Penyesuaian ataukah Pembaharuan Terbatas?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Prof. Dr. Azyumardi Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat menjelaskan dalam dialog dengan para mahasiswa di layar TVRI tanggal 26 Nopember 2002, tentang penyebaran Islam di Nusantara. Ia mengemukakan bahwa Islam disebarkan sejak berabad-abad yang lalu, di seluruh Nusantara dengan berbagai karya para ulama kita dalam pengajian-pengajian. Di antara nama-nama yang disebutkan, terdapat nama Syekh Arsyad Banjari dari Martapura, ia dikirim oleh salah seorang sultan yang berkuasa di kawasan tersebut untuk belajar belasan tahun lamanya di Mekkah. Namun, ia kembali ke Tanah Air dalam abad ke-18 M, dan dikuburkan di Kelampayan, Martapura. Walaupun TVRI hanya menampilkan gambar istana sultan di Martapura, namun sebenarnya saat ini ada pesantren di Kelampayan yang memiliki santri (pelajar) berjumlah belasan ribu orang.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutkan betapa besar jasa para ulama yang mengaji di Mekkah dan dan kembali ke tanah air, dalam dua hal: penyebaran agama Islam di kawasan masing-masing, dan penerapan ajaran agama Islam secara lebih murni. Ini adalah pengawasan seorang pakar atas jalannya sejarah di bumi Nusantara. Ini haruslah dihargai, dan temuan-temuannya itu haruslah diteruskan oleh para peneliti sejarah Nusantara. Hanya dengan demikian, kita akan dapat mencapai mutu kesejarahan yang tinggi, karena didasarkan pada hasil-hasil kajian ilmiah yang benar. Tentu saja, hasil-hasil kajian ini juga harus disiarkan kepada orang awan dengan bahasa yang mereka mengerti dan disiarkan melalui media khalayak.
Apa yang dilakukan Prof. Dr. Azyumardi ini patut dihargai, karena dengan demikian ia telah menyajikan fakta-fakta sejarah kepada khalayak ramai. Ini bukanlah sesuatu yang kecil artinya, karena justru dengan cara demikianlah dapat dilakukan pendidikan masyarakat mengenai masa lampau negeri dan bangsa kita. Ini bahkan lebih besar jasanya daripada penyampaian hal-hal normatif yang sekarang mendominasi penyiaran kita. Karenanya, dibutuhkan lebih banyak orang-orang seperti Prof. Dr. Azra ini, yang pandai menghubungkan dunia ilmiah dengan masyarakat awam kita. Katakanlah dalam bahasa kuis televisi: “Seratus untuk Pak Azra.”
*****
Namun, tak ada gading yang tak retak, kalau meminjam sabda Rasulullah, dapat digunakan ungkapan berikut: “Manusia adalah tempat kesalahan dan kelalaian“ (al insân mahallu al khatha’ wa al-misyân). Ada sedikit kesalahan dalam penyampaian beliau akan sejarah masa lampau kita. Beliau menyatakan, bahwa banyak penyimpangan yang disebabkan oleh adat dan budaya kita dari masa sebelum itu, kemudian oleh ulama kita disesuaikan dengan hukum-hukum agama (fiqh) yang formal. Disimpulkan dari situ, bahwa mereka para ulama melakukan pemurnian Islam. Dan pemurnian itu sebenarnya adalah upaya untuk memelihara keabsahan ajaran-ajaran agama Islam di negeri kita.
