PKB, Syariah, dan “Negara Sekuler”
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Sebuah tuduhan besar diajukan oleh H.M. Yusuf Hasyim (YH) dalam peresmian partai yang dipimpinnya, Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan dialamatkan ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang kebetulan didirikan penulis dan dipimpin Drs. Mathoni Abdul Jalil.
Tuduhan yang diajukannya sangatlah menarik: PKB meninggalkan perjuangan syariah dan mengusahakan adanya negara sekuler. Tuduhan itu sangat menarik karena dapat dibalik: Pak YH, yang pemimpin partai umat Islam itu, hanya memperjuangkan syariah Islamiah tanpa memperjuangkan hukum nasional, sebagai kepentingan mayoritas bangsa. Ini kalau penulis mau main kayu dan ingin menjatuhkan Pak YH. Tetapi, penulis tidak bermaksud demikian, tetapi ingin membuka dialog secara sehat.
Sebagai permulaan, patut dikemukakan bahwa tujuan PKB adalah sebagaimana halnya semua organisasi Islam: berlakunya syariat di bumi Indonesia. Lalu, apakah yang membedakannya dan organisasi-organisasi dan partai yang lain? Jawabnya sederhana saja: bagi NU, syariat Islam berlaku sebagai konvensi dan bukan aturan formal.
Kalau Muktamar NU di Banjarmasin pada 1935 mewajibkan dipertahankannya Kerajaan Hindia Belanda, itu adalah keputusan muktamar, bukan hasil keputusan lembaga negara. Katakanlah waktu itu volksraad. Kalau sepuluh tahun kemudian lahir Resolusi Jihad yang mewajibkan umat Islam mempertahankan kemerdekaan, itu juga bukan keputusan resmi lembaga pemerintahan, melainkan oleh pengurus besar (hoofd bestuur) NU, yang waktu itu berkedudukan di Surabaya.
Kalau muktamar NU melahirkan persetujuan kepada asas Pancasila dan menjadikannya dasar kehidupan organisasi tersebut, maka itu diputuskan dalam Muktamar NU 1984. Demikian seterusnya. Semua mencerminkan bahwa penetapan hukum itu dilakukan atas swakarsa rakyat tanpa melalui peran negara.
Mengapa demikian? Karena ini adalah keputusan hukum agama (fiqh), dan bukan keputusan resmi pemerintah yang harus dijadikan undang-undang negara. Hanya kalau sudah menjadi hukum agama, dapat saja dia dijadikan keputusan resmi, dan dapat pula tidak.
Contoh hukum agama yang dapat dijadikan landasan organisasi adalah keputusan berasas Pancasila. Sebaliknya, keputusan Muktamar Banjarmasin 1935 maupun hasil Rapat PBNU pada 1945 mengenai Resolusi Jihad belum pernah dicoba sekali pun untuk dijadikan keputusan resmi. Padahal, kedua keputusan itu sama-sama mengikat warga NU.
Kenyataan inilah yang membuat NU menjadi organisasi yang fleksibel. Umpamanya saja, sikap NU di Dewan Konstituante untuk mempertahankan asas atau dasar Islam tidak pernah dijadikan sikap resmi organisasi. Karena itu, NU tidak terikat langsung dengannya. Jika itu terjadi pada PKU yang bersikukuh kepada kebenaran pendirinya, jelas dalam waktu yang tidak lama akan mendapat sambutan negatif dari masyarakat Indonesia yang cenderung bersikap fleksibel. Banyak organisasi Islam yang berhenti di tengah jalan karena bersikukuh atau mempertahankan apa yang mereka anggap sebagai kebenaran ataupun karena membela pendirian orang dengan menafikan kepentingan rakyat kebanyakan.
Jelaslah bahwa warga NU berpegang pada syariah Islamiah, dalam arti, keputusan hukum agama yang mengikat mereka atas dasar pilihan. Inilah yang membuat mengapa ada ulama NU yang mengharamkan bank, tetapi ada juga yang mengizinkan BPR. Ini karena mereka membuat pilihan masing-masing atas hukum agama, bukan melaksanakan keputusan organisasi. Ruang seperti ini diberikan oleh NU pada warganya. Kalau jalan pikiran Pak YH tentang syariah Islamiah diikuti maka dalam waktu sebentar saja partainya akan kurang mendapat simpati masyarakat.
Ini artinya NU memperjuangkan syariah tidak melalui hukum-hukum dan simbol-simbol formal, tetapi sebagai ruh yang menjiwai setiap produk hukum positif yang dibuat oleh negara. Substansi syariah Islamiah ini juga bisa terwujud melalui gerakan demokratisasi atau menegakkan negara-negara bangsa. Pikiran-pikiran NU yang seperti inilah yang akan diperjuangkan melalui PKB dalam kancah politik praktis.
Dalam hal berdirinya PKB, yang menurut Pak YH terlalu diberi hati oleh PBNU, dapatlah diberikan penjelasan dengan mudah. Pada permulaannya, penulis malas memikirkan adanya sebuah partai untuk warga NU. Demikian pula, penulis juga malas memikirkan upaya mengumpulkan orang di Parkir Timur Senayan untuk ber-istighotsah. Bukankah warga NU telah berkumpul sejumlah satu juta orang di Lapangan Tambaksari Surabaya?
Beberapa bulan penulis menganggap hal itu tidak perlu. Tetapi, hampir setiap orang tamu yang menjenguk penulis selalu membisikkan pentingnya mengumpulkan warga NU dalam sebuah partai dan atau menyelenggarakan istighotsah di Jakarta. Setelah belasan ribu orang membisikkan hal yang sama, akhirnya penulis berkesimpulan hal itu harus dilaksanakan.
Sejak saat itu, penulis memanggil K.H. Manarul Hidayah dari Jeruk Purut, Jakarta, seorang yang banyak diikuti orang di Jakarta, untuk menyelenggarakan acara istighotsah. Demikian juga, penulis mulai mencari siapa yang pantas menjadi ketua umum partai baru yang akan didirikan oleh warga NU. Hasilnya sangat menggembirakan. Mungkin karena berkah tokoh-tokoh NU yang sudah meninggal dunia dan antusiasme yang cukup tinggi dari warga NU, acara tersebut dapat dilaksanakan dengan sukses dan mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Setidak-tidaknya, hal inilah yang dikatakan banyak orang pada penulis.
Acara istighotsah di Parkir Timur Senayan berjalan lancar dan dihadiri satu juta orang pengikut NU. Sedangkan berdirinya PKB disetujui oleh K.H. Ilyas Ruchiyat sebagai rais aam, K.H. Munasir Ali sebagai musytasar, K.H. A.Muchid Muzad K.H. Musthafa Bisri, masing-masing sebagai rais syuriah PBNU, dan penulis sendiri sebagai ketua umum PBNU.
Bahkan, beliau-beliau ikut hadir pada saat deklarasi partai. Walaupun hanya 5.000 orang yang datang ke rumah penulis saat peresmian PKB, partai ini segera menyebar ke mana-mana karena, baik pengurus wilayah NU (tingkat kabupaten), sama-sama beranggapan perlulah PKB didirikan di daerah masing-masing. Bahkan untuk tingkat kecamatan (majelis wakil cabang) maupun ranting (tingkat kelurahan) sekarang mendirikan kepengurusan PKB, sebagai pendukung. Semua ini menunjukkan betapa besarnya antusiasme dan dukungan masyarakat kepada PKB.
Sebuah pertanyaan mengganggu partai tersebut dalam jangka panjang, mengapa PKB tidak menjadikan kepentingan agama sebagai pijakan? Mengapa justru nasionalisme dan demokrasi sebagai dasar pijakannya? Di atas tadi dijelaskan bahwa PKB mengutamakan kepentingan nasional. Untuk menyesuaikan kepentingan hukum nasional dengan fiqh, tentu menjadi tujuan utama PKB, jika bernasib baik, menang dalam pemilu.
Tetapi, sebuah undang-undang haruslah dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal ini, dapat saja terjadi kepentingan nasional tidak terletak pada hukum fiqh. Dalam keadaan seperti ini tidak dapat dihindarkan adanya pertentangan antara hukum agama (fiqh) dan rancangan Undang-undang.
PKB dalam hal ini tentu akan bertindak mengutamakan substansi hukum Islam melalui hukum nasional dan bukannya mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan. Mengapa? Karena Republik Indonesia adalah sebuah negara dengan kepentingan-kepentingan nasional sendiri dan bukan sebuah negara agama.
Agaknya, hal ini yang dilupakan oleh Pak YH dalam serangan-serangannya yang gencar terhadap PKB. Anehnya, warga NU memilih pandangan masing-masing dan tidak terikat pada keputusan organisasi sebagaimana dikesankan oleh kata-kata Pak YH sendiri.
Demikianlah hal-hal yang perlu dijelaskan dari pernyataan-pernyataan yang diajukan Pak YH ketika mendirikan PKU. Secara tidak langsung, pernyataan tersebut merupakan sikap yang mematikan warga NU, yang dengan susah payah didirikan pada 1926 dan dipelihara sejak itu oleh para pemimpinnya.
Ini adalah juga sikap menghargai pendapat para ulama, bukannya hanya memenangkan satu pendapat saja. Kalau pernyataan Pak YH mengenai ketetapan syariah di Indonesia itu benar-benar menjadi dasar PKU, penulis khawatir akan susah diterima warga NU, karena menyalahi tradisi NU yang memberlakukan syariah secara fleksibel. Apakah Pak YH memang benar-benar bersikap demikian?