Ramai-ramai Menolak Adopsi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
BERBEDA dengan oom senang, pamor bapak angkat masih cukup tinggi dalam masyarakat kita. Mulai dari bisnis industri macam-macam hingga bisnis olahraga, semuanya memakai bapak angkat. Bahkan, pemerintah turut mencanangkan sistem pengembangan suatu sektor kehidupan masyarakat dengan menggunakan bapak angkat Peringatan para cendekiawan, bahwa sistem bapak angkat nantinya akan macet di tangan anak emas, sering tidak dihiraukan.
Tetapi, persoalannya ternyata tidak begitu mulus dengan jenis bapak angkat lain yang berhubungan dengan adopsi. Banyak pro-kontranya. Yang setuju, tentu, mula-mula para perantara yang mengusahakan adopsi — apalagi yang memperoleh laba besar. Sesudah itu, orang yang tidak punya anak, yang memandang adopsi akan memberi kesenangan sebagaimana yang dirasakan orang lain yang tampak bahagia.
Tetapi, yang menolak bukan main-main “tanda pengenal”-nya. Tidak kurang dari para ulama. Juga para pemuka Islam. Tak ketinggalan, tentu, “barisan depan” mereka, seperti kaum remaja masjid dan sejumlah cendekiawan muslim. Banyak argumen dikemukakan Untung, pihak Majelis Ulama belum secara resmi mengumumkan adopsi sebagai dosa seperti dalam kasus sterilisasi — tubektomi dan vasektomi — baru-baru ini.
Mengapa masih begitu-begitu juga reaksi “juru bicara Islam” terhadap berbagai masalah “masa kini”? Apakah Islam tidak mau tahu nasib orang yang menderita karena tak punya anak? Atau tidak kasihan melihat bayi-bayi yang tak akan terangkat nasibnya bila tidak diambil anak oleh orang lain yang bernasib lebih baik?
Pertanyaan itu wajar — walau di dalamnya masih terselip sebuah kesalahpahaman tentang sikap Islam terhadap masalah-masalah keluarga dan kemasyarakatan, khususnya di sini sehubungan dengan adopsi.
Dalam hukum Islam, hubungan kekeluargaan menyangkut dua aspek utama. Yaitu nasab (keturunan) dan pergaulan sesama anggota keluarga (hirmah) Aspek keturunan akan menentukan hak anak atas warisan yang dapat berkembang juga menjadi hak saudara atas harta saudara, kakek atas harta ayah, ayah atas harta anak, suami atas harta istri dan sebaliknya, ibu atas harta anak pula, dan seterusnya.
Sekali hak itu ditegakkan, ia harus diikuti secara tuntas. Dalam kasus orang meninggal tanpa punya anak seorang pun, hartanya harus dibagi antara istri, ayah, atau ibu, saudara, dan seterusnya, sudah tentu dalam kombinasi yang kompleks. Itu semua ilmu tersendiri dalam hukum Islam: ilmu pembagian harta waris, faraid.
Anak orang yang diangkat menjadi anak sendiri dengan sendirinya akan menggeser kedudukan anggota keluarga yang mungkin akan memperoleh warisan. Ini tentu menyulitkan — atau bahkan menggagalkan seluruhnya — sistem waris yang struktur dasarnya sudah “disahkan Allah”. Tak heran masalahnya lalu ditanggapi secara emosional: takut pada implikasi “kutak-katik hukum Allah”.
Aspek kedua, seorang anak, ayah, ibu, saudara kandung, saudara tiri, paman, bibi, kemenakan, kakek, nenek, cucu, semuanya itu sah sebagai keluarga langsung. Tidak dapat dikawin. Pergaulan dapat dilakukan dengan “bebas”, dalam arti tak ada larangan untuk bertemu. Mungkin karena tidak dikhawatirkan akan berkencan.
Berbeda dengan orang lain. Suami dan istri hanya boleh bergaul bebas, melakukan hubungan seksual, kalau telah sah menjadi suami-istri. Itu pun masih terbawa “status orang luar” yang dimilikinya sejak sebelum kawin. Yakni dalam soal batalnya wudu: istri dan suami akan batal wudu mereka begitu bersentuhan kulit.
Kalau ke dalam persepsi hukum agama seperti itu lalu masuk “unsur baru” berupa anak pungut yang tidak punya garis kekeluargaan langsung, tidak usah diherankan bila muncul reaksi. Apalagi kalau dikaitkan dengan kecurigaan hubungan antaretnis, “jiwa kebangsaan”, dan seterusnya.
Di lain pihak, perbenturan budaya dengan masyarakat-masyarakat lain telah membawakan tuntutan untuk menerima gagasan adopsi. Humanisme Barat, umpamanya, menganggap tindakan memungut anak sesuatu yang terpuji — didasari penghormatan yang sama kepada manusia, baik keturunan sendiri maupun bukan, baik asal-usul etnisnya sama maupun tidak.
Perkembangan historis juga membawakan tuntutannya sendiri. Berabad-abad lamanya berbagai kawasan dunia menyaksikan kekuatan politik yang berbeda-beda menyusun koalisi dengan sistem angkat-mengangkat anak dan bapak, atau melalui sumpah setia persaudaraan.
Pandangan kosmopolitan seperti ini sudah tentu heran melihat bahwa masalah memungut dan mengangkat anak saja dapat menjadi sesuatu yang begitu ruwet, seperti dalam hukum Islam. Mungkin lalu muncul anggapan bahwa hukum Islam tak punya kelonggaran dan kelenturan yang diperlukan guna mengatur hubungan antarmanusia secara lebih manusiawi.
“Tuduhan” yang tidak sepenuhnya tepat itu sebenarnya sudah sering tampak dalam hal-hal lain. Rigiditas atau kekakuan hukum Islam sering dikeluhkan orang. Para ulama dan pemuka Islam tidak punya jalan selain mempertahankan kekakuan itu selama orientasi legal-formalitas dijadikan pendekatan dalam masalah.
Sudah waktunya memikirkan sebuah pendekatan yang lain, yang memperlakukan manusia secara lebih menyeluruh, berdasarkan konsep yang lebih bulat memandang manusia dalam kehidupannya. Kalau tidak, alternatifnya: di kala para agamawan sibuk mempertahankan penolakan atas gagasan adopsi anak, warga masyarakat Islam melakukannya atas prakarsa sendiri, tidak berkonsultasi dengan mereka. Oh, Islam, di manakah engkau?