Dalam hal ini, apa yang diuraikan secara umum oleh Prof. Dr. Azra itu, berlaku untuk para ulama umumnya di kawasan ini pada masa lampau. Juga dengan percontohan mereka, seperti terlihat dalam pelaksanaan akhlak dan penerapan ibadah, mereka para ulama itu telah merintis “ketaatan” agama yang luar biasa pada bangsa kita, yang masih terpelihara sampai hari ini di hadapan “pembaratan” (westernisasi) yang dianggap sebagai modernisasi. Proses seperti ini, yang berjalan sangat lambat selama berabad-abad lamanya, sangat ditentukan oleh percontohan yang diberikan elite kepada masyarakat kita. Inilah sebenarnya yang harus kita ingat, karena kuatnya kecenderungan elite politik kita dewasa ini hanya untuk mengejar keuntungan pribadi/golongan, di atas kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Hal yang dilupakan Prof. Dr. Azra, adalah menyebutkan juga fungsi lain yang dilakukan oleh Syekh Arsyad al-Banjari dengan karyanya (Sabîl al-Muhtadîn), yang sekarang ini juga menjadi nama Masjid Raya/Agung di Kota Banjarmasin. Apa yang dilupakan Dr. Azra, adalah bahwa dalam karya tersebut Syekh Arsyad juga melakukan sebuah pembaharuan terbatas atas hukum-hukum agama (fiqh). Dalam karyanya itu, beliau menyampaikan hukum agama perpantangan. Hukum agama ini jelas memperbaharui hukum agama pembagian waris (farâ-idh) secara umum. Kalau biasanya dalam hukum agama itu disebutkan, ahli waris lelaki menerima bagian dua kali lipat ahli waris perempuan. Beliau beranggapan lain halnya dengan adat Banjar yang berlaku di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan dewasa ini.
*****
Dalam karyanya itu, beliau menganggap untuk masyarakat bersungai besar, seperti di Kalimantan Selatan, harus diingat adanya sebuah ketentuan lain. Yaitu, rejeki di kawasan itu adalah hasil kerjasama antara suami dan istri. Ketika sang suami masuk hutan mencari damar, rotan, kayu, dan sebagainya, maka istri menjaga jangan sampai perahu yang ditumpangi itu tidak terbawa arus air, di samping kewajiban lain seperti menanak nasi dan sebagainya. Dengan demikian, hasil-hasil hutan yang dibawa pulang adalah hasil karya dua orang, dan ini tercermin dalam pembagian harta waris. Menurut adat perpantangan itu, harta waris dibagi dahulu menjadi dua. Dengan paruh pertama diserahkan kepada pasangan yang masih hidup, jika suami atau istri meninggal dunia dan hanya paruh kedua itu yang dibagikan secara hukum waris Islam.
Dengan demikian, Syekh Arsyad melestarikan hukum agama Islam (fiqh) dengan cara melakukan pembaharuan terbatas. Namun, pada saat yang bersamaan, beliau juga melakukan penyebaran agama Islam dan memberikan contoh yang baik bagi masyarakatnya. Inilah jasa yang sangat besar yang kita kenang dari hidup beliau, sekembalinya ke tanah air di kawasan Nusantara ini. Hanya dengan inisiatif yang beliau ambil itu, dapat kita simpulkan dua hal yang sangat penting: pertama, kemampuan melakukan pembaharuan terbatas, kedua berjasa mendidik masyarakat dalam perjuangan hidup selama puluhan tahun lamanya. Jasa dalam dua bidang ini sudah pantas membuat beliau memperoleh gelar, sebagai penghargaan atas jasa-jasa beliau yang sangat besar bagi kehidupan kita sebagai bangsa, di masa kini maupun masa depan.
Jasa Syekh Arsyad di bidang pembaharuan terbatas ini, dapat disamakan dengan jasa Sultan Agung Hanyakrakusuma dalam dinasti para penguasa Mataram. Dengan penetapannya bahwa tahun Saka, harus dimulai pada bulan Syura, dan bulannya berjumlah tiga puluh hari. Hal yang sama juga dilakukannya atas hukum perkawinan-perceraian-rujuk yang berlaku hingga saat ini, yang diambilnya dari hukum agama Islam formal (fiqh). Dengan demikian “pembaharuan terbatas” yang dilakukan kedua tokoh tersebut berjalan tanpa kekerasan, seperti yang diajarkan oleh agama Islam. Bukan dengan menggunakan kekerasan, apalagi terorisme seperti yang dilakukan sebagian sangat kecil kaum muslimin yang tidak terdidik secara baik di negeri kita saat ini.