Perubahan Struktural Tanpa Karl Marx
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Selama ini apa yang dinamakan “perubahan struktural” seolah-olah sudah menjadi monopoli kaum Marxis. Maka menjadi ramailah suasana sebuah seminar, yang notabene diselenggarakan oleh sebuah lembaga pemerintah di tingkat nasional, ketika ada paper yang menuntut keharusan perubahan struktural dalam kehidupan bangsa kita. Apa kuping tidak salah dengar dan mata tidak salah baca?
Ternyata tidak, memang kata struktural itu sendiri berulang kali muncul. Apakah seminar sudah kesusupan eks PKI? Juga tidak, karena yang membawakan paper adalah agamawan yang jelas tidak komunistis dalam pandangan hidupnya. Terlebih lagi mereka tidak pernah mengakui kebenaran ajaran Marx.
Ternyata di balik pernyataan itu ada sebuah proses penalaran. Masalahnya begini: Marx harus diikuti analisisnya terhadap keadaan, tetapi jangan begitu saja dituruti dalam kesimpulan. Dengan kata lain, Marxisme haruslah dipahami sebagai kenyataan sejarah, tetapi belum tentu memiliki kebenaran transendental. Kita sendiri harus berani melakukan kritik atas Marxisme, jika tidak ingin dijajah olehnya.
Dalam proses itu, kita semua akan dewasa. Betapa tidak, kalau dengan pemahaman analisis Marx kita akan mampu memahami hakikat keadaan yang berkembang? Lalu, dengan keberanian melakukan kritik atas cara bagaimana metode Marx diterapkan (sebuah masalah metodologis), bukankah berarti kita lalu akan mampu mencari pemecahan bagi masalah kita dengan “penemuan-penemuan” yang sesuai dengan kondisi kita sendiri?
Taruhlah kita terima kebenaran asumsi Marx bahwa perilaku warga masyarakat sangat ditentukan oleh struktur masyarakat mereka sendiri, yang dikenal dengan nama paham determinisme ekonomis. Pendapat Marx akhirnya berujung pada perlunya penggulingan sebuah struktur kekuasaan untuk melakukan perbaikan keadaan masyarakat secara mendasar. Cara lain tidak akan membawa pemecahan.
Dirumuskan dengan kata lain, yang dituju adalah transformasi struktur kehidupan masyarakat. Sedangkan struktur hanya dapat ditransformasikan kalau kekuasan telah direbut dari tangan pemegang kekuasaan. Ini adalah inti dari ideologi Marxisme-Leninisme, yang dikenal dengan istilah Komunisme.
Pertanyaannya, haruskah selalu demikian caranya? Ternyata tidak. Menurut kaum Sosial Demokrat: perubahan dapat dilakukan melalui cara damai, kekuasaan dapat diraih melalui demokrasi parlementer. Artinya, setiap struktur memiliki kelengkapan untuk melakukan perubahan.
Dalam transformasi model Marx, atau lebih tepat Marxisme-Leninisme, transformasi dimulai ketika kekuasaan telah direbut. Apa yang terjadi sebelum itu hanyalah persiapan ke arah transformasi, bukan transformasinya sendiri. Dan setelah kekuasaan direbut, masih diperlukan semacam “pengawal revolusi” untuk menjaga kemurnian transformasi yang dihasilkan agar tidak diselewengkan.
Bagi yang menolak ajaran Marxisme-Leninisme, walaupun menerima analisis sosial-ekonomisnya, perubahan terjadi justru sebelum kekuasaan “berubah kelamin”. Transformasi terjadi dalam sikap dan perilaku masyarakat secara keseluruhan, melalui proses pendidikan berjangka panjang. Misalnya melalui perjuangan menegakkan keadilan melalui bantuan hukum struktural; atau melalui kesadaran berperilaku politik yang menjunjung asas kebebasan dan persamaan hak, atau melalui penumbuhan dan pengembangan organisasi ekonomi yang benar-benar demokratis di tingkat bawah.
Hanya mengkhayal? Lihat saja kiprah Lembaga Bantuan Hukum. Atau Yayasan Lembaga Konsumen. Juga organisasi-organisasi yang bergerak di pedesaan untuk menyadarkan warganya akan kemampuan penuh mereka sebagai manusia guna perbaikan kualitas hidup mereka. Termasuk juga media massa kita yang berfungsi edukatif. Apalagi kalau diingat adanya pejabat yang jujur dan tulus, yang coba menegakkan birokrasi yang memang benar-benar diperlukan bangsa kita, di tengah-tengah kegalauan hidup di kalangan pemerintahan secara keseluruan.
Semuanya itu struktural, karena akan mematangkan pandangan kita tentang apa yang harus dilakukan di tempat masing-masing. Juga akan mengubah keseluruhan watak kehidupan dalam jangka panjang, tanpa memakai Marxisme dalam pemecahan pokok masalah yang dihadapi.