya terkait dengan kekuasaan dan hanya ingin merebut atau mempertahankan kekuasaan. Sehingga akhirnya terjadi keropos di dalam.

Apa-apa yang kini dibuat untuk merebut kekuasaan atas nama Islam juga akan keropos karena tidak berbicara tentang fungsi manusia secara kemasyarakatan dalam arti keseluruhan totalitas hidup masyarakat, di mana budaya, lembaga dan aspirasi atau orientasi atau apa pun, bertali satu sama lain. Kita hanya berbicara tentang lembaga dan menganggapnya paling menentukan, hanya karena memberi kita surau, mendirikan mushalla di kantor-kantor, misalnya. Kita lupa bahwa di samping ada masjid masuk kantor, ada juga ABRI masuk desa. Kita hanya melihat keuntungan dan tidak pernah menghitung kerugian.

Dalam konteks yang kedua ini saya akan menjawab pertanyaan tentang pencalonan Benny Murdani dan Sudharmono. Saya mau berbicara apa adanya. Saya ditanya wartawan dan saya merasa wajib menjawab. Karena itu dalam hal ini salahkan saja wartawan yang mewawancarai saya itu, jangan saya.

Saya menjawab pertanyaan tentang apa pendapat saya tentang keinginan PDI mencari calon presiden lain selain Pak Harto Jawaban saya adalah bahwa yang pantas menjadi presiden selain Pak Harto di Indonesia ini adalah Sudharmono dan Benny Murdani. Karena dalam hal ini merekalah yang memiliki kemampuan membuat sistem sendiri sebagai sub sistem negara kita sekarang.

Pak Harto membuat sistem sendiri. Dia menggunakan kedudukaninya sebagai ketua Dewan Pembina Golkar, sebagai kepala eksekutif dan sebagai mandataris dengan baik. Orang-orangnya dipasang dengan kompleks, ruwet dan pinter, sebegitu rupa. Benny juga demikian Pembinaan politik di ABRI dilakukan oleh Benny, yang lain ikut saja. Salah satu manifestasinya adalah kenyataan bahwa dalam beberapa tahun intelijen diisi oleh orang Kristen melulu. Kita tidak perlu benci atau tidak, ini adalah suatu kenyataan. Karena itu dia patut menjadi presiden. Sudharmono adalah orang yang bisa membuat mekanisme politik melalui Golkar dan birokrasi. Penyebaran, pengontrolan, penghubungan orang-orangnya, jelas sekali. Jadi dari teori atau pengamatan, maka tiga orang itulah yang pantas menjadi presiden.

Tetapi saya katakan pada wawancara itu, dan ini yang tidak dimuat koran, bahwa dua orang terakhir mempunyai kelemahan fatal, yang satu Katolik dan yang satunya tidak diterima oleh ABRI untuk menjadi presiden. Karena itu tampaknya masih Pak Harto saja. Dengan kata lain, sebaik-baik maksud PDI dan Guruh, tidak akan tercapai.

Ketiga, dalam konteks membangun peranan politik dengan Islam sebagai kekuatan politik, muncul pertanyaan tentang bisakah dibuat suatu kerangka bersama, bukan pengaturan bersama, antara Muham-madiyah dan NU. Menurut saya tidak mungkin, setidaknya satu generasi ini, karena Muhammadiyah sebagaimana NU tidak monolitik. Jadi masalahnya bukan pada tingkat bawah terjadi perbedaan besar antara war-ga Muhammadiyah dan warga NU dalam masalah ‘ubudiyah dan sebagian masalah mu’amalah misalnya, karena hal ini tidak menyangkut politik. Some how, dulu kita pernah bisa bekerjasama di PPKI dan di Konstituante Dalam masalah asas tunggal misalnya, kita bisa saja disamakan. Jadi walaupun ibadahnya berbeda, tetapi pandangan sama, tidak ada masalah.

Persoalannya memang bukan di situ, karena di dalamnya terjadi juga kekembaran-kekembaran pandangan masing-masing. Inti dari masalah itu ada dua, baik di NU, Muhammadiyah atau di mana-mana, yaitu: Pertama, ada yang menganggap bahwa Islam harus diperankan secara eksplisit dalam kehidupan bernegara. Berarti sebagai kekuatan formal Islam harus lahir, untuk selanjutnya dikembangkan dalam pemerintahan. Yang menjadi motif dalam hal ini adalah pelaksanaan syari’at sebagai undang-undang Bukti dari hal ini adalah Undang-Undang Perkawinan, UU-PA, dan lain-lain. Akhirnya seperti di Malaysia saat ini yang menuntut dilaksanakannya hudud (hukum pidana Islam) yang diambilkan dari Islam yang mereka pikirkan. Jadi pendekatan yang digunakan dalam hal ini adalah legal formalistik, di mana Islam harus diberlakukan sebagai hukum karena dia memang agama hukum. Kedua, ada anggapan bahwa hukum itu adalah fiqih yang merupakan bagian dari syari’ah. Karena itu syari’ah tidak boleh direduksi menjadi hukum karena dia merupakan jalan hidup, way of life, yang memiliki sisi formal dan sisi nonformal (moral, etika dan lain-lain). Karena itu walaupun tidak diundang-undangkan, ajaran Islam akan dilaksanakan oleh pengikutnya melalui syari’ah dalam arti totalitas tersebut, bukan dalam arti legalisasi ajaran Islam dalam undang-undang negara.

Sesungguhnya inilah inti masalah. Kalau tidak mengakui hal ini maka dalam pembicaraan masalah apa saja kita tidak akan bertemu Persoalannya apakah bisa antara kedua pandangan tersebut direkonsiliasi? Kalau bisa, di mana titik temunya? Kalau titik temu itu telah ditemukan maka barulah kita bisa berbicara tentang Muhammadiyah dan NU bersama-sama membuat program politik. Jadi masalahnya bukan karena Muhammadiyah dan NU sama-sama tidak mau, tetapi di dalam Muhammadiyah dan NU itu sendiri masing-masing ada dua kelompok itu. Inilah masalah pokoknya.

Saya rasa Golkar pun sudah mulai ketularan hal yang sama, karena orang-orang dari gerakan Islam mulai masuk ke Golkar dengan membawa cultural baggage-nya masing-masing. Menurut saya hal yang terakhir ini merupakan suatu perkembangan yang belum kita ketahui bagaimana jadinya nanti.

Nah, bagi kita yang menganjurkan pandangan legal formalistik, jangan cepat-cepat putus asa. Dan bagi yang tidak mau juga tidak apa-apa. Marilah kita kembangkan model syari’ah sebagai jalan hidup dan model syari’ah sebagai proses legislasi yang membutuhkan kekuatan-kekuatan politik formal untuk mendukungnya. Persoalan bagi keduanya adalah bisakah untuk sementara waktu, yang mungkin seribu tahun lamanya, dicapai kesepakatan tentang dasar-dasar masyarakat yang ingin dicapai. Kalau dasarnya adalah masyarakat yang demokratis, pertanyaan selanjutnya demokratis yang seperti apa? Kalau dasarnya adalah masyarakat yang berkedaulatan hukum, pertanyaan selanjutnya adalah kedaulatan hukum yang seperti apa? Nah, sekarang ini yang demikian belum terjadi karena yang ada baru saling salah menyalahkan, termasuk dalam hal ini ketika tadi saya disalahkan, tanpa menyadari bahwa, seperti tadi dianggap oleh orang yang menyalahkan saya, penting sekali untuk menguasai birokrasi agar birokrasi bisa mendukung suatu program pengislaman hukum kita. Inilah yang sebenarnya ada di belakang benak kita yang tidak pernah disadari tetapi muncul terus dalam sikap-sikap dan pernyataan-pernyataan yang sifatnya seruan-seruan dan ajakan-ajakan.