Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus dari Jombang
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid [1]
Judul tulisan ini semula ditetapkan: “Pengerasan Nilai-nilai Agama di Pedesaan Jawa Timur”. Judul tersebut sepintas lalu merupakan rumusan yang sangat menarik. Namun, mereka yang ingin menguraikannya secara ilmiah akan menemui kesulitan-kesulitan besar dalam menerapkan istilah maupun menyusun konsepsi teoritis tentang kata “nilai” dan “agama”. Kata “pergeseran” bukanlah istilah yang lazim dipakai di kalangan ilmu-ilmu sosial untuk menganalisis terjadinya perubahan suatu nilai yang terjadi di masyarakat. Demikian pula, kata “nilai-nilai agama” (religious values), walaupun sering sekali dipakai, menurut istilah yang mengandung kekaburan pengertian.
Di dalam studi tentang agama dan masyarakat, para ahli ilmu-ilmu sosial lebih cenderung memilih istilah yang lebih jelas dan konkret, seperti “doktrin agama”, “ritus-ritus agama”, “kepercayaan agama” (religious belief) dan sebagainya.
Ajaran agama baik yang paling mendalam dan fundamental, yang sangat doktriner, maupun ajaran-ajaran praktis, dalam proses pembentukan tingkah laku masyarakat yang menganutnya akan membentuk sistem nilai yang oleh Koentjaraningrat [2] dikategorikan dalam bentuk “wujud kebudayaan sebagai kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya”, yaitu wujud ideal dari kebudayaan yang sifatnya abstrak, yang lokasinya “dalam alam pikiran” manusia warga masyarakat.
Dengan penggunaan istilah “ajaran-ajaran agama” kita terhindar dari kesulitan dan tidak terbentur dengan istilah “cultural value system” [3] atau “value orientation”. [4]
Menurut kedua konsep para ilmuwan itu, agama tidak mengandung nilai-nilai di dalam dirinya, tetapi mengandung ajaran-ajaran yang menanamkan nilai-nilai sosial yang bila nilai-nilai itu meresap dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat (penganutnya), ajaran-ajaran agama itu berarti merupakan salah satu elemen yang membentuk cultural value system atau value orientation itu. Dengan demikian kita tidak terbentur dengan “kerangka”-nya Kluckhohn cutural value system yang tidak membedakannya dengan agama itu sendiri. Dalam masyarakat yang masih sangat primitif, jalinan antara agama dan nilai budaya demikian ruwet sehingga susah untuk memisah-misahkannya.
Sebaliknya dalam masyarakat yang sudah lebih maju di mana ajaran agama itu sudah tertuang dalam tulisan-tulisan, kita dapat merasakan perbedaan antara nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan ajaran agama yang dirumuskan secara formil. Walaupun antara keduanya tidak seharusnya dipertentangkan, tetapi kelihatannya bahwa ajaran-ajaran agama yang tertuang dalam rumusan formil lebih bersifat kongkret daripada nilai-nilai masyarakat. Oleh karena itu, agama sebagai salah satu elemen yang menanamkan nilai-nilai masyarakat, juga pemahaman ajaran-ajarannya mengalami perubahan sesuai dengan perubahan nilai itu sendiri. Perubahan nilai maupun pemahaman ajaran-ajaran agama dapat disebabkan oleh perubahan dalam masyarakat itu sendiri, ataupun karena pengaruh yang datang dari luar.
Di dalam analisis-analisis tentang perubahan masyarakat, biasanya diterima asumsi, bahwa agama dianggap sebagai unsur yang paling sukar dan paling lambat berubah atau terpengaruh oleh kebudayaan, bila dibandingkan dengan unsur-unsur lain seperti: sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, ikatan-ikatan yang ditimbulkan oleh mata pencaharian, sistem teknologi, dan peralatan, serta persekutuan yang ditimbulkan untuk menghadapi atau sebaliknya mendekati kelompok-kelompok kemasyarakatan lain. [5] Tetapi sejarah kehidupan bangsa kita yang panjang tidak sepenuhnya dapat disesuaikan dengan asumsi itu. Berbagai agama datang dan berkembang secara bergelombang ke Indonesia, mengganti agama yang lama dan menanamkan ajaran-ajaran agama yang baru secara silih berganti, tetapi dalam kenyataannya sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan yang dikatakan oleh Koentjaraningrat sebagai unsur yang paling mudah, ternyata yang paling sedikit mengalami perubahan sejak pra-Hindu hingga sampai kepada masa sekarang. Pengalaman sejarah itu justru menunjukkan agama berubah lebih cepat, ia berubah lebih dahulu sebelum yang lain-lain mengalami perubahan.
Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa banyak pengamat sejarah mencatat kegagalam Kemal Attaturk untuk membangun Turki, karena ia tidak mengakui ajaran Islam sebagai penggerak perubahan dan pembangunan di negerinya; sedangakan Jepang dapat membangun negerinya dengan pesat dan mengejar kemajuan teknologi Barat, karena negeri tersebut dianggap mampu menggunakan agama Shinto sebagai motor penggerak perubahan dan pembangunan. [6] Itulah sebabnya dewasa ini tumbuh pendapat di kalangan birokrat dan teknokrat kita untuk meminta jasa-jasa agama (Islam) sebagai penumbuh motivasi perubahan dalam pembangunan masyarakat, terutama di sektor pedesaan.
Tentunya timbul pertanyaan, bagaimana mungkin agama yang ajaran-ajarannya tertuang secara kongkret dalam tulisan dan dihormati sebagai sesuatu yang sakral dan diterima sebagai sesuatu yang langgeng, justru pemahamannya dapat berubah lebih cepat daripada perubahan masyarakat itu sendiri?
Snouck Hurgronje [7] pernah mengemukakan bahwa “tiap-tiap periode sejarah kebudayaan sesuatu bangsa, memaksa kepada golongan beragama untuk meninjau kembali isi dari kekayaan akidah dan agamanya”.
Walau tidak secara eksplisit dikemukakan, pernyataan Snouck Horgronje itu berdasarkan kepada suatu pikiran bahwa proses peninjauan kembali isi ajaran-ajaran agama oleh para penganutnya sifatnya reaktif oleh adanya perubahan periode kebudayaan di mana agama itu hidup. Ini juga bertentangan dengan pengalaman sejarah kebudayaan pada umumnya yang menunjukkan bahwa pemahaman baru terhadap ajaran agama justru membutuhkan periode baru dalam kebudayaan bangsa-bangsa.
Calvinisme misalnya, dianggap oleh Max Weber sebagai penanaman etik baru yang menumbuhkan periode kapitalisme dalam sejarah modern, sedang prinsip Satyagraha yang ditukil oleh Mahatma Gandhi dari ajaran Hindu jelas telah berhasil menumbuhkan etos mandiri pada budaya politik dari bangsa India di abad ini. Namun terlepas dari persoalan apakah peninjauan kembali isi agama itu sifatnya reaktif ataukah sebenarnya inheren dalam tubuh ajaran agama itu sendiri.
Snouck Hurgronje pernah pula memperingatkan bahwa Islam Indonesia yang kelihatannya statis dan tenggelam dalam kitab-kitab salaf abad pertengahan itu, sebenarnya mengalami perubahan-perubahan yang fundamentil; perubahan-perubahan itu demikian perlahan, rumit dan mendalam, sehingga hanya orang yang dapat mengamatinya secara hati-hati dan teliti dapat mengetahui perubahan tersebut.
Dapatlah disimpulkan bahwa proses terjadinya perubahan kembali isi ajaran-ajaran agama dapat disebabkan oleh terjadinya reaksi terhadap adanya perubahan yang terjadi di luar agama itu, tapi juga di dalam ajaran agama itu sendiri dimungkinkan adanya proses pemahaman baru. Karena pemahaman atas isi ajaran agama dipegang oleh pemuka-pemuka agama (religious elite) yang biasanya juga menjadi kelompok pimpinan (elite class) dalam hampir semua struktur masyarakat, maka sesuai dengan dinamika yang selalu dimiliki oleh kelompok pimpinan itu sendiri, mau tidak mau isi ajaran-ajaran agama itu akan selalu mengalami proses pembaharuan pemahamannya. Kelompok elite di mana-mana memiliki kepentingan yang paling besar dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat, itulah sebabnya bila terjadi perubahan sosial atau diperlukan adanya perubahan dalam masyarakat, mereka berkepentingan pula untuk dapat mengendalikan perubahan-perubahan tersebut, agar kepentingan mereka sebagai pemimpin masyarakat tidak sampai direbut oleh kelompok-kelompok yang lain.
Para pemuka agama sebagai salah satu unsur kelompok elite yang memimpin masyarakat, dengan demikian juga harus dapat mengendalikan dan mengarahkan peninjauan kembali ajaran-ajaran agama sehingga mereka tetap dapat mempertahankan kedudukan mereka dalam bidang kepemimpinan agama. Agama dan pengelompokan masyarakat menurut Lenski merupakan dua faktor yang paling berpengaruh dalam tingkah-laku individu-individu (dan dengan demikian kehidupan masyarakat secara keseluruhan); itulah sebabnya para pemimpin masyarakat berusaha menguasai ke dua aspek ini, yaitu dengan menjadi kelompok elite dan sekaligus pemuka agama.
Gejala ini dapat dilihat, umpamanya, dalam kegairahan pemimpin-pemimpin bangsa kita di segenap tingkatan dewasa ini untuk menekankan perlunya perpaduan fungsi secara harmonis antara pemuka agama (ulama) dan pemimpin pemerintahan (umara); gejala ini juga tampak di negeri-negeri lain, seperti penamaan kelompok teknokrasi yang memerintah di masa rezim Franco di Spanyol beberapa tahun yang lalu dengan sebutan corusdei. Pendekatan yang dikemukakan tadi, juga akan menghindarkan kita dari kungkungan pendekatan fungsionalistis (functionalist’s approach) dalam studi tentang agama yang mendominir dunia antropologi dan sosiologi selama ini yang bersumber kepada Radcliffe Brown dan Malinowski. Pendekatan fungsionalistis itu terlalu menekankan aspek perpaduan dan penyatuan (harmonizing and integrating aspects) dari ajaran-ajaran agama dengan melupakan aspeknya yang bersifat mengubah (tranformative aspect).
Hal ini antara lain telah ditinjau dalam hubungannya dengan penghayatan agama Islam di Jawa, walaupun dari sudut lain. Pendekatan fungsionalistis dalam menganalisis agama akhirnya akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang statis dan pandangan yang sangat konservatif atas ritual dan ajaran-ajaran keagamaan dalam kehidupan sosial seperti yang dilakukan oleh Koentjaraningrat dan Kluckhohn.
Pada dasarnya, setiap agama memiliki watak transformatif, yaitu berusaha menanamkan nilai-nilai yang baru dan menggantikan nilai-nilai yang lama yang dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Dengan wataknya yang demikian itu agama tidak selalu menekankan segi-segi harmoni dan aspek-aspek integratif dalam masyarakat, tetapi sering kali justru menimbulkan konflik-konflik baru karena misinya yang tranformatif itu mendapat tantangan dari sebagian anggota masyarakat. Contoh yang paling mudah diambil dalam hal ini adalah tantangan besar yang timbul ketika kelompok Islam meminta dicantumkannya kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya di dalam bagian batang tubuh Undang-Undang Dasar kita tahun 1945.
Pemahaman kembali terhadapan ajaran-ajaran agama sering kali mengambil tema “kembali kepada ajaran yang benar atau kembali kepada ajaran yang asli”. Itulah sebabnya dalam setiap gerakan reformasi dalam Islam misalnya, selalu diambil tema “kembali kepada al-Quran dan Hadis”. Tema yang sedemikian itu pada dasarnya adalah cara yang dianggap terbaik untuk melicinkan jalan bagi reformasi tanpa mengundang terlalu banyak tantangan yang mungkin akan dapat menggagalkan perubahan-perubahan yang dituntut oleh reformasi itu sendiri. Proses pemahaman baru atas ajaran agama tidak selalu diikuti oleh munculnya organisasi gerakan reformasi.
Ia dapat tumbuh dalam satu grup keagamaan tanpa munculnya beberapa eksponen pembaharu dalam paham-pahamnya, atau justru lalu ia mengambil bentuk memperkuat posisi grup keagamaan yang lama itu dalam usaha menghadapi grup baru yang akan mengancam eksistensi atau dominasinya. Contoh yang kongkret ialah “kebangunan para ulama” (Nahdlatul Ulama) pada tahun 1926 yang pada umumnya dikenal sebagai gerakan yang muncul untuk mempertahankan serangan-serangan reformasi dari Muhammadiyah.
Namun mereka yang meninjau dengan teliti langkah-langkah yang diambil oleh para ulama terkemuka yang tergabung dalam NU, yang semenjak munculnya hingga saat ini, akan sependapat dengan Snouck Horgronje bahwa para ulama itu sebenarnya telah melancarkan perubahan-perubahan yang fundamental, tetapi karena perubahan-perubahan yang dilancarkan itu demikian perlahan, rumit, dan mendalam, walaupun terjadi di depan mata kita, tidaklah dapat terlihat dengan mudah. Bahkan dalam beberapa hal, para ulama itu melancarkan perubahan pemahaman ajaran-ajaran Islam yang “sangat” maju bila dibandingkan dengan kemampuan para pengikut mereka untuk dapat mengikutinya.
Dapat dikemukakan di sini contoh tentang pemahaman kata hijab untuk memisahkan wanita dari laki-laki dalam sebuah ruangan. Kata tersebut semula dipahami sebagai tabir yang menyekat antara kedua tempat lelaki dan wanita, tetapi pemahaman baru dari para ulama pembuat keputusan hukum membawakan arti pemisah (hâil) tanpa adanya tabir fisik, sebagaimana jarak antara kedua bangku atau tempat duduk. Pemahaman ini muncul dari kebutuhaan menyediakan tempat yang terpisah antara siswa dan siswi dalam sebuah ruangan kelas yang sama.
Demikian pula konsep tentang barokah dengan ziarah kubur, yang dahulu dianggap diperoleh dari orang yang berada dalam lubang kubur itu, dengan pemahaman baru menjadi diperoleh langsung dari Tuhan dengan jalan mengambil hikmah dari siklus kehidupan dan kematian yang direnungkan dalam upacara ziarah kubur tersebut. Pengertian kekeramatan (karomah) yang tadinya bersifat supranatural (dan bahkan occultist) kini diperbaharui pengertiannya menjadi kemampuan yang luar biasa untuk mencerdaskan murid-murid dalam kuantitas sangat besar, dan bahkan sekarang ini pengertian karomah itu sendiri lebih sering dihubungkan dengan kecintaan luar biasa dan kehadiran massal orang awam dalam upacara penguburan seorang tokoh agama.
Hal ini dapat kita mengerti, bila kita sadar akan kedudukan kiai/ulama, yang oleh Geertz diakui memiliki kedudukan sebagai “perantara budaya” (cultural brokers) yang dianggap lebih banyak memiliki watak kepemimpinan yang sifatnya transisional, di mana para kiai itu berdiri di antara “elite” yang berwatak hidup kekotaan (very orbanized elite) dan “kelompok petani tradisional di pedesaan” (very traditional pleasantry). Dalam menerjemahkan aspirasi “budaya kota” (urban culture) yang mulai merembes ke pedesaan, para kiai “diharuskan” untuk dapat mencari dasar-dasar hukumnya yang sering kali merupakan hasil pemahaman baru terhadap ajaran-ajaran agama yang ada.
Dunia pedesaan di Jawa dewasa ini mengalami penetrasi yang sangat intensif dari pola kehidupan kota. Struktur pekerjaan tidak lagi berwajah tunggal di bidang pertanian saja; pola-pola kehidupan baru sebagai pedagang, tukang, pegawai negeri, anggota angkatan bersenjata, dan bahkan pembunga uang terasa semakin menguasai kehidupan pedesaan. Di samping itu, dewasa ini terbuka kesempatan yang sangat luas bagi angkatan muda di pedesaan untuk mengejar karier setinggi-tingginya di kota melalui jalur-jalur pendidikan politik dan sebagainya, sebagaimana terbukti dengan derasnya arus urbanisasi yang menimbulkan ekses-ekses luar biasa yang belum juga tertanggulangi hingga saat ini di segenap sektor kehidupan bangsa kita.
Kalau diamati dengan cermat akan nyata, bahwa kelompok yang paling cepat mengikuti perkembangaan keadaan dan mengisi kesempatan-kesempatan kerja yang timbul di pedesaan justru adalah kelompok pemuka-pemuka agama (religious elite) sendiri. Demikian pula, mereka lebih banyak memprakarsai perubahan pola pikir, sikap mental, aspirasi, pandangan hidup, dan perubahan tingkah laku di pedesaan. Untuk selanjutnya pemahaman baru terhadap ajaran-ajaran agama yang berlaku tergantung kepada mereka. Keadaan ini menguntungkan, karena para pemuka agama akan mampu menyesuaikan pemahaman baru atas ajaran-ajaran agama itu kepada perubahan baru yang mulai mereka anut.
Tentu saja mereka tidak menerima begitu saja semua perubahan yang terjadi di luar; sebagai pemimpin masyarakat mereka akan berusaha mengendalikan dan mengarahkan perubahan-perubahan itu sesuai dengan prinsip-prinsip seleksi, mana yang baik buat diri mereka dan masyarakat diambil, sedangkan yang dianggap “merugikan” atau “merusak” tatanan sosial “bertentangan” dengan ajaran-ajaran agama akan ditolak.
Pada fungsi penolakan inilah sering terkumpul luapan emosi yang membuat eksplosifnya keadaan seperti beberapa kali kita alami dalam tahun-tahun belakangan ini, sehingga terasa benar kebutuhan untuk lebih banyak menghindari persoalan-persoalan eksplosif itu. Proses seleksi yang bersifat menerima dan menolak (change and contenuity process) ini secara subtil dirumuskan dengan indahnya oleh para kiai di pedesaan kita dengan istilah: “memelihara warisan lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik” (al-muhâfadhah ‘ala al-qadim al-shâlih ma’a l-akhdzi bi al-jadid al-shlah).
Seperti telah diuraikan di atas tidaklah mudah untuk melihat gerak perubahan yang dilancarkan para kiai/ulama mengenai sesuatu ajaran Islam. Berikut ini akan digambarkan sebuah contoh tentang ajaran Islam yang menyangkut hubungan antara guru murid di pedesaan-pedesaan di sekitar Jombang, yang mengalami perubahan asas yang sangat fundamental karena adanya intervensi kehidupan politik, sosial, dan ekonomi yang berasal dari kota. Kasus yang hendak dikemukakan ialah “berpindahnya” beribu murid Thariqah Qadariyyah Naqsabandiyyah di desa-desa sekitar Jombang, Kediri, Nganjuk, Malang, Gresik, dan lainnya dari guru yang lama ke guru yang baru di Cukir, desa tempat Pesantren Tebuireng berada.
Menurut ajaran Islam yang telah dikembangkan dalam literatur klasik dan ditanamkan oleh para kiai di pedesaan, dari murid dituntut kepatuhan yang mutlak kepada guru thariqahnya. Hanya bila si murid tunduk dengan sepenuh hati, maka ia akan memperoleh barokah (grace) gurunya dan usahanya untuk mengenal kebenaran akan tercapai. Demikian mutlaknya kepatuhan murid thariqah kepada gurunya sehingga status sang guru harus diakui seumur hidup. Tak diperkenankan seseorang mengatakan bahwa kiai A atau kiai B adalah “bekas” gurunya. Seseorang yang tidak mau lagi mengakui gurunya tetap sebagai guru sepanjang hidupnya, ia akan kehilangan barokah yang diperolehnya dari gurunya itu. Paham yang dikembangkan bahkan menganggap guru itu mempunyai kedudukan yang lebih utama daripada orang tuanya sendiri.
“Aba’uka tsalatsahur, abȗka alldzi waladaka, wal-ladzi zawwajaka ibnatahu, wal-ladzi ‘allamaka wahuwa afalaluhum” (bapak-bapakmu ada tiga macam, yaitu yang memperanakkan dirimu, yang mengawinkanmu dengan anak gadisnya, dan yang mengajarimu, ialah yang paling utama di antara mereka).
Di dalam thariqah diajarkan, seorang murid harus pandai dan teliti dalam memilih guru/pembimbing (mursyid) agar tidak salah pilihannya itu, karena begitu ia memilih, tidak lagi diperkenankan baginya berganti guru atau pembimbing. Seorang murid yang walaupun hanya berpikir untuk berganti guru belaka, sudah terhalang (mahjub) hubungannya dengan Tuhan.
Ajaran ini sejak Islam datang di Indonesia dan berkembang selama kurang-lebih lima abad telah tertanam dan tidak pernah “goyah”, sehingga belum pernah timbul persoalan praktis di mana seseorang atau banyak murid “terpaksa” harus pindah guru dan meminta fatwa hukum kepada para ulama tentang kepindahan guru lain itu.
Tetapi dengan memisahnya beberapa ulama yang mempunyai pengaruh luas di pedesaan dari lingkungan NU sejak pemilu 1977 akibat pola politik, sosial, dan ekonomi yang dilancarkan dari kota-kota, ribuan murid thariqah yang semula tidak pernah dihadapkan kepada persoalan “ingkar” dari gurunya, kini harus diberikan saluran hukum untuk dapat pindah guru yang dianggap lebih cocok dan sesuai aspirasi politiknya. Tanpa ada pemahaman baru terhadap asas ketaatan mutlak si murid kepada gurunya, maka sendi-sendi pokok yang mengatur hubungan antar-mereka akan terancam sehingga merusak harmoni hubungan guru dan murid itu.
Berbulan-bulan para ulama di daerah Jombang dihadapkan kepada persoalan hukum pindah guru thariqah dan mencari “rumusan” (nash)-nya dalam kitab-kitab yang diterima sebagai pegangan bagi ulama Ahlus Sunnah wal-Jama’ah. Setelah empat kali sidang tidak juga ada seorang ulama yang dapat menemukan rumusan itu, maka dibentuklah tim khusus yang terdiri dari 6 (enam) ulama yang dipimpin oleh Rais ‘Am (otoritas tertinggi) NU untuk dapat menelurkan fakwa hukum yang berdasarkan mafhum (pemahaman baru) terhadap ajaran-ajaran agama yang terdapat di dalam kitab-kitab salaf tersebut.
Sampai sekarang fatwa baru itu belum lagi berhasil dirumuskan secara formil, masih menunggu sekali atau beberapa kali sidang lagi. Namun, dari hasil sidang-sidang yang pernah dilakukan tersebut, ada kecenderungan para ulama peserta sidang untuk membuat koreksi atas paham yang selama ini berlaku bahwa ketaatan mutlak kepada guru dan larangan pindah guru, hanya berlaku bila guru memiliki pengetahuan ke-Tuhanan yang sempurna (tingkat ‘Arifin) dan memiliki wewenang mengajar dari guru yang sebelumnya secara ijasah lisan atau tertulis (tingkat akhir), serta tidak “mengekploitir” murid-muridnya untuk kepentingan sendiri baik yang bersifat material maupun yang lainnya.
Formulasi baru terhadap ajaran ketaatan kepada guru ini, benar-benar merupakan pemahaman yang sangat radikal karena dengan demikian diakui bahwa ada kiai di pedesaan sekarang ini yang tidak pantas diakui sebagai guru thariqah, pengakuan yang belum pernah ada dalam perkembangan sejarah Islam di Jawa. Sejak Islam masuk dan berkembang di Jawa sampai puluhan tahun (dekade) pertama setelah tercapainya kemerdekaan bangsa kita dari penjajahan Belanda, para kiai merupakan kelompok pimpinan agama yang kompak, mempunyai karisma kepemimpinan, kultur dan gaya hidup yang sangat serasi (highly homogenous) sehingga dapat dikatakan memiliki ciri-ciri kelompok yang oleh Durkheim ditandai oleh ikatan “solidaritas mekanistis” (mechanical solidarity), sehingga tidak ada persoalan adanya kiai yang “melanggar” moral agama dan lain-lainnya.
Tetapi dengan semakin dipengaruhinya pedesaan oleh “budaya kota” (urban culture), semakin kentara “perbedaan-perbedaan tingkat (highly stratified and differentiated)” masyarakat pedesaan yang mengakibatkan kendornya homogenitas kultural, pandangan hidup, gaya hidup, aspirasi, dan sebagainya, hingga para kiai pun tidak bisa terjalin dalam satu ikatan kelompok yang tak terpecahkan. Ikatan kiai juga semakin ditandai oleh solidaritas organis daripada solidaritas mekanistis. Dengan terpecahnya kiai dalam kelompok sosial politik yang berbeda yang mau tidak mau menimbulkan kesenjangan sosio-kultural antara guru dan murid, selanjutnya menimbulkan persoalan hukum dan kedudukan ajaran-ajaran Islam yang menyangkut hubungan antara guru dan murid.
Dalam formulasi baru itu, seorang murid diberi peluang untuk tidak secara ketat tanpa reserve taat kepada gurunya dan pindah kepada guru lain tanpa disadari oleh murid bahwa gurunya itu tidak memenuhi syarat-syarat sebagai guru. Barangkali tanpa disadari oleh ulama yang bersidang dan menyusun fomulasi baru itu, pemahaman baru terhadap ajaran-ajaran Islam tentang hubungan guru dan murid ini merupakan pemahaman yang sangat radikal. Yang beliau-beliau sadari adalah bahwa masyarakat sekarang sudah berbuat. Demikian besarnya perubahan itu sehingga bisa terjadi seorang guru menjadi tidak “pantas” untuk diikuti.
Itulah sebabnya harus ada fakta hukum yang baru sesuai dengan perkembangan baru itu. Pengakuan akan kemungkinan guru melakukan kesalahan, adalah kebalikan dari diktum yang selama ini diikuti. “Ulama adalah pewaris Nabi” yang mengandung implikasi infalibilitas komunitas melalui kebenaran para pemuka agama. Namun dengan perkembangan baru yang dialami oleh dunia pedesaan yang juga mengenai kalangan ulama, konsep ini memerlukan pula penyeragaman.
Kasus lain yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah seorang lurah yang berhasil mendorong terjadinya perubahan baru terhadap agama dengan jalan mengemukakan ajaran-ajaran yang tadinya belum diresapi oleh penduduknya. Di sebuah desa, dua kilometer di utara kota Jombang di mana lurahnya adalah seorang yang cukup mendalam ilmu agamanya, karena ia lama dididik dan kemudian bertahun-tahun menjadi guru tetap di salah satu pesantren utama di daerah Jombang, sebelum ia menjadi lurah kira-kira 25 tahun yang lalu. Di desa tersebut, terdapat pemusatan lokal dari sebuah thariqah yang walaupun pengikutnya sedikit, memiliki tradisi yang lama dan berumur lebih dari seabad dengan pimpinan yang turun temurun dari bapak ke anak selama lima generasi. Warga desa tersebut yang menjadi pengikut gerakan itu memiliki kohesi yang kuat dan lingkungan tertutup untuk mereka sendiri, dengan hanya membuka pintu komunikasi minimal sebagai warga desa dengan pemerintah desa mereka sendiri.
Menjelang kemerdekaan bangsa kita, paguyuban thariqah lokal tersebut mulai membentuk usaha ekonomi yang mereka kuasai sendiri, dengan tidak mengajak kelompok lain. Usaha tersebut berupa berdirinya unit-unit pandai besi yang menggunakan peralatan kuno yang sederhana (antara lain: penghembus udara dari kayu, dan tungku pemanas dari tanah liat) tetapi yang menghasilkan jenis-jenis produksi baru seperti jarum mesin jahit dan gunting.
Bahkan pada masa perang gerilya mereka telah berhasil menggunakan alat-alat sederhana itu untuk membuat laras senapan dan rongga-rongga peluru buat gerilyawan menentang tentara kolonial. Sebagaimana juga halnya dengan gilda-gilda usaha yang dimiliki oleh ordo-ordo mistik Eropa di abad pertengahan, usaha mereka itu juga sangat bersifat tertutup dan tidak mau menerima jasa-jasa baik dari luar. Ketika kemajuan usaha mereka telah menjadi sedemikian rupa, sehingga mereka mampu membuat kerangka sepeda dari batangan-batangan pipa besi, keadaan sosial-ekonomi mereka tetap menyedihkan. Langkanya organisasi ekonomi dan modal yang cukup membuat mereka amat bergantung kepada kemurahan hati para tengkulak di kota yang menyediakan bahan baku dan memasarkan hasil produksi mereka.
Lurah desa tersebut, yang merasa prihatin terhadap keadaan ini dan ingin mengorganisir mereka secara ekonomis, selama belasan tahun berusaha dengan sia-sia untuk menyadarkan mereka akan perlunya organisasi tersebut. Kegagalan demi kegagalan untuk menembus paguyuban thariqah tersebut adalah karena ia dianggap sebagai orang luar dan tidak wajib dipatuhi sebagaimana halnya pemimpin gerakan mereka sendiri.
Beberapa tahun yang lalu, lurah yang juga menjadi pemuka agama non-thariqah ini sampai kepada kesimpulan bahwa haruslah dicari pendekatan yang bersifat keagamaan kepada mereka. Ia pun lalu memprakarsai dan memimpin pengajian umum mingguan yang diadakan secara bergilir di surau-surau yang ada di desanya, termasuk surau-surau yang dikelola oleh paguyuban thariqah itu, sudah tentu dengan mengajak partisipasi pemimpin gerakan tersebut. Demikianlah muncul secara perlahan-lahan tetapi pasti tema-tema baru berupa ajaran-ajaran agama yang tadinya belum dikenal atau diresapi, seperti persesuaian antara pandangan hidup agama dan cara hidup yang rasionil, pentingnya anti-persatuan untuk mencapai tujuan, pentingnya penerimaan terhadap pemimpin duniawi, dan lain-lain yang positif.
Ajaran-ajaran tersebut disajikan dalam rumusan dan konsepsi keagamaan yang mendalam, dan disarikan sumbernya dari literatur keagamaan dan thariqah yang telah lama diakui. Akhirnya, pendekatan yang mengemukakan ajaran-ajaran “baru” yang dianggap lebih relevan ini, sang lurah berhasil mendorong dan memprakarsai berdirinya koperasi produksi untuk menaikkan taraf hidup mereka, dengan jalan mengatur sendiri pemilihan bahan baku dan pemasaran hasil produksi. Demikian berhasil pendekatan lurah tersebut, sehingga warga paguyuban thariqah yang tergabung dalam koperasi itu bersedia menerima orang luar (dalam hal ini kepala SD negeri setempat) sebagai ketuanya, dan mengusahakan kredit modal dari pemerintah daerah.
Proses itu, di mana bukannya terjadi perubahan pensafsiran atas ajaran yang ada (seperti dalam kasus pindah guru di Desa Cukir) melainkan terjadi pemunculan ajaran-ajaran “baru” yang dianggap lebih mewakili aspirasi agama secara keseluruhan dalam menghadapi tantangan keadaan, oleh Greetz (1975) dilukiskan sebagai proses introspeksi ke dalam dengan implikasi luas dalam skala massal di Bali, terjadi pula sama kompleks dan rumitnya serta lamanya di desa ini, walaupun dengan skala yang kecil.
Begitulah, pemahaman ajaran-ajaran Islam akan terus-menerus mengalami pembaharuan sesuai dengan aspirasi yang terus berkembang di kalangan masyarakat yang memeluknya. Kejadian-kejadian seperti yang terdapat dalam kedua kasus lokal tadi terjadi pula dalam deretan tak terhitung di pedesaan-pedesaan kita pada umumnya. Tujuan tulisan ini adalah mendorong kita semua untuk mengamati dan menyadari implikasi dari proses pemahaman kembali ajaran-ajaran agama yang ada, karena bagaimana pun juga proses itu secara keseluruhan akan mempunyai kaitan dengan kehidupan kita sebagai bangsa secara keseluruhan.
Catatan kaki:
[1] Tulisan ini bersama Dr. Zamakhsyari Dhofier.
[2] Koentjaraningrat, “Latar Belakang Beberapa Masalah Sosial Budaya Indonesia”, kumpulan artikel dalam harian Kompas, Malang: Departemen Pendidikan Sosial Ilmu Pendidikan IKIP Malang. 1974.
[3] Ibid.
[4] Kluckhohn & Strodbeck, Variation in Value Orientation, 1961.
[5] Koentjaraningrat, Op.Cit., hlm. 2.
[6] B. Smith, Concept of Change: A Critic of Neo Functional Approach, 1975.
[7] Snouck Hurgronje, Mohammedanism, 1966, hlm. 138.