Pemimpin yang Kita Cari
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Terasa sekali pada saat ini bahwa tidak ada kepemimpinan nasional maupun kepemimpinan umat Islam yang menonjol yang sanggup memberikan inspirasi dan sanggup membakar semangat generasi muda. Tidak ada seorang pun pemimpin bangsa yang dapat menjadi gambaran-cita (ideal type) generasi muda menjadi penyuluh di kala kegelapan dan menjadi petunjuk di tengah badai kehidupan. Seolah-olah kehidupan bangsa dewasa ini tengah dipimpin oleh sejumlah pemimpin tak bermuka dan tak bernama, dengan kemampuan rata-rata, tanpa ada yang mengarahkan.
Tidak heranlah jika generasi muda merasakan adanya kekosongan, merasakan kehidupan sebagai irama datar yang tidak menimbulkan rangsangan dan kegairahan sama sekali.
Jenis kepemimpinan kolektif yang mengendalikan keduhidupan bangsa sekarang ini memang dianggap sebagai penyebab timbulnya rasa seperti ini. Teknokrasi yang didukung oleh kepatuhan hierarkis dari kelompok militer menghasilkan hilangnya sifat-sifat menonjol dari kepemimpinan bangsa, karena pada sistem pemerintahan terknokratis tekanan diberikan kepada penciptaan dan pengembangan cara kerja bersama dalam sebuah program umum. Atau dengan kata lain, kepada penumbuhan semangat “main bersama” (team playing). Selama permainan bersama dapat dipelihara, tidak dianggap merugikan untuk kehilangan kepemimpinan yang menonjol.
Kepemimpinan tanpa ada yang menonjol inilah yang sebenamya melandasi ketidakpuasan yang telah meluas di masyarakat dewasa ini. Terutama di kalangan mudanya. Tidak ada seorang pemimpin pun dapat ditunjuk sebagai biang keladi kelesuan kehidupan dewasa ini, tetapi begitu pula tidak ada seorang pemimpin pun dapat menjadi sumber inspirasi bagi bangsa secara keseluruhan.
Dengan melihat kepada latar belakang kehidupan kepemimpinan bangsa yang seperti inilah ingin ditinjau perbandingan kepemimpinan, untuk nantinya kita akan mampu menggambarkan kepemimpinan bangsa yang sebagaimana sebenamya dapat mengatasi kelesuan hidup bangsa di masa depan.
Kepemimpinan dapat dibagi dalam berbagai pembagian, terserah dari sudut mana kita memandangnya. Dari sudut kuantitas, kepemimpinan dapat dibagi menjadi kepemimpinan kolektif dan kepemimpinan individual/perorangan. Dari sudut jenisnya, dapat dikenal pembagian pada kepemimpinan tradisional (adat, agama, suku bangsa, dan sebagainya) dan kepemimpinan dinamis (ketentaraan, perusahaan modem, akademis, lingkungan wilayah, dan seterusnya).
Pengelihatan status akan menunjukkan adanya kepemimpinan formal maupun informal. Terakhir dari sudut pandangan fungsinya, kepemimpinan meliputi kepemimpinan ‘pencipta kesadaran’ (solidarity makers) dan administrateurs.
Kepemimpinan sebuah kelompok masyarakat yang besar dapat saja mengambil bentuk yang diingini, baik itu sebuah perusahaan swasta, sebuah organisasi sosial, sebuah partai politik berukuran nasional maupun pimpinan kenegaraan. Pimpinan tradisional dapat saja memegang tampuk pimpinan pemerintahan, sebagaimana juga pimpinan kolektif dapat menguasai sebuah perusahaan transnasional.
Tetapi, memang ada beberapa kepemimpinan yang hanya sesuai dengan bentuk-bentuk tertentu, seperti kepemimpinan ketentaraan (harus kolektif) atau akademis (harus dinamis, tidak dapat tradisional).
Masing-masing bentuk pun memiliki persyaratan, cara kerja, pendekatan dan cara pengambilan keputusan sendiri-sendiri, yang satu sama lain tidak bersamaan. Kebesaran sesuatu kelompok yang besar justru terletak dalam kemampuan menumbuhkan bentuk-bentuk kepemimpinan yang berbeda-beda dalam segenap unsur kehidupannya.
Di sini tidak ingin dilakukan perbandingan terperinci antara semua bentuk kepemimpinan yang sudah disebutkan di atas, karena hanya akan membosankan dan karena kesempitan ruang yang tersedia untuk itu. Perbandingan yang dilakukan secara garis besar belaka antara kepemimpinan “pencipta kesadaran” dan kepemimpinan administratif. Dari perbandingan itu akan tampaklah dengan nyata bagi kita, betapa beratnya tugas yang dipikul oleh kepemimpinan bangsa di kemudian hari, jika kita menginginkan kemajuan sosial ekonomis, tetapi tetap mampu mengembangkan kreativitas bangsa dan kegairahan hidup di kalangan rakyat.
****
Contoh dari kepemimpinan “pencipta kesadaran” yang paling teringat di benak kita adalah Bung Kamo, semasa beliau dalam puncak kejayaan menjadi Presiden seumur hidup. Kepemimpinan jenis ini tidak begitu tertarik dengan administrasi dan kerapian kerja secara bertahap dan evolioner. Ia tidak begitu tertarik dan tidak berkeinginan mengurusi “soal-soal kecil” seperti pertambahan penduduk, kenaikan pendapatan, peningkatan produksi di segenap bidang, dan hal-hal “sepele” lainnya.
Ia lebih tertarik pada ide-ide dasar, yang diolah menjadi isu politik yang membakar rakyat. Ia lebih berkepentingan kepada penciptaan kesadaran politik yang tinggi, di mana kekuatan rakyat dipusatkan untuk memprotes kelaliman dan penindasan (termasuk penjajahan) atau untuk mendobrak suatu kelompok yang dianggap musuh bersama. Penciptaan kegairahan dan semangat politik menjadi impian seperti ini.
Pada kepemimpinan solidarity ia menonjolkan seorang pemimpin besar, yang diagung-agungkan dan dicanangkan sebagai pembebas rakyat dari hal yang diproteskan. Pengambilan keputusan diserahkan sepenuhnya kepada sang pemimpin besar, yang umumnya mendasari proses pengambilan keputusannya dengan pertimbangan-pertimbangan tidak rasional (kecuali rasio kepentingan politiknya sendiri dalam percaturan kekuasaan dalam lingkungannya sendiri).
Sebaliknya, kepemimpinan administratif tidak begitu tertarik dengan isu hangat-hangat, dengan penciptaan semangat yang menggelora, dengan pemujaan kepada seorang pemimpin tunggal, dengan protesan-protesan, dengan simbol-simbol irasional dalam pengambilan keputusan dilakukan bersama setelah pertimbangan pro dan kontra yang bersifat rasional, dibicarakan secara tuntas.
Ia lebih menyukai proyeksi-proyeksi kehidupan masa depan dalam bentuk yang merupakan hasil-hasil konkret yang dapat dijabarkan dengan angka berderet-deret. Kepemimpinan seperti ini sering kali tidak merasa perlu membakar semangat rakya untuk mencapai sebuah tujuan tertentu. Cukuplah kalau setiap anggota masyarakat menjalankan kewajibannya dengan baik.
Sudah tentu kepemimpinan seperti itu terasa sangat membosankan bagi rakyat, hambar bagi kelompok-kelompok yang kreatif dan terasa mematikan semangat bagi kelompok-kelompok yang dinamis. Seolah-olah tiap orang, bahkan yang terbodoh sekalipun, mampu menjadi pemimpin dalam sistem kepemimpinan seperti ini. Dengan asumsi, orang itu toh akan mampu memimpin dengan bantuan rencana teknis yang dibuat oleh para pembantunya yang dinamai teknokrat.
Kepeminpinan administratif nyata sering kali tidak mampu memperhitungkan pentingnya kegairahan hidup, geloranya semangat, dan terbakamya pendapat umum dengan isu politik. Tanpa adanya kegairahan dan semangat seperti itu, kelesuan akan melanda kehidupan bangsa secara perlahan-lahan tetapi pasti. Kelesuan ini pada gilirannya akan menumbuhkan sikap apatis dan masa bodoh di kalangan cukup luas, terutama di lingkungan mereka yang diharapkan kreativitasnya.
Apatisme di lingkungan mereka ini pada akhimya mematikan aspirasi rakyat. Karena kelompok kreatiflah yang sebenamya menghubungkan rakyat dengan pemerintahnya. Tanpa adanya hubungan seperti itu, rakyat merasa tidak ada saluran lagi unek-unek mereka, dan mereka pun merasa tidak ada saluran akan merasa tertindas dan tertekan.
Kekurangan gairah dan semangat seperti ini tidak terdapat dalam lingkungan kepemimpinan solidarity makers, karena justru membangkitkan gairah dan penggeloraan semangatlah yang menjadi modal politik mereka yang utama.
Tetapi kepemimpinan solidarity makers tidak akan mampu menghasilkan masyarakat yang makmur, setidak-tidaknya secara sosial-ekonomis. Pembangunan haruslah diatur secara berencana dan didasari perhitungan-perhitungan rasional bukan dengan semangat dan gelora isu politik.
Kepemimpinan individual yang menjadi perwujudan solidarity making yang tertinggi, tidaklah akan mampu mengatasi persoalan sosial ekonomis secara sendirian belaka. Apalagi jika ia didasarkan pada legitimasi irasional.
Karena itu yang diperlukan adalah sintese dari kedua jenis kepemimpinan tersebut. Dari solidarity makers haruslah diambil kemampuan membangkitkan minat rakyat kepada pembangungan, tetapi dari adminstrateur dapat dipetik kemampuan teknis menyusun rencana pembangunan yang tidak terlalu lari dari kenyataan akan keterbatasan sumber-sumber manusiawi, alami, dan modal yang ada.
Dari solidarity makers diambil kemampuan memandang jauh ke depan untuk menatap kebesaran bangsa yang akan dijangkau di kemudian hari dengan terang dan gamblang, sebaliknya dari administrateur diambil ketenangan dan kejernihan mengawasi jalannya kehidupan masa kini, agar tidak tersendat-sendat oleh kekurangan pangan dan sebagainya.
Dari solidarity makers diambil tokoh-tokoh pemimpin yang berwibawa dan dapat menjadi kebanggaan bangsa, sedangkan dari administrateur diambil persyaratan-persyaratan teknis yang tinggi dan terperinci, yang akan memungkinkan pengambilan keputusan teknis yang tetap bagi kesejahteraan bangsa.
Jika ada kepemimpinan yang mampu menggabungkan semua unsur yang disebutkan di atas, barulah kepemimpinan bangsa, akan mampu menjadi sumber inspirasi, penggugah kegairahan bangsa untuk pembangunan, penuntun yang menjadi gambaran-cita (ideal type) yang disayangi dan dipuja oleh rakyat terutama oleh generasi muda.