Munir Telah Meninggalkan Kita

Sumber Foto: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/431011/peneliti-perlu-perspektif-kritis-tetapkan-kasus-munir-sebagai-pelanggaran-ham

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Munir Said Thalib adalah pria kelahiran Batu di kawasan Malang yang telah menjadi kekayaan bangsa. Sekian tahun lamanya, ia mengisi hidup dengan perjuangan menegakkan hak asasi manusia di negeri kita. Apa pun kata orang tentang dirinya, Munir telah membuktikan bahwa perjuangan menegakkan HAM adalah sesuatu yang mulia, juga penuh bahaya yang terus-menerus mengintai nyawanya semenjak ia dan kawan-kawan berjuang melalui Kontras dan Imparsial. Hanya saja, terdapat perbedaan sangat besar antara Munir dan kawan-kawannya seperjuangan, yaitu kesediaan untuk mengorbankan diri bagi perjuangan yang diyakininya.

Seperti dikemukakannya kepada saya pada suatu ketika, bahwa apa pun bahaya yang mengancam dirinya, dia akan tetap melanjutkan perjuangannya itu. Inilah hal yang tidak setiap orang mampu melakukannya, termasuk saya. Kematiannya, karena minuman yang diracun orang dalam perjalanan udara menuju Amsterdam, hanyalah salah satu dari berbagai kemungkinan yang dapat terjadi atas diri Munir.

Pada suatu waktu, saya bertemu Munir. Dalam pertemuan itu, dia menyatakan akan menulis disertasi di negeri Belanda yang akan memaparkan sejumlah orang yang dia duga menjadi otak pelanggaran HAM di negeri kita. Waktu itu saya berkata dalam hati, “Jangan Anda lakukan hal itu, karena akan menimbulkan reaksi sangat besar.” Tapi saya berpikir, tidak ada gunanya melarang Munir. Karena itu, saya tidak berkata apa-apa, hingga bencana kematian menjemput Munir yang hingga kini belum dapat diketahui secara pasti siapa pelakunya.

Salahkah sikap saya? Namun yang jelas, saya tidak mengetahui sampai seberapa jauh bencana yang menunggu Munir. Mungkin saja kita lalu berdalih, itu memang takdir yang menunggu Munir. Apakah itu sebuah jawaban “pelarian” atau bukan? Orang dapat saja menyatakan bahwa langkah untuk menulis disertasi seperti itu seharusnya dihindari oleh Munir. Keberanian Munir menggagas rencananya itu jelas merupakan misteri kehidupan yang tidak dapat kita pecahkan.

Kejadian yang menimpa diri Munir dalam perjalanan tersebut dapat saja diperdebatkan, bahkan sampai di belakang hari sekalipun. Teror adalah kejadian yang terus melingkupi kehidupan Munir sebagai seorang pejuang HAM. Yang jelas, pelanggaran HAM tidak seharusnya terjadi di negeri kita. Tragedi yang menimpa Munir, justru menjadi bukti adanya seorang anak bangsa yang membawa keyakinan bahwa kebenaran akan datang juga.

Adakah perjuangan menegakkan kebenaran, seperti yang dilakukan Munir melalui serangkaian kegiatan untuk menegakkan HAM di negeri ini, merupakan sebuah “panggilan” yang niscaya berujung kepada kematian? Seharusnya tidak. Adanya perjuangan tersebut merupakan jawaban akan perlunya perjuangan penegakan HAM dilakukan di negeri ini. Di sinilah terletak arti perjuangan Munir.

Orang boleh berdebat tentang cara perjuangan itu akan dilakukan, tetapi itu hanyalah “masalah teknis”. Namun prinsipnya, perjuangan itu harus dilakukan. Dengan sendirinya, diperlukan kehadiran sosok-sosok yang melakukan perjuangan itu. Setelah keharusan berjuang, maka akan hadir beberapa pertanyaan: keputusan pribadi untuk turut serta dalam perjuangan tersebut, dan kapan perjuangan itu harus dilakukan. Dalam berjuang diperlukan penyatuan antara prinsip perjuangan dan tekad pribadi.

Saya sendiri mengalami hal ini dalam perjuangan menegakkan sistem politik yang demokratis di negeri kita. Saya merasa harus memperjuangkan hal itu, walau harus berhadapan dengan teman-teman dan saudara-saudara sendiri. Yang lebih berat adalah keharusan menghadapi bangsa dan negara. Saya harus bekerja keras menegakkan aturan-aturan yang saya anggap harus dilakukan sekarang juga. Prinsip perjuangan saya terletak pada kata “keadilan dan kemakmuran” yang dalam Kitab Suci Al-Quran disebutkan: Wahai orang-orang beriman, tegakkan keadilan dan jadilah saksi bagi Tuhan walau mengenai dirimu sendiri. Selain itu, Kitab Suci Al-Quran juga menyatakan, Jangan kalian campuradukkan kebenaran dan kebatilan, dan jangan kalian tutup-tutupi kebenaran padahal kalian tahu.

Seperti Munir, dalam memperjuangkan keadilan, kita harus bertekad terus-menerus sebisa mungkin menetapkan kriteria-kriteria yang harus diikuti khalayak. Tapi perjuangan, walaupun diusahakan dengan sungguh-sungguh, masih saja ada yang luput dari perhatian. Jika diketahui ada yang luput, harus langsung dikoreksi.

Pada 1998, kita berhasil menegakkan reformasi yang seharusnya berujung pada terciptanya sebuah sistem pemerintahan yang utuh. Karena kealpaan kita sendiri, reformasi itu menghasilkan beberapa subsistem yang saling menghantam satu sama lain.

Tragedi pembunuhan Munir adalah pengalaman sangat berharga, yang dapat dijadikan modal agar negara kita benar-benar menjalankan sistem politik yang jujur atas dasar keadilan dan kemakmuran, sesuai dengan amanat UUD 1945. Untuk mencapainya, kita harus berani berkorban, bukan